Selasa, 7 Oktober 2025

TUH KAAAN…! SBY: Menambah Utang Baru Bukan Kesalahan, Yang Penting Cermat dan Tepat Guna

Ketua Umum DPP Partai Demokrat, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), Presiden RI ke VI, di Jakarta, Rabu (11/12) dalam Refleksi Pergantian Tahun 2019, yang berjudul ‘Indonesia 2020, Peluang, Tantangan dan Harapan’. (Ist)

JAKARTA- Menambah utang baru memang dibenarkan dan bukan sebuah kesalahan. Namun untuk apa utang itu digunakan? Dapatkah dipastikan bahwa utang baru itu bermanfaat, produktif dan mampu menjaga pertumbuhan kita? Hal ini disampaikan Ketua Umum DPP Partai Demokrat, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), Presiden RI ke VI, di Jakarta, Rabu (11/12) dalam Refleksi Pergantian Tahun 2019, yang berjudul ‘Indonesia 2020, Peluang, Tantangan dan Harapan’ yang dilaporkan kepada Bergelora.com di Jakarta.

“Dalam kaitan ini, dengan niat yang baik, Demokrat mengingatkan agar pengelolaan fiskal dan penambahan utang baru ini benar-benar cermat dan tepat. Ingat, Indonesia juga menghadapi risiko ekonomi di tahun depan.

SBY juga menyoroti isu ekonomi yang keempat yang berkaitan dengan kebijakan fiskal, termasuk utang negara.

“Kita tahu kebijakan fiskal, termasuk APBN, adalah sebuah pilihan. Juga bagian dari politik ekonomi, yang penuh dengan “judgement”. Karenanya, kita tidak boleh latah dan mudah menyalahkan pemerintah,” ujarnya.

Demokrat menurut SBY juga mengerti kompleksitas dan dilema dalam mengalokasikan dan mendistribusikan anggaran negara. Baik pusat maupun daerah. Terlebih jika ekonomi tengah mengalami tekanan eksternal atau global seperti sekarang ini.

“Namun, kita harus menyadari dan mengakui bahwa memang ada permasalahan dalam fiskal dan APBN kita. Pasar, baik domestik maupun internasional, juga mengetahui permasalahan ini,” paparnya.

Permasalahan utama yang dihadapi menurut SBY adalah tidak tercapainya pendapatan negara dari sasaran yang ditetapkan. Penerimaan pajak jauh dari target. Sampai bulan Oktober 2019, penerimaan pajak masih kurang Rp 559 triliun. Penerimaan pajak dan non pajak yang tidak mencapai sasaran ini pasti akan menambah angka defisit APBN.

“Terus terang, Demokrat mengamati sasaran belanja negara kita memang tergolong tinggi. Barangkali juga terlalu ekspansif, untuk ukuran ekonomi Indonesia yang tengah menghadapi tekanan,” katanya.

Persoalannya kemudian, menurut SBY dari mana kita menutup defisit APBN ini? Yang terlintas dan mudah tentulah, dengan cara menambah utang baru. Menambah utang baru memang dibenarkan dan bukan sebuah kesalahan. Namun, seberapa besar utang baru itu?

Andaikata rasio utang terhadap PDB dianggap aman di angka 30%, meningkat sekitar 5% dari lima tahun yang lalu, untuk apa utang itu digunakan? Dapatkah dipastikan bahwa utang baru itu bermanfaat, produktif dan mampu menjaga pertumbuhan kita? Apalagi pasar tahu bahwa utang sejumlah BUMN untuk pembangunan infrastruktur juga meningkat sangat banyak.

“Dalam kaitan ini, dengan niat yang baik, Demokrat mengingatkan agar pengelolaan fiskal dan penambahan utang baru ini benar-benar cermat dan tepat. Ingat, Indonesia juga menghadapi risiko ekonomi di tahun depan. Jika tekanan terhadap ekonomi kita cukup berat, risiko pelarian modal ke luar negeri (capital outflow) sangat mungkin terjadi,” ujarnya.

Capital Inflow

Persoalan menjadi serius jika stimulus fiskal dan moneter juga terbatas dan tidak cukup kuat untuk menjaga agar ekonomi tetap aman. Kita juga masih mengalami defisit transaksi berjalan, yang justru memerlukan “capital inflow” untuk menutupinya.

“Kita tentu harus mencegah terjadinya pelemahan rupiah, jika risiko seperti ini betul-betul kita hadapi. Mudah-mudahan tekanan eksternal tidak terlalu besar,” ujarnya.

Menambah utang baru tentu bukan satu-satunya solusi. Memberikan beban kepada rakyat, utamanya golongan kurang mampu, untuk menambah penerimaan negara juga tidak bijaksana. Sebaliknya, mengurangi atau menunda pembelanjaan pemerintah tidak tabu untuk dilakukan.

“Yang penting, yang dikurangi janganlah anggaran yang menyangkut hajat hidup rakyat kita yang pokok. Kebijakan fiskal juga menyediakan ruang bagi kearifan dan kompromi, di samping pertimbangan yang rasional,” katanya.

SBY menyoroti  5 persoalan besar yang perlu diantisipasi Pemerintaan Presiden Jokowi. Pertama, menyangkut pertumbuhan ekonomi.  Kedua, pengangguran dan lapangan kerja. Ketiga, daya beli dan perlindungan sosial untuk rakyat. Keempat, kebijakan fiskal termasuk utang negara. Kelima, rencana pemindahan dan pembangunan ibu kota baru. (ZKA Warouw)

Artikel Terkait

Stay Connected

342FansSuka
1,543PengikutMengikuti
1,120PelangganBerlangganan

Terbaru