Jumat, 5 September 2025

UBAH CARANYA SEGERA DONG..! 4.000 Siswa Keracunan, Mendikdasmen: Tidak Berarti MBG Dihentikan 

JAKARTA – Sebanyak 4.000 siswa dilaporkan menjadi korban keracunan Makan Bergizi Gratis (MBG) dalam delapan bulan terakhir, menurut data dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef). 

Menyikapi hal ini, Indef mendesak pemerintah untuk menghentikan sementara program yang menjadi prioritas Presiden Prabowo Subianto.

Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah, Abdul Mu’ti, menanggapi temuan. Pihaknya tetap mendukung keberlanjutan MBG dan akan menyiapkan sekolah-sekolah sebagai penerima manfaat dari program tersebut.

“Bahwa ada berbagai peristiwa, sebagian anak-anak keracunan, mudah-mudahan bisa menjadi bahan evaluasi,” ujarnya di Masjid Agung Jawa Tengah, Kabupaten Magelang, Jumat (5/9/2025).

Mu’ti menambahkan, MBG akan tetap berjalan dan disempurnakan secara bertahap.

“MBG, sesuai arahan Bapak Presiden, tetap akan jalan terus. Dan, secara bertahap akan terus disempurnakan dan ditingkatkan,” tutur dia.

Ia juga mengungkapkan, pemeriksaan capaian gizi setelah pelaksanaan MBG akan segera dilakukan, meskipun tidak menyebutkan jadwal pastinya.

“Pemeriksaan bisa lintas sektoral dengan Kementerian Kesehatan atau mitra lainnya,” imbuhnya.

Sementara itu, Kepala Pusat Ekonomi dan UMKM Indef, Izzudin Al Farras, menilai pemerintah tidak seharusnya menganggap ribuan korban keracunan MBG hanya sebagai angka statistik.

“Kami mendorong agar setelah evaluasi, setelah dihentikan sementara, kemudian dievaluasi,” ujar Farras dalam sesi diskusi Indef secara daring, Kamis (4/9/2025).

Farras menekankan, angka keracunan MBG belum mencerminkan secara menyeluruh persoalan mendasar lainnya, seperti lemahnya perencanaan dan pengawasan program di berbagai daerah. Ia mencatat sejumlah pemberitaan media massa yang mengungkap berbagai temuan di lapangan.

Mulai dari masalah bahan mentah yang dipasok ke SPPG atau dapur umum, dugaan penggunaan minyak babi pada nampan MBG, serta praktik mark-up anggaran yang bahkan diakui Badan Gizi Nasional.

Jika masalah mendasar ini tidak segera dibenahi, rencana pemerintah untuk memperluas cakupan program dengan alokasi anggaran yang meningkat dari Rp 71 triliun pada tahun ini menjadi Rp 335 triliun pada APBN 2026. Hal ini berpotensi memperbesar jumlah korban, seiring dengan membengkaknya anggaran yang digelontorkan.

Apa yang Salah?

Kepada Bergelora.com.di Jakarta dilaporkan, kasus siswa keracunan menu program Makan Bergizi Gratis (MBG) masih berlanjut terjadi di berbagai wilayah.

Terbaru, keracunan MBG menimpa siswa di MTs Islamiyah, Kelurahan Sayang, Kecamatan Cianjur, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat.

Sembilan siswa diduga mengalami keracunan setelah menyantap makanan MBG pada Rabu (3/9/2025). Sehari sebelumnya, pada Selasa (2/9/2025), kasus serupa juga terjadi di SMPN 1 Kramatwatu, Kabupaten Serang, Banten.

Sebanyak 27 siswa di sekolah itu diduga keracunan usai menyantap makanan MBG.

Sejak dimulai awal tahun ini, kasus keracunan MBG terus bermunculan, seakan tak ada langkah konkret untuk pencegahan.

