JAKARTA- Tabayyun atau verifikasi yaitu memeriksa kebenaran dari sebuah informasi harus menjadi budaya semua orang. Pemerintah dan masyarakat perlu memberikan dukungan dalam pelaksanaan Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) karena sesuai dengan perkembangan jaman yang menuntut transparansi. Fatwa MUI Nomor 24 Tahun 2017 tentang Hukum dan Pedoman Bermuamalah melalui Media Sosial mengharuskan tabayyun terhadap semua pemberitaan yang beredar di media Sosial. Hal ini disampaikan oleh peneliti New Media dari Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Yul Amrozi kepada Bergelora.com di Jakarta, Jumat (9/6).
“Baru kali ini fatwa MUI bener, sesuai perkembangan jaman. Yaitu poin pertama yang mengharuskam tabbbayun atau verifikasi,” ujarnya.
Pengalaman dari Pilkada DKI Jakarta beberapa waktu lalu, menurutnya perhelatan politik tersebut berlangsung sangat demokratis dan transparan, namun didominasi oleh penyampaian ujaran kebencian, fitnah, kabar bohong (hoax) dan sarat dengan sentimen SARA.
“Dengan adanya Fatwa MUI, diharapkan bisa menjawab persoalan kekininan diatas. Artinya, keharusan verifikasi (tabayyun) berlaku bagi semua pihak terhadap isu apapun. Sekalipun dari ucapan pemimpin-pemimpin agama,” tegasnya.
Aktivis Paguyuban Darah Joang (PDJ)-Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta ini menjelaskan bahwa budaya tabayyun harus menjadi budaya semua orang. Tugas pemerintah memberikan sarana dan prasarana dalam pelaksanaan proses tabayyun ini dengan segala kelengkapannya, termasuk tehnologi dan sistem verifikasinya.
“Di jaman transparansi, berbagai informasi di media sosial membanjiri masyarakat. Sistim verifikasi sangat dibutuhkan, Jangan sampai keburu tsunami, menjadi bencana bagi kita semua,” ujarnya.
Apalagi menurutnya pada 2018, ratusan daerah akan mengadakan perhelatan politik besar Pilkada serentak dan 2019 Pemilu raya.
“Tidak boleh lagi ada ujaran kebencian, fitnah kabar bohong (hoax) dan sentimen SARA dalam peradaban politik Indonesia,” tegasnya.
Hentikan Fitnah
Sebelumnya Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengimbau kepada seluruh masyarakat Indonesia di manapun berada, untuk menghentikan penyebaran berita bohong atau hasutan yang mengandung fitnah dan kebencian di media sosial (medsos).
“Mari kita tunjukkan nilai-nilai kesantunan, nilai-nilai kesopanan sebagai budaya bangsa Indonesia,” kata Presiden Jokowi dalam siaran pers yang disampaikan Biro Pers Media dan Informasi Sekreariat Presiden (Setpres), Kamis (8/6).
Sebelumnya Majelis Ulama Indonesia (MUI) telah menerbitkan Fatwa Nomor: 24 Tahun 2017 tentang Hukum dan Pedoman Bermuamalah melalui Media Sosial.
Dalam fatwa MUI itu disebutkan, setiap Muslim yang bermuamalah melalui media sosial diharamkan melakukan ghibah (membicarakan keburukan atau aib orang lain), fitnah, namimah (adu domba), dan penyebaran permusuhan.
MUI juga mengharamkan aksi bullying, ujaran kebencian, serta permusuhan atas dasar suku, agama, ras atau antargolongan.
Haram pula bagi umat Muslim yang menyebarkan berita hoax serta informasi bohong meskipun dengan tujuan baik, seperti informasi kematian orang yang masih hidup.
Ketua Umum MUI Ma’ruf Amin mengatakan, fatwa tersebut dibuat berdasarkan kekhawatiran akan maraknya ujaran kebencian dan permusuhan melalui media sosial.
“Fatwa itu diharapkan bisa mencegah penyebaran konten media sosial yang berita bohong dan mengarah pada upaya adu domba di tengah masyarakat,” kata Ma’ruf dalam diskusi publik dan konferensi pers Fatwa MUI, di kantor Kementerian Komunikasi dan Informatika, Jakarta, Senin (6/5) lalu.(Web Warouw)