Rabu, 8 Oktober 2025

Transparansi dan Akuntabilitas Dalam Seni dan Budaya

Seni instalasi ini Pohon Besar dan dipasang di depan, membalut Cafe Art Club di Frankfurt menggunakan 1.525 batang bambu karya Joko Avianto. (Foto: Jazzinto)

Ternyata Instalasi Getah-Getih Rp 550 juta bukan skandal Anies Baswedan, Gubernur DKI Jakarta yang pertama terungkap dipublik. Sebelumnya juga saat menjabat sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Anies Baswedan terlibat dalam skandal Rp 146 milyar saat mengikuti Frankfurt Book Fair di Jerman 2015. Dua peristiwa itu sampai sekarang menunjukan kegagalan dalam transparansi dan tidak akuntabel dalam mengelola pekerjaan pemerintah. oleh Maria Pakpahan- penulis, aktivis, feminis, pencinta seni-budaya dan participant 4.0 inovasi teknologi forum Chapter Europe, talenta nasional, bermukim di Edinburgh, Skotlandia.menyorotinya dalam Bergelora.com. (Redaksi)

Oleh: Maria Pakpahan

PERLU diingatkan bahwa transparensi bukanlah melulu domain politisi dan kebijakan publik. Transparansi dan akuntabilitas sepatutnya menjadi nafas demokrasi dan memang demokrasi yang tidak menjunjung transparansi dan akuntabilitas (tanggung gugat) sesungguhnya cacat dan kemunduran. Tugas pemerintahan mempertanggung jawabkan kebijakan yang diambil, anggaran yang dipakai apakah sesuai SOP (Standar Operational Procedure) misalnya melalui bidding atau main tunjuk, kongkalikong yang sesungguhnya abuse of power. Nepotisme bisa terjadi jika tidak ada proses tender terbuka dan transparan. Apalagi jika kemudian tidak ada juga akuntabilitas yang publik bisa menilai.

Mengapa saya menulis soal ini? Ini terkait dengan praktek instalasi getah-getih yang sempat kontroversial saat selesai dan dibongkar. Ingat, ini contoh yang ada dan membuat saya penasaran. Saya berpikir publik perlu tahu mengapa instalasi itu yang dipilih? Sementara sejarah mencatat perupa yang sama Joko Avianto juga membawa instalasi bambu lainnya di pameran Roots Indonesian Contemporary Art. 26 September 2015 hingga 10 Januari 2016 di Museum Seni Frankfurt. Dari website FKV  tertulis bahwa,  “Joko Avianto has been invited to create a site – specific bamboo installation for the   facade”. Invited yang artinya diundang. Mungkin kurator acara ini bisa menjelaskan apakah diundang artinya biaya disediakan pihak pengundang?

Pameran Semi Contemporary Roots (akar),– inipun diselenggarakan bersama Indonesia National Gallery dan berkaitan dengan Indonesia yang menjadi ‘guest of honour’ di Pameran Buku  Frankfurt 2015. Acara ini,– ‘under the auspices of the Ministry of Education and Culture of the Republic of Indonesia’. Siapa Menterinya Pendidikan dan Kebudayaan saat itu? Ya Anies Baswedan! Siapa yang mengeluarkan biaya untuk instalasi bambu yang diberi mana ‘Pohon Besar, 2015’ ini ?

Saya paham anggaran  untuk acara Pameran Buku Frankfurt 2015 diajukan jaman menteri sebelumnyanya Muhammad Nuh, namun tidak jelas berapa yang diajukan jaman saat itu. Berapa yang disepakati jaman Anies Baswedan? Saya juga baca ada sisa anggaran. Berapa nilai sisa anggaran?

Saya tidak tahu karena tidak cukup disclosure information soal ini. Apakah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia yang membayari ini semua atau Museum Seni Frankfurt? Berapa biayanya? Atau patungan,– berapa persen patungannya? Ini semua perlu dibuka ke publik Indonesia karena membawa  nama Indonesia dan,– praksis dari transparansi.

Indonesia menjadi tamu instimewa di perhelatan buku dunia ini. Anies Baswedan juga yang saat itu Menteri Pendidikan yang memsupport pameran buku Frankfurt 2015 dan dianggarkan Rp 146 milyar, sekitar 10 juta Euro. Instalasi bambu yang juga muncul di pameran Roots apakah melewati proses bidding? Bagaimana dengan 3 instalasi lainnya karya Jompet Kuswidananto, Eko Nugroho dan Tromarama yang didirikan oleh Febie Babyrose, Herbert Hans Maruli dan Ruddy Alexander Hatumena. Atau acara pameran Roots ini punya pagu anggaran berbeda? Saya tidak tahu makanya saya bertanya disini.

