Oleh: Damar Juniarto
Dua puluh tahun lalu jumlah penduduk dunia yang tersambung dengan internet hanya kurang dari 1 persen. Tapi kini, lebih dari 40 persen penduduk dunia memiliki akses ke internet. Tercatat lonjakan luar biasa pengguna internet sejak 2009, bahwa pengguna internet dunia melonjak lebih dari 200% dari 1,5 milyar ke 3,2 milyar. Tren kenaikan ini tidak ada tanda-tanda akan menurun, bahkan keluar proyeksi di tahun 2020, jumlah pengguna internet dunia akan mencapai 5 milyar. (Sumber: broadbandchoices.co.uk)
Pertumbuhan internet dan juga kemampuannya dalam mengubah cara kita berhubungan satu sama lain, membagi gagasan dengan orang banyak, dan bertukar informasi yang telah sekian lama berlangsung tanpa batasan, relatif memangkas banyak biaya, mendukung kemerdekaan berekspresi dan demokrasi, dan memberi banyak ruang gerak baru bagi setiap pengguna internet untuk berinovasi dan berkompetisi di lapangan bermain yang selevel.
Namun, intenet dan tata kelolanya yang membutuhkan peran banyak pihak (pemangku kepentingan/stakeholder) akan “dibunuh” oleh perjanjian dagang yang dikenal dengan nama Kemitraan Lintas Pasifik (Trans Pacific Partnership/TPP).
Mengapa? TPP mengancam kemerdekaan berekspresi netizen, kebijakan dan tata kelola yang adil dan transparan, inovasi, hingga hak setiap negara berdaulat untuk mengatur kebijakan dan hukum yang pas dalam mengatur internet. Dengan kata lain, TPP beresiko menghilangkan kemerdekaan internet, hak atas akses informasi, hak berekspresi dan demokrasi
TPP menerapkan perlindungan hak cipta yang lebih panjang. Minimal 10 tahun hak cipta dan meminta negara yang menyetujui TPP untuk memperpanjang hak cipta hingga 70 tahun semenjak meninggalnya si pencipta. Ini akan menghambat diaksesnya informasi, seni, dan kreativitas dari domain public sampan bertahun-tahun bila periu.
TPP dalam bab Properti Intelektual meminta Internet Service Providers (ISP) agar provider penyedia akses dan layanan berbasis internet harus membantu polisi copyright online bila terjadi sengketa.
TPP meminta ISP/online content provider seperti YouTube dan Facebook jika menerima keluhan tentang pelanggaran copyright, maka ISP harus membuang atau menyingkirkan salinan cache yang ada dan harus melakukan take down atau menghambat akses ke materi yang disengketakan tanpa diberi kesempatan untuk melakukan pembelaan terlebih dulu.
TPP meminta Internet Service Provider melakukan penyadapan agar bisa melakukan tugasnya sebagai “polisi” aktivitas pengguna, menurunkan konten internet, dan memotong akses internet pada konten user-generated.
TPP melarang aktivitas jailbreaking pada “digital locks” sehingga perusahaan bisa mengontrol produk bahkan ketika sudah dibeli oleh konsumen.
TPP mengkriminalisasi upaya membongkar perjanjian dagang lewat sistem komputer yang jelas akan menghambat kerja jurnalis dan whistleblower dari upaya membongkar isu sensitif.
*Penulis adalah Koordinator Kawasan SAFENET/Southeast Asia Freedom of Expression Network (2013-sekarang). Kepala Sekolah KEMUDI (Kelas Muda Demokrasi Digital). Pendiri Forum Demokrasi Digital.
Â