JAKARTA — Ketua Umum Gabungan Pengusaha Dapur Bergizi Indonesia (Gapembi), H. Alven Stony, menegaskan, isu adanya ribuan dapur fiktif dalam program Makan Bergizi Gratis (MBG) merupakan isu yang tidak berdasar.
Menurut dia, tudingan tersebut muncul karena kesalahpahaman terhadap status sejumlah lokasi dapur yang masih dalam tahap persiapan di sistem Badan Gizi Nasional (BGN).
“Tidak ada dapur fiktif. Lokasi-lokasi yang disebut fiktif itu sebenarnya sudah diajukan masyarakat melalui laman resmi BGN. Pengajuan itu terbuka bagi siapa pun, asalkan memenuhi syarat administrasi dan lokasi yang sesuai,” ujar Alven usai bincang pagi pengurus Gapembi bersama Ketua BGN Dadan Hindayana di Jakarta, Senin (6/10).
Ia menjelaskan, setelah pengajuan lokasi disetujui BGN, statusnya otomatis berubah menjadi “proses persiapan”. Sejak saat itu, calon mitra diberi waktu 45 hari untuk mulai beroperasi. Apabila dalam masa tersebut belum menunjukkan perkembangan berarti, pihak BGN akan memanggil mitra atau yayasan terkait untuk menandatangani komitmen wajib operasional.
“Dari tanggal komitmen itu, diberi waktu maksimal satu bulan untuk memulai operasional. Kalau tetap belum bisa berjalan, maka dilakukan roll back agar kesempatan bisa diberikan kepada calon mitra lain yang siap. Jadi prosesnya adil bagi semua pihak,” katanya.
Kepada Bergelora.com di Jakarta dilaporkan, Sekretaris Jenderal Gapembi Hasan Basri menambahkan, agar pelaksanaan program berjalan lancar dan terstandar, semua pihak diminta mematuhi prosedur yang telah ditetapkan pemerintah.
“Diminta kepada semua pihak untuk mengikuti SOP dan petunjuk teknis, yaitu mengurus Sertifikasi Laik Higiene Sanitasi (SLHS) dan Sertifikasi Halal, menyusul MoU antara Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) dengan Badan Gizi Nasional (BGN) dalam rangka percepatan pelayanan puluhan ribu dapur,” ujar Hasan.
Tidak Ada Unsur Paksaan
Terkait adanya penolakan dari sebagian sekolah terhadap program MBG, Alven menegaskan, tidak ada unsur paksaan. Sekolah-sekolah, termasuk yang berstatus swasta dan sudah memiliki kantin mandiri, bebas menentukan sikap.
“Kalau sekolah-sekolah swasta yang sudah mapan merasa tidak memerlukan MBG, silakan saja menolak. Tapi jangan memprovokasi sekolah lain agar ikut menolak,” ujarnya.
Alven menambahkan, banyak sekolah dan pesantren justru antusias bergabung karena melihat manfaat langsung dari program tersebut. Bahkan, kantin sekolah yang sudah ada dapat berpartisipasi menjadi dapur MBG asalkan memenuhi syarat dan ketentuan yang berlaku.
“Program ini terbuka, transparan, dan berpihak pada peningkatan gizi anak bangsa. Mari melihatnya secara objektif dan jangan mudah terpengaruh isu yang belum terbukti,” katanya menegaskan.
Perbedaan Data
Isu tentang ribuan dapur fiktif dalam program Makan Bergizi Gratis sebelumnya mencuat September lalu, ketika anggota Komisi IX DPR RI Sahidin menyoroti perbedaan antara data administratif BGN dan kondisi di lapangan. Laporan yang ia sebut sebagai hasil kunjungan kerja ke Batam, Kepulauan Riau, itu menyebut adanya dugaan ribuan dapur yang tercatat di sistem, tetapi belum beroperasi secara nyata.
Kontroversi itu kemudian memunculkan beragam tanggapan publik dan desakan agar pemerintah melakukan audit menyeluruh. Pernyataan H. Alven Stony dan Hasan Basri menjadi salah satu klarifikasi dari pelaku usaha dapur MBG untuk meluruskan informasi yang dianggap tidak proporsional. (Web Warouw)