JAKARTA- Pelarangan mengucapkan selamat natal oleh sekelompok orang diharapkan jangan sampai memperlebar jarak sosial antar masyarakat yang berada dalam satu bangsa Indonesia. Hal ini ditegaskan oleh Irma Riana Simanjuntak dari Persekutuan Gereja-gereja Indonesia (PGI) kepada Bergelora.com di Jakarta, Jumat (20/12).
“Jangan sampai fatwa pelarangan itu kemudian semakin memperlebar jarak sosial antar masyarakat yang tadinya hal ini merupakan modal sosial,” ujarnya.
Menurutnya, soal mengucapkan selamat atas perayaan agama sudah hal biasa di masyarakat. Tetapi dalam 10 tahun terakhir mengalami pergeseran.
“Kalau dibilang butuh ya tidak butuh juga, sebab itu sebuah kerelaan. Masalahnya ini menjadi debat fatwa dan akidah yang membuat bising ruang publik,” ujarnya.
PGI menurutnya mengkuatirkan akibat dari munculnya pelarangan tersebut pada umat kristiani.
“Orang kristen bisa saja beranggapan bahwa kami tidak pantas lagi hidup besama orang Islam, karena Islam tidak menganggap kami penting ada sebagai sebuah perbedaan yang harus dihargai,” ujarnya.
Sementara itu, Jeirry Sumampow, dari Komisi Germasa Sinode GPIB (Gereja Protestan Indonesia Bagian Barat) mengatakan tidak ada masalah jika ada sekelompok orang yang keberatan menyampaikan selamat natal karena keyakinannya.
“Nggak ada masalah sih. Makanya sebetulnya soal ini tak perlu jadi masalah serius,” ujar Ketua Komisi Germasa GPIB Paulus Jakarta ini kepada Bergelora.com di Jakarta, Jumat (20/12).
Menurutnya ucapan selamat natal hanyalah soal tata krama sosial kemasyarakatan yang hidup bersama dalam satu bangsa dan negara Republik Indonesia. Sebetulnya ucapan selamat itu spontanitas masyarakat terhadap relasi sosial yang tercipta dalam kehidupan sehari-hari.
“Ada orang yang sedang bergembira dan merayakan sesuatu, maka secara spontan maka tetangga, sahabat, saudara, kerabat, dan lain-lain, secara spontan ikut merasa sukacita juga, lalu memberikan ucapan selamat. Itulah yang selama ini terjadi,” ujar mantan Kepala Humas PGI ini.
Karena spontan dan alami menurutnya persoalannya menjadi repot ketika ada pelarangan.
“Jadi, menurut saya, ini bukan soal butuh atau tidak butuh. Sebab tak ada kebutuhan untuk meminta diberikan selamat. Begitu juga tak ada keharusan untuk memberikan ucapan selamat. Mestinya biarkanlah itu berlangsung secara alamiah dalam konteks relasi sosial kemasyarakatan,” katanya.
Karena itu menurutnya, tak perlu pelarangan karena hal itu baik untuk meningkatkan kerukunan, toleransi dan kohesi sosial dalam masyarakat.
“Masakan sesuatu yang baik, koq malah dilarang? Makanya jadi sulit memahami jika ucapan selamat seperti itu dilarang. Apalagi menggunakan atas nama agama,” ujarnya.
Jeirry tidak yakin ada ajaran agama yang seperti itu karena semua agama mengajarkan perdamaian dan menjadi berkat bagi kehidupan di dunia.
“Apakah memang agama seperti itu? Agaknya tidak juga. Karena itu, larangan seperti itu, agaknya lahir dari cara pandang beragama yang picik dan sempit dari sekelompok orang yang tak ingin melihat masyarakat rukun dan damai dalam kehidupan sehari-hari,” ujarnya.
Karena itu, Jeirry berharap orang banyak tak mengikuti dan menerima begitu saja larangan itu dan bisa lebih kritis tidak ikut-ikutan begitu saja.
“Tokoh-tokoh agama juga perlu lebih aktif menyampaikan seruan untuk meluruskan pemahaman agama yang keliru yang beredar di tengah-tengah masyarakat,” ujarnya.
Pelarangan Natal Di Sumbar
PGI menyatakan, kebebasan beragama di Indonesia tampaknya masih terus tercoreng oleh aksi-aksi atau tindakan-tindakan pelarangan, seperti yang dialami oleh seluruh umat Kristiani di Sungai Tambang, Kabupaten Sijunjung dan Jorong Kampung Baru, Kabupaten Dharmasraya, Sumatera Barat.
“PGI menyesalkan terjadinya peristiwa ini. Sebab itu, kami mengajak pemerintah Provinsi Sumatera Barat, Pemerintah Kota dan Kabupaten, Camat, Lurah, RT dan RW dan semua elemen masyarakat untuk mengakomodir keinginan umat Kristen, sebagai sesama saudara sebangsa yang berhak menyelenggarakan ibadah menurut agama dan kepercayaannya. Hak ini diwadahi dalam Undang-Undang Dasar 1945 pasal 29 yang menjamin masyarakat untuk menjalankan ibadahnya,” ujar Irma Riana Simanjuntak.
PGI menurutnya, meminta perhatian pemerintah Kabupaten Dharmasraya, Kecamatan Pulau Panjang, Jorong Kampung Baru, Nagari Sikabau, dan Pemerintah Kabupaten Sijunjung, Nagari Sunagi Tambang, Provinsi Sumatera Barat, untuk mengedepankan prinsip kesetaraan di hadapan hukum serta menghargai konstitusi yang berlaku di mana Pemerintah wajib memfasilitasi kegiatan keagamaan.
“Kami sangat menghargai pilihan jalan dialog sebagai cara bermartabat dan berbudaya, serta para sahabat yang sudah menempuhnya untuk membantu penyelesaian masalah seperti ini. Apresiasi juga kepada Pemkab Dharmasraya yang telah mendorong ditempuhnya langkah dengan dialog damai. Kedepannya kami harapkan agar pemerintah setempat tetap memfasilitasi warga Kristen melakukan peribadahan melalui pemberian ijin pendirian rumah ibadah,” ujarnya.
Sebagai sesama saudara bangsa, PGI menegaskan bahwa pernyataan sikap ini merupakan pesan perdamaian dan persahabatan, dengan menjunjung tinggi nilai-nilai dan prinsip dasar Hak Asasi Manusia serta menghormati konsensus dan konstitusi yang berlaku di Negara Kesatuan Republik Indoensia ini. Dan mengajak semua komponen masyarakat bangsa untuk bersatupadu membangun persahabatan demi Indonesia yang makin maju dan tangguh ke depan.
“Kami menghimbau seluruh umat Kristen untuk tetap menjalin hubungan baik dengan pemerintah, tokoh masyarakat serta umat lain dalam rangka menjaga persatuan dan kesatuan bangsa,” ujarnya. (Web Warouw)