Maria Pakpahan. (Foto: Maria Pakpahan)

Saya mencatat sebagai honorary guest hanya sekitar 200 judul buku yang berhasil dibawa Indonesia. Sementara yang diharapkan 1.000 judul. Ini artinya hanya 20% capaian dari target! Belum lagi berbagai rencana promosi kulinari Indonesia yang kurang disiapkan hingga makanan yang mau dipromosikan juga dalam 4 jam sudah habis padahal pameran sesungguhnya dibuka dari pukul 09.00-18.30. Artinya setengah hari kosong. Suatu penghamburan ruangan dan waktu. Karena Indonesia menyewa ruangan pameran di Frankfurt ini pakai anggaran rakyat, bukan uang pribadi.

Jadi perlu ada pertanggung jawaban atas berbagai kegiatan ini. Berapakah biaya instalasi bambu yang di pasang di depan kafe Art Club Frankfurt? Publik Indonesia  perlu tahu. Instalasi yang memerlukan lebih dari 1.525 bambu dari Jawa Barat  yang kemudian dipilin, tali temali menjadi terlihat sebagai pohon besar. Apa yang terjadi pada 1.525 bambu tersebut saat instalasi tersebut dicabuti karena usai 2016? Didaur ulangkah? Dijualkah atau dibakar untuk perapian musim gugur yang lumayan dingin serta musim dingin yang datang? Atau bagaimana?

Para penulis yang  datang ke pameran buku Frankfurt 2015 yang bisa disebut sebagai kaum intelektual Indonesia apakah tahu soal ini? Kalau itu uang mereka sendiri, apakah bisa menilai Rp 146 milyar untuk 5 hari pameran buku,– apakah fair, sound dan legitimate? Apa dampak pameran buku tersebut untuk upaya mencerdaskan bangsa? Mengharumkan nama Indonesia? Artinya apa? Apa ukurannya? Kalau pujian dari pihak penyelenggara ya pastilah,–namanya juga tuan rumah dan tata krama. Bagaimana mengukur impact Rp 146 milyar ini? Ini semestinya dibuat ukurannya.

Buat saya yang awam ini, dari target judul buku  1.000 dan realisasinya hanya 200 buku ya tentu saya liat 20% saja capaiannya. Inilah salah satu contoh akuuntabilitas yang saya maksudkan dalam seni dan budaya. Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) perlu melihat bahwa kegiatan, program seni dan budaya bisa jadi acak-acakan dalam transparansi. Disclosure anggaran dan pengeluaran menjadi wajib, bukan hanya domain penyediaan barang dan jasa namun di seluruh sphere masyarakat Indonesia.

Anies Baswedan perlu menjelaskan apakah tender, bidding dilakukan untuk instalasi bambu baik yang di pusat kota Jakarta maupun yang di Frankfurt? Apakah memang hanya  instalasi bambu yang bisa dipasang? Tentu tidak!

Banyak seniman perupa, pematung yang mungkin ingin karyanya juga dipajang tapi tidak memiliki kesempatan karena tidak ada transparansi dalam pengambilan keputusan soal ini. Alangkah tidak adilnya buat mereka! Argumen meningkatkan ekonomi seniman bahkan petani bambu, transport material bambu, tentunya tidak lewat cara sporadik 1 atau 2 instalasi bambu. Ini menggelikan dan media juga tidak pernah mewawancarai para petani bambu ini,– berapa sesungguhnya mereka dapat?

Sebelumnya dalam suatu tulisan berbeda saya membandingkan Getah-Getih dengan Oor Wullie di Skotlandia yang menurut saya lebih berakar, well planned, berguna bagi publik juga.

Seni Patung karya Barbara Hepworth di St. Yves di tamannya Barbara Hepworth yang sekarang jadi Barbara Hepworth Museum and Sculpture Garden, England, United Kingdom (Ist)

Hal ini bukan berarti saya tidak menghargai seni abstak. Mulai dari lukisan ‘Black Square’ karya Kazimir Malevich dari kalangan pelukis suprematist Russia hingga pelukis Piet Mondrian yang bisa disebut sebagai pionir untuk seni abstrak di abad 20 dengan garis-garis geometrik dan sapuan warna-warna utama dikaryanya yang justru bisa dibilang memperlihatkan order dan harmony. Bayangkan abstrak yang ‘beraturan’. Pelukis dari Belanda ini lahir di Amersfooth dekat Utrech tempat yang saya kunjungi pertama kali dan bemalam saat kaki saya menginjak benua Eropa pertama kali tahun 1991.

