Sabtu, 15 November 2025

TNI, Populisme Kanan dan Investasi

Saat TNI membersihkan balihi-baliho Rizieq Shihab. (Ist)

Ketegasan TNI pada FPI (Front Pembela Islam) belakangan diharapkan bisa serius berlatar belakangan menjaga kepentingan toleransi pada ke –bhinneka tunggal ika-an. Investasi hanya akan datang jika kondisi keamanan di suatu negara dapat terjamin sebaik-baiknya, jika perlu, aparat keamanan bersenjata turun untuk turut menciptakan suasana nyaman bagi investor. Namun, kita harus siap kecewa jika ketegasan TNI hanya berujung pada kepentingan investasi, bukan pada masalah intoleransi itu sendiri. Joaquim Rohi yang sedang mengambil studi di Political Science, RUDN University, Moscow, Russia menuliskan untuk Bergelora.com. (Redaksi)

Oleh: Joaquim Rohi

PANGDAM JAYA, Mayjen TNI, Dudung Abdurachman, Jumat pekan lalu, mengatakan, “Saya peringatkan, dan saya tidak segan menindak dengan keras. Jangan merasa mewakili umat Islam. Kalau mencoba menggangu, akan saya hajar nanti. Kalau perlu, FPI (Front Pembela Islam) bubarkan saja itu. Bubarkan saja! Kalau mau coba-coba  dengan TNI, mari!”

Saat itu, namanya melambung tinggi, tak hanya dibicarakan, karangan bunga lambang dukungan pun terus mengalir untuknya. Dukungan juga datang dari Indonesia Police Watch (IPW).

Dalam siaran persnya, IPW memberi apresiasi pada TNI yang melakukan penurunan poster baliho Rizieq dan melakukan manuver di Petamburan. IPW menilai langkah ini dilakukan TNI untuk mengantisipasi ketahanan dan keutuhan bangsa, pasca Rizieq mengatakan akan memimpin revolusi seperti di Iran, dengan ancaman akan memenggal kepala.

Ada juga kritik yang mengatakan bahwa TNI telah melangkah terlalu jauh, bahkan menurunkan levelnya setara dengan Satpol PP (Satuan Polisi Pamong Praja). Dari pro kontra yang ada, terlihat beberapa persoalan muncul.

 

Pertama. Secara politik tata negara, Indonesia punya masalah yang sangat serius terkait koordinasi antar instansi negara, ketika TNI mengambil alih urusan Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI. Di luar fakta bahwa, Pemprov DKI, dalam hal ini diwakili oleh Satpol PP dianggap melakukan pembiaran terhadap pelanggaran dan praktek intoleransi.

Pemasangan baliho tak berijin itu sendiri melanggar Peraturan Daerah (Perda) DKI Jakarta Nomor 9 Tahun 2014 tentang Penyelenggaraan Reklame.

 

Kedua. Dalam konferensi persnya, Pangdam didampingi Kapolda Metro Jaya. Namun, meskipun itu menunjukkan adanya koordinasi, TNI tetap dianggap melangkahi wewenang Polri.

Memang TNI bisa hadir bila negara memerlukannya, baik membantu tugas kepolisian maupun pemerintah daerah jika dibutuhkan, sebagaimana diatur dalam UU No 34 tahun 2004 tentang TNI, namun langkah tersebut tetap disayangkan oleh sejumlah pihak yang selama ini sebenarnya geram melihat pembiaran kelompok intoleran seperti FPI yang bebas bergerak.

Menurut UU tersebut TNI dapat melakukan operasi militer di luar kondisi perang (OMSP – Operasi Militer Selain Perang).

 

Ketiga. TNI menurunkan baliho itu dapat dibaca sebagai bahasa simbol, bahwa TNI sedang unjuk kekuatan. Tak tanggung-tanggung, TNI menurunkan Koopsus (3 matra TNI) turun ke Petamburan. 

Pertanyaan yang muncul, kenapa baru sekarang bertindak terhadap kelompok intoleran? Segenting apakah keadaan sehingga TNI merasa perlu menurunkan Koopsus ke Petamburan?

 

TNI dan FPI

 

Praktek kekerasan yang dilakukan oleh FPI bukanlah hal yang baru. Secara historis, TNI turut berperan aktif dalam menginisiasi pembentukan Pam Swakarsa, salah satunya adalah kelahiran FPI, tahun 1998.

Jenderal (purn) Wiranto membentuk Pam Swakarsa untuk tujuan menghentikan serangan terhadap kekuasaan Orde Baru dengan cara menimbulkan benturan di akar rumput. Tahun 1998, Pam Swakarsa berbenturan dengan aksi mahasiswa menuntut reformasi.

17 Agustus 1998, salah satu Pam Swakarsa mendeklarasikan diri sebagai Front Pembela Islam, di Pondok Pesantren Al Um, Ciputat, Jakarta. Setelah itu, kelompok ini juga dikabarkan terlibat dalam Konflik Ambon dan konflik horizontal di Poso.

FPI sejak awal mendeklarasikan perjuangan penerapan syariat Islam, dengan berani membentangkan spanduk “Syariat Islam atau Disintegrasi Bangsa”. Setiap aktivitasnya dihadiri oleh pejabat resmi, bahkan Menteri Agama, Said Agil Munawar turut hadir dalam tabligh akbar ulang tahun FPI tahun 2002.