Penjelasan Pusat Studi Pangan dan Gizi UGM 

Kepala Pusat Studi Pangan dan Gizi Universitas Gadjah Mada (UGM), Prof. Dr. Ir. Sri Raharjo, M.Sc. menilai, penanganan dan penyediaan makanan MBG belum sepenuhnya siap.

“Maka yang terjadi adalah pelaksanaan yang mengandung risiko tinggi dari sisi penanganan keamanan pangannya,” kata Sri Raharjo, Kamis (4/9/2025).

Menurutnya, ada beberapa faktor yang bisa meningkatkan risiko keamanan pangan MBG hingga menimbulkan keracunan.

Pertama, penyediaan makanan dalam volume atau jumlah yang banyak tak diimbangi dengan fasilitas yang memadai.

“Menjadikan pangan dalam volume banyak terutama pangan dari pangan segar diolah menjadi pangan siap saji dan volume banyak itu memerlukan peralatan, memerlukan orang, memerlukan fasilitas yang memadai untuk itu,” jelas dia.

Selanjutnya, penyajian makanan yang dilakukan secara terus menerus meningkatkan gangguan keamanan pangan. Faktor ketiga, risiko keamanan akan meningkat ketika bahan pangan yang ditangani berisiko tinggi, seperti daging, ikan, telur, maupun susu.

Ia menjelaskan, bahan pangan hewani memang sumber protein yang bermanfaat untuk tubuh. Namun, mutu pangan hewani atau pangan segar sangat mudah turun hingga tercemar atau terkontaminasi.

“Faktor yang keempat, dikonsumsi oleh ini anak-anak siswa yang katakan kondisi ketahanan tubuhnya itu tidak 100 persen fit,” ujarnya.

Artinya, kalau kondisi kesehatan siswa sedikit terganggu karena keracunan MBG, akan langsung berakibat pada diare, sakit perut, dan lain sebagainya.

Oleh karena itu, setiap insiden keracunan makanan dari program MBG tersebut, tidak dialami oleh 100 persen siswa di lingkungannya.

Menurutnya, ketika siswa mempunyai kondisi kesehatan baik, tubuh akan mampu mengatasi gangguan keamanan pangan tersebut.

Meski demikian, Sri tetap mengapresiasi program MBG yang mempunyai tujuan baik untuk para siswa di Indonesia.

“Tujuan MBG itu memang baik untuk meningkatkan status gizi para siswa,” jelas dia.

Perlu Ada Investasi Keamanan Pangan

Sri menyampaikan, perlu ada investasi di bidang keamanan pangan agar ada keberlanjutan program MBG yang baik. Salah satunya adalah fasilitas-fasilitas dapur umum untuk mengolah makanan.

“Maka tetap harus bisa dipelihara. Berarti kan juga akan ada biaya untuk pemeliharaan penjagaan, bukan sekali dibangun kemudian selesai ” tutur Sri.

Ia juga menekankan pentingnya investasi dalam bidang sumber daya manusia (SDM) yang menangani program tersebut.

Selain itu, perlu ada orang yang mengawasi keamanan dan mutu makanan.

“Itu pun kan juga katakan profesi baru, di unit-unit dapur penyediaan tadi,” papar Sri.

Dengan begitu, pemerintah perlu menganggarkan pelatihan dan gaji yang diberikan kepada pengawas keamanan dan mutu makanan. Selain itu, perlu ada perhatian khusus dari pemerintah daerah dalam menangani kasus keracunan di rumah sakit.

“Risiko keamanan pangannya, gangguannya menjadi makin tinggi, muncul risiko pembebanan biaya rumah sakit yang makin membebani daerah nanti,” kata dia.

“Nah, ini kan mestinya juga menjadi konsen, jangan sampai investasi keamanan pangannya itu terbatas, kecil, tapi berkonsekuensi nanti biaya penanganan korban di rumah sakit yang makin besar. Ini menjadi tidak balance,” sambungnya. (Web Warouw)

Artikel Terkait

Stay Connected

342FansSuka
1,543PengikutMengikuti
1,120PelangganBerlangganan

Terbaru