JAKARTA- Penunjukan Komjen Pol Tito Karnavian sebagai Kapolri adalah sebuah penggunaan hak konstitusional, apakah itu hak prerogatif atau hak diskresi yang sembrono dan sangat tidak bijaksana oleh Presiden Joko Widodo. akibat dari penggunaan hak prerogatif Presiden yang “sembrono” dan tidak bijaksana tersebut, yang menjadi korbannya adalah institusi Polri dan Jenderal Tito sendiri. Hal ini ditegaskan oleh Ketua Presidium Petisi 28, Haris Rusli kepada Bergelera.com di Jakarta, Kamis (16/6)
“Jika alasannya mencari perwira yang bersih, profesional dan loyal kepada Presiden. Maka, ada dua pertanyaannya dapat dimunculkan ke permukaan, pertama, apakah tidak ada lagi perwira Polisi angkatan tahun 1985 dan 1986 yang masih sangat lama usia pensiunnya, yang dikategorikan bersih, profesional dan loyal kepada Presiden? Kedua, apakah Jenderal Tito adalah perwira yang bersih dan tidak punya track record negatif sepanjang kariernya?
Menurut Haris Rusli, Institusi Polri akan menjadi korban karena kebijakan tersebut dapat merusak tatanan jenjang karier dan senioritas di dalam tubuh instutusi Polri. Sebuah institusi yang profesional justru berubah menjadi medan intrik politik.
“Keadaan psikologis di dalam tubuh institusi Polri pasti menjadi sangat tidak nyaman dengan keputusan Presiden tersebut. Sepatutnya yang menjadi “lurah” di Polri selain profesional dan bersih adalah yang paling senior diantara yang lain, agar dapat mengayomi seluruh bawahannya,” ujarnya.
Sementara itu menurutnya, Jenderal Tito akan menjadi korban dari keputusan Presiden tersebut, karena Jenderal Tito memimpin ketika memimpin Polri yang pada umumnya masih dikendalikan oleh para senior di atasnya yang sangat lama usia pensiunnya.
“Pasti ada hambatan psikologis ketika harus membuat kebijakan yang berhadapan dengan para senior tersebut. Tentu tidak mungkin Jenderal Tito membuang para perwira senior tersebut dari jabatan strategis di Polri,” jelasnya.
Masalah yang lainnya adalah jika tahun 2019 Presiden Joko Widodo tak terpilih lagi jadi Presiden, lalu Presiden yang baru tak berkehendak dengan Jenderal Tito yang dianggap orangnya Presiden Joko Widodo, maka Jenderal Tito dapat dicopot dari jabatan Kapolri.
“Bayangkan, seorang Mantan Kapolri berbintang empat tak punya jabatan di Mabes Polri, menganggur selama 2 tahun menunggu berakhirnya masa usia pensiun,” katanya.
Haris Rusli yakin keputusan Presiden untuk mengangkat jenderal Tito tidak berdasar pada pertimbangan yang matang dan rasional.
“Bisa saja Presiden Joko sedang “mumet” oleh berbagai masalah, lalu secara sembrono dan tidak bijaksana, mengabaikan seluruh masukan, termasuk usulan dari Wanjakti, langsung main tunjuk Jenderal Tito sebagai Kepala Polri,” katanya.
Menurutnya, Jabatan Kepala Polri mungkin telah menjadi garis tangan atau suratan takdir untuk Jenderal Tito. Jenderal Tito dapat saja dikatakan sebagai perwira yang sangat tepat dan berhak untuk jabatan Kepala Polri.
“Namun, sayangnya akibat dari sikap sembrono dan tidak bijaksana dari Presiden Joko Widodo dalam menggunakan hak prerogatif, jabatan tersebut harus diemban oleh Jenderal Tito di waktu yang kurang tepat. Sesuatu yang kehadirannya tidak tepat pada waktunya, pasti berbuah menjadi musibah karena mengganggu keseimbangan,” ujarnya
Ia menjelaskan, Jenderal Tito Karnavian adalah perwira Polisi lulusan Akmil Polisi angkatan 1987. Usia pensiun Tito Karnavian terhitung masih 7 tahun lagi. Di TNI, Panglima TNI nya dijabat oleh Jenderal Gatot Nurmantyo adalah angkatan tahun 1982 yang akan pensiun tahun 2018. Demikian juga Kepala Staf Angkatan (Darat, Laut dan Udara) berasal dari angkatan 1983.
“Jika pada akhirnya Jenderal Tito Karnavian berhasil lolos dari “lubang jarum” fit and proper test yang dilakukan oleh Komisi III DPR RI, maka Jenderal Tito sendiri telah berhasil “melangkahi” karier dari empat angkatan di atasnya, yaitu angkatan tahun 1983 hingga angkatan tahun 1986,” katanya. (Gigih G)