JAKARTA – Suasana berkabung masih menyelimuti keluarga besar Sokoy-Kabey atas meninggalnya anak mereka, Irene Sokoy, Senin (17/11/2025). Tampak dua tenda lengkap dengan kursi masih berada di halaman rumah keluarga Kabey di Kampung Hobong, Distrik Sentani, Kabupaten Jayapura, Papua.
Wanita berusia 31 tahun itu meninggal karena terlambat mendapatkan pelayanan medis dari empat rumah sakit di Kota dan Kabupaten Jayapura.
Abraham Kabey, selaku mertua dari Irene Sokoy, ditemui di rumahnya, menceritakan bahwa pada Minggu (16/11/2025) siang sekitar pukul 14.30 WIT, sang anak merasakan kontraksi untuk melahirkan sehingga keluarga bergegas membawanya menggunakan speedboat menuju RSUD Yowari Sentani.
Saat sampai di RSUD Yowari, Irene Sokoy mendapatkan penanganan dari sejumlah petugas rumah sakit.
“Saat sampai di rumah sakit, anak kami ditangani oleh sejumlah petugas. Namun, sekitar pukul 20.00 WIT, petugas memberi tahu kami bahwa tidak bisa melahirkan normal karena bayinya terlalu besar, sehingga disarankan untuk melakukan operasi,” kata Abraham Kabey kepada wartawan saat ditemui pada Jumat (21/11/2025) siang.
“Kami sudah setuju untuk dilakukan tindakan operasi, tapi lagi-lagi pihak rumah sakit mengatakan bahwa tidak ada dokter kandungan, sehingga harus dirujuk ke rumah sakit lain untuk tindakan operasi. Ini yang sangat kami sesalkan, kenapa sejak awal tidak memberi tahu kami bahwa tidak ada dokter? Kenapa pasien ditahan hingga malam baru dirujuk?” tutur dia.
Atas rujukan RSUD Yowari, pihak keluarga didampingi dua perawat membawa pasien Irene Sokoy ke Rumah Sakit Dian Harapan dengan maksud untuk mendapatkan layanan operasi.
Namun, harapan keluarga sirna karena pasien ditolak tanpa pemberitahuan kepada keluarga.
“Setelah mendapat rujukan, kami langsung bawa pasien ke RS Dian Harapan, namun sampai sana tidak diterima, sehingga kami putuskan untuk bawa ke RSUD Abepura, tapi sampai di sana sama juga. Anak kami tidak diterima tanpa alasan jelas,” kata dia.
“Kami sempat ribut dengan petugas RSUD Abepura karena tidak melayani pasien, padahal kondisinya sudah kritis dan butuh penanganan cepat,” ujar Abraham.
Dari RSUD Abepura, keluarga berencana membawa pasien ke RSUD Jayapura, tetapi dalam perjalanan diputuskan ke RS Bhayangkara karena kondisi pasien yang semakin menurun.
Diminta Bayar Uang Muka
Namun, di RS Bhayangkara, Irene ditolak dengan alasan kamar sudah penuh. Mereka diminta menempati ruang VIP.
“Karena ruangan sudah penuh, kami disarankan ke ruang VIP. Tapi dari petugas meminta kami untuk membayar DP Rp 4 juta dulu. Kami tidak keberatan dengan jumlah itu, tapi kami meminta agar pasien ditangani dulu karena kondisi pasien sudah darurat. Nanti kami bayar setelah anak kami ditangani. Tapi mereka malas tahu,” ujar dia.
Kepada Bergelora.com di Jakarta, Sabtu (22/11) dilaporkan, hal yang sangat disesalkan pihak keluarga yakni tak ada petugas medis RS Bhayangkara yang datang melihat kondisi korban.
“Kami minta pasien ditolong dulu, jangan uang yang duluan, tapi mereka malas tahu. Bahkan mereka sama sekali tidak memegang atau memberikan pertolongan kepada pasien,” ucapnya.
Kecewa dengan pelayanan RS Bhayangkara, keluarga pun membawa pasien untuk melanjutkan perjalanan ke RSUD Jayapura.
Namun, dalam perjalanan, sang anak meninggal dunia.
“Karena tak ada pelayanan yang diberikan, kami pun memutuskan untuk melanjutkan perjalanan ke RSUD Jayapura, namun dalam perjalanan anak kami menghembuskan napas terakhir sekitar pukul 4.30 WIT,” katanya.
Kekecewaan terhadap lambatnya penanganan medis pihak rumah sakit ikut disuarakan oleh sang suami, Neil Castro Kabey. Padahal, sang istri, Irene Sokoy, adalah seorang kader posyandu yang aktif di Kampung Hobong.
“Istri saya adalah sekretaris posyandu Kampung Hobong yang rutin mengikuti pemeriksaan. Tapi sangat disayangkan, istri saya meninggal karena buruknya pelayanan yang diberikan oleh rumah sakit,” tuturnya sambil meneteskan air mata.
Tak hanya kader posyandu, sang istri juga memiliki administrasi lengkap, baik KTP, BPJS, hingga persyaratan lainnya. Namun, menjadi tanda tanya ketika sang istri ditolak di sejumlah rumah sakit.
“Untuk persyaratan administrasi seperti KTP, BPJS, dan persyaratan lain lengkap karena sudah digunakan saat melahirkan dua anak kami. Ini yang menjadi tanda tanya, kenapa tidak dilayani dulu?Apakah tenaga medis lebih mementingkan uang daripada nyawa manusia?” kata dia. (Web Warouw)