Pendek kata,–di kalangan pelukis,–saya menikmati dan hargai benar seni abstrak. Bahwa seni tidak melulu perlu merepresentasi hal lain diluar dirinya. Seni bisa pure (murni) dan universal dan punya equal value, melintasi nasionalisme, ethnicity dan bahasa.

Di kalangan pematung, saya nikmati dan apresiasi karya dari pematung perempuan ‘Counter Reformation’ Louisa Roldan ke pematung Edmonia Lewis dengan karyanya ‘Matinya Cleopatra’ yang dramatis naturalis,– yang mengagumkan dan harus dicatat dalam sejarah seni. Namun dalam konteks tulisan ini saya hadirkan pematung perempuan Barbara Hepworth yang mencoba berbagai material dari perunggu hingga kayu untuk karya -karyanya.

Pematung perempuan besar yang hasil karyanya sempat saya kunjungi dan nikmati dimuseum tamannya maupun di St.Yves kota tepi pantai nan cantik. Pematung perempuan yang serius dan terbukti hebat lewat karyanya. Dan hingga sekarang publik bisa mengunjungi karya-karyanya.

Indonesia mencatat Trijoto Abdullah sebagai pematung perempuan pertama, Rita Widagdo yang sebelumnya dikenal juga sebagai Rita Wizemann. Dolorosa Sinaga yang karyanya dekat dengan tema hak asasi dan gender. Juga tentunya pematung Innes Indreswari Soekanto yang karyanya juga tersebar di berbagai negara.

Mungkin jika instalasi untuk ASIAN GAMES 2018 dibuat bidding terbuka, bisa jadi bukan getah-getih yang menghabiskan Rp 550 juta dan kini lenyap itu yang muncul di pusat ibukota! Inilah gunanya transparansi dalam seni agar akses terhadap suatu kesempatan berkarya bisa adil dan bukan soal siapa kenal siapa. Juga janganlah patriarchy tetap berjaya, menyusup tanpa disadari atau malah disengaja? Seniman perupa perempuan Indonesia patut dikenal dan dicintai karena karyanya.

Kalau tidak ada transparansi dalam mengkomisikan karya untuk publik, lalu bagaimana soal keadilan gender dalam seni dan budaya? Publikpun tentu juga diuntungkan dengan adanya pilihan-pilihan dalam karya. Para seniman perupa juga memiliki akses terbuka untuk mencoba memaperkan karyanya. Equal opportunity menjadi praktek bukan sekedar narasi. Beberapa perupa seperti Dadang Christanto, FX Harsono dan Heri Dono beberapa nama yang patut dikenal lebih dekat karyanya oleh rakyat Indonesia sendiri.

Harap dipahami benar, saya tidak bermaksud mendiskreditkan Joko Avianto sebagai perupa instalasi. Kenalpun tidak. Bukan orangnya yang jadi soal buat saya. Tetapi sistim dan proses pengambilan keputusan, karya dan siapa yang ditampilkan, ini yang saya pertanyakan! Saya gugat! Kebetulan saja pas karya nya Joko Avianto yang saya jadikan contoh. Semoga yang bersangkutan bisa melihat hal ini bukan soal personal terhadap dirinya. Tidak ada niat saya menggugat personal.

Artinya, kita perlu adil sejak dalam pikiran, dalam niat. Kita juga harus mau instropeksi dan janganlah menganggap bahwa kaum terdidik tidak perlu bertanggung jawab. Justru sebaliknya, kaum terdidik perlu memperlihatkan contoh, jadi teladan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Justru intelektualitasnya serta integritasnya perlu dipertanyakan jika menolak transparansi, menolak tender, menolak kritik misalnya. Kita sebagai warga negara Indonesia sama kedudukannya di mata hukum.

Perilaku merasa ‘istimewa’ karena bekerja untuk kemanusiaan, seni, budaya, hak asasi manusia bisa membuat manusia pongah, merasa tidak mungkin salah. Merasa lebih tahu, secara moral lebih berintegritas. Padahal belum tentu dan justru bisa terjadi sebaliknya .

Bagaimana misalnya lembaga HAM seperti lembaga Amnesty International jadi sorotan saat didalam organisasinya sendiri awal tahun 2019 ini disorot karena ‘toxic culture’ dan abuse of power terjadi di dalam lingkungan kerjanya sendiri https://www.theguardian.com/world/2019/feb/06/amnesty-international-has-toxic-working-culture-report-finds.  