Sejak itu FPI mendapatkan tempat dan posisi sebagai salah satu kelompok pelaku kekerasan terkuat di Indonesia. Bahkan kekerasan fisik juga ia lakukan terhadap tokoh nasional seperti alm. Gus Dur, tahun 2006 di Purwakarta, Jawa Barat.

Tak hanya aksi kekerasan fisik dan vandalisme yang seolah bebas dilakukan oleh FPI, ancaman disintegrasi bangsa juga tak mendapat respon semestinya dari TNI.

Pada 29 Mei 2017 misalnya, Dewan Pimpinan Pusat (DPP) FPI mengeluarkan Maklumat FPI tentang ISIS (Islamic State of Iraq and Syria). Kesimpulan maklumat yang ditandatangani Muhsin Ahmad Alattas, Ja’far Shiddiq, dan Muhammad Riziek Shihab, tesebut secara tegas mendukung gerakan ISIS dan penegakan Khilafah Islamiyah di Indonesia.

Poin 5 dari Maklumat yang ditujukan kepada Pemerintah RI dan segenap jajaran penegak hukumnya itu, FPI dengan gamblang menyatakan mendukung seruan dan nasehat Pimpinan Al-Qaeda Syeikh Aiman Az-Zhowahiri bahwa seluruh komponen jihad Al-Qaeda baik pasukan Syeikh Muhammad Al-Jaulani di Syria maupun pasukan pasukan Syeikh Abu Bakar Al-Baghdadi di Irak, serta komponen jihad Al-Qaeda lainnya agar bersatu dan bersaudara dengan segenap mujahidin Islam di seluruh dunia untuk melanjutkan jihad di Syria, Irak, Palestina dan negeri-negeri Islam lainnya yang tertindas.

Ke mana TNI dan Polri selama ini? Apakah wacana pembubaran FPI oleh Pangdam Jaya menunjukkan adanya konflik di tubuh TNI?

Kebangkitan Populisme Kanan

Tak dapat disangkal bahwa Muhammad Rizieq Shihab (MRS) dengan segala kontroversinya merupakan tokoh populer di Indonesia.

Survei nasional Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) menemukan bahwa 73% warga Indonesia tahu atau pernah mendengar nama Muhammad Rizieq Shihab (MRS). Dari yang tahu, yang suka kepada MRS 43%.  Temuan itu disampaikan Direktur Eksekutif SMRC Sirojudin Abbas Ph.D, dalam rilis survei SMRC bertajuk “Sikap Publik Nasional terhadap FPI, MRS, dan Respons Pemerintah” pada Kamis, 26 November 2020, di Jakarta.

Tingkat kedisukaan terhadap MRS ini menunjukkan kemiripan dengan tingkat kedisukaan terhadap Front Pembela Islam (FPI). Dalam survei 18-21 November 2020 itu, sekitar 69% warga tahu atau pernah mendengar nama FPI. Dari yang tahu, yang suka sekitar 43%.

Dalam khasanah ilmu politik, populisme menggambarkan suatu masyarakat yang terbagi menjadi dua kelompok: “the pure people” (the good) dan “the corrupt elite” (the bad). Dari situ muncul tokoh kharismatik yang digadang-gadang sebagai penyelamat, maupun yang dianggap sekadar mewakili kepentingan, meskipun itu kepentingan jahat.

Jan-Werner Müller mengatakan bahwa nilai inti dari seorang pemimpin yang populis adalah penolakannya atas keberadaan pluralisme di masyarakat (What is Populism?). Yang Muller maksud adalah pemimpin populis akan selalu mengklaim bahwa dialah satu-satunya orang yang mewakili khalayak luas. Tak ada yang benar selain dirinya.

MRS yang disebut media Australia sebagai porn fugitive, mewakili dua definisi di atas, selain definisi yang diterangkan Dr Moffitt, dalam bukunya “The Global Rise of Populism” bahwa pemimpin populis biasanya juga berperilaku buruk.

Namun, soal populisme kelompok kanan yang tegas akan mensyariahkan Indonesia, siap melakukan disintegrasi, dan menyatakan dukungannya terhadap ISIS dan Al-Qaeda di bawah komando MRS, bukan merupakan kekhawatiran, sebab tak pernah mendapatkan respon apa-apa dari aparat keamanan.

Satu-satunya kemungkinan atas pertanyaan, mengapa baru sekarang TNI (dan Polri) bertindak, hanyalah semata untuk memuluskan jalan investasi, pasca terbitnya RUU Omnibus Law Cipta Kerja, yang memang bertujuan mendatangkan investasi asing besar-besaran itu.

Investasi hanya akan datang jika kondisi keamanan di suatu negara dapat terjamin sebaik-baiknya, jika perlu, aparat keamanan bersenjata turun untuk turut menciptakan suasana nyaman bagi investor. Kita harus siap kecewa jika ketegasan TNI hanya berujung pada kepentingan investasi, bukan pada masalah intoleransi itu sendiri.

Artikel Terkait

Stay Connected

342FansSuka
1,543PengikutMengikuti
1,120PelangganBerlangganan

Terbaru