Atau lembaga Oxfam International yang juga banyak kehilangan public trust bahkan kena tegur pemerintah United Kingdom karena gagal bersikap, menjaga kelompok yang dibelanya,– kelompok rentan dalam skandal di Haiti misalnya. Karena menggunakan uang publik, pemerintahan United Kingdom-pun turun tangan. Oxfam kehilangan reputasinya sebagai members LSM international yang mumpuni. Salah telak dalam kebijakan ‘safe guarding’-nya.

Singkatnya,–bukan soal apa yang dilakukan, dibuat. Tetapi BAGAIMANA hal tersebut dilakukan. The How is very important. Not enough, what did you do. How did you do it menjadi sangat penting. Bisa dilihat link,– https://www.thirdsector.co.uk/oxfam-focused-does-not-does-it-report-warns/management/article/1523110

Artinya penggunaan resources negara, anggaran, uang rakyat perlu ada safeguarding yang jelas. Bukan urusan suka-suka seseorang atau sekelompok orang yang seenaknya. Harus ada akuntabilitas yang terukur!

Negara Georgia yang berpenduduk 3,9 juta orang  jadi tamu kehormatan di tahun 2018 lalu di pameran buku Frankfurt membawa 300 judul buku terjemahan. Norwegia bangsa kaya dengan cost of living jauh diatas biaya hidup layak orang Indonesia dan negeri yang memiliki tiga penulis penerima nobel kesusastraan untuk perannya sebagai ‘guest of honor’ di tahun 2019 ini,– menganggarkan jauh dibawah 10 juta eropa. Dari proposal yang bisa diakses online, sekitar 5,5 juta Euro. Saya ajukan cost of living di Norway versus di Indonesia agar sense of proportionalitas bisa dilihat saat  146 milyar atau 10 juta Euro dipakai untuk 5 hari pameran buku. Sementara bangsa kaya seperti Norwegia saja sekitar setengahnya saja,–5,5 juta Euro diproyeksikan anggaran dalam proposal Norwegia. Inipun tidak semua dari negara,– sebagian kontribusi dari swasta.

Adapun Flanders,–bagian dari Belgia yang berbahasa Belanda dan Belanda yang jadi tamu kehormatan di acara pameran buku ini tahun 2016 setelah Indonesia di 2015,– dari dokumen yang bisa diakses hingga tulisan ini dibuat,– sekitar 3.9 juta Euro yang dianggarkan oleh pemerintah Belgium/Flanders sepanjang tahun fiskal 2014, 2015 dan 2016. Lihat saja di link https://www.fdfa.be/en/project-funds-for-being-the-guest-of-honour-at-the-frankfurt-book-fair-2016. Realisasinya kemudian dalam laporan tahun February 2017 yang bisa diakses online, tercatat biaya keluar 5.7 juta Euro. Dengan coverage media 6.000 artikel dan pers. Sebanyak 306 judul buku sastra Belanda diterjemahkan ke bahasa Jerman. Sebanyak 300 events pada hari pameran di Frankfurt. Sebanyak 400 events selama 2016 di berbagai kota di Jerman,– diikuti 31 penterjemah, 23 writers in residence dan seterusnya. Ini semua bisa diliha di http://2seasagency.com/netherlands-flanders-frankfurt-book-fair-guest-honour/

Bisa dilihat dari 3 contoh dengan negara Georgia, Norwegia, Flanders & Belanda yang ketiganya dengan produktivitas melebihi Indonesia dari jumlah judul buku yang dibawa ke pameran buku Frankfurt,—Indonesia mengeluarkan anggaran paling tinggi. Mengapa? Perlu dibuka untuk apa dan siapa pengeluaran anggaran sekitar 10 juta Euro atau 146 Milyard rupiah di 2015 saat itu? Semoga menjadi pembelajaran buat kita semua.

Sebagai ilustrasi dan penutup, liatlah karya Barbara Hepworth yang bertahan puluhan dekade dan tetap bisa disentuh, diraba, tak lekang dimakan hujan dan menyatu juga dengan bambu yang ditanam sekitarnya! Bertahan dan bisa dikunjungi publik bahkan didatangai ribuan orang dan menghasilkan income untuk keberlangsungan tempat ini.

.

Artikel Terkait

Stay Connected

342FansSuka
1,543PengikutMengikuti
1,120PelangganBerlangganan

Terbaru