Minggu, 7 Desember 2025

UDAH SIAP BELOM..? Walhi: Potensi Banjir Longsor di Jabar Bisa Lebih Parah dari Sumatera

BANDUNG — Walhi Jawa Barat mengungkap potensi bencana banjir bandang disertai longsor di Jabar dengan skala seperti bencana serupa di Aceh, Sumatera Utara dan Sumatera Barat. Apalagi ada potensi skala bencana yang lebih parah di Jabar.

Direktur Eksekutif Walhi Jawa Barat Wahyudin Iwang menjelaskan Jawa Barat adalah provinsi dengan kerentanan bencana yang tinggi.

Bencana di Jabar bisa dalam bentuk tsunami, gunung berapi, banjir bandang, longsor, tanah amblas, puting beliung. Salah satu pemicu bencana karena semakin banyak kerusakan lingkungan.

“Bencana ekologis tersebut sangat mungkin bisa terjadi serupa di Jawa Barat, bahkan alam bisa lebih dari itu untuk mengingatkan kita semua,” kata Wahyudin dalam keterangan kepada wartawan, dikutip Bergelora.com di Bandung, Rabu (3/12).

Walhi Jawa Barat menyebut upaya pencegahan, pemulihan serta perbaikan lingkungan dapat dikatakan nyaris tidak dilakukan oleh pemerintah baik pusat maupun daerah.

Dia mencontohkan berdasarkan data Walhi. Pada tahun 2023 disebutnya ada 54 izin usaha perusahaan tambang statusnya sudah habis. Pemerintah disebut Walhi tidak pernah mengurus apalagi menertibkan perusahaan-perusahaan yang izinnya telah habis namun masih beroperasi.

Kemudian pada tahun 2024 Walhi mencatat terdapat 176 titik kegiatan penambangan yang ilegal. Salah satu wilayah yang memasuki katagori tertinggi yaitu Kabupaten Sumedang sebanyak 48 titik, diusulkan oleh Kabupaten Tasikmalaya sebanyak 48 titik, Kabupaten Bandung 37 titik, Bogor 23 titik, Cianjur 20 titik, Purwakarta 12 titik dan Cirebon 7 titik.

Selain itu, selama kurun 2023-2025 Walhi mencatat penyusutan tutupan hutan semakin tinggi, dengan angka mencapai 43 persen dari total kawasan hutan di Jawa Barat.

Salah satunya terdapat di bawah pengelolaan Perum Perhutani, kawasan lindung dan kawasan hutan produksi tetap dan terbatas.

Kawasan itu disebut telah berubah menjadi kawasan-kawasan pertambangan, wisata, properti, KHDPK (Kawasan Hutan dengan Pengelolaan Khusus) hingga proyek geotermal pemerintah pusat.

Kawasan lain yang menyusut adalah kawasan yang dikelola oleh BBKSDA.

Disebutkan Walhi nasional terjadi penurunan status konservasi di kawasan yang dikelola BBKSDA, salah satunya dipicu oleh proyek strategis dan Taman Wisata Alam (TWA).

“Kawasan konservasi terus menyusut bahkan terdapat kegiatan bangunan di kawasan konservasi, dan itu ironi sekali,” ujarnya.

Wahyudin juga mengungkit kawasan hutan lain yang menyusut karena disulap menjadi properti wisata dan pertanian sehingga menghilangkan fungsi utamanya.

Ia menyoroti alih-alih fungsi lahan yang masif di kawasan imbuhan (kawasan yang memiliki daya serap air yang baik) seperti kawasan persawahan.

Kawasan imbuhan yang disebut Walhi terus menyusut, bahkan berpotensi tak lagi terlihat dalam waktu dekat. Penyusutan masif terjadi seiring maraknya izin pembangunan perumahan, izin pembangunan industri serta izin wisata.

“Angkanya bisa sampai mencapai 20 hektare per tahun seiring laju izin mendirikan bangunan (IMB) terus dikeluarkan oleh pemerintah,” kata dia.

“Walhi menyatakan dugaan pemerintah sendiri yang ikut andil melegitimasi kerusakan lingkungan, hal tersebut dapat dilihat dari masih banyaknya Izin-izin yang keluarkan di kawasan yang memiliki fungsi penting, selain itu tidak ada upaya perbaikan dan pemulihan. Saat ini saja, lahan kritis 900 ribu hektare masih belum direboisasi atau reboisasi dengan serius oleh pemerintah,” kata dia.

Kerusakan Hutan Capai 80 Persen

Sementara itu, Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi mengungkap, kerusakan hutan di Jabar mencapai 80 persen.

“Jawa Barat kondisi hutan yang betul-betul masih hutan kan 20 persen lagi. 80 persen kan dalam keadaan rusak,” kata Dedi, dalam rilis yang terima wartawan, Selasa.

Demul, sapaan Dedi menyebut pada Desember 2025 Pemprov Jabar mulai menangani kerusakan hutan. Masyarakat Jabar akan dilibatkan untuk pemulihan hutan tersebut.

Nantinya, setiap hektar hutan akan dikelola oleh dua warga yang bertugas menanam kemudian merawat pohon hingga kokoh dan kuat.

“Mereka mendapat upah dalam setiap hari yang distandarkan oleh saya, Rp50 ribu. Itu lebih mahal dibandingkan upah nyangkul di daerah tertentu yang hanya Rp30 ribu. Kenapa harganya Rp50 ribu? Agar banyak rakyat yang dilibatkan,” tuturnya.

Pemda Provinsi Jabar akan menentukan jenis pohon yang ditanam dalam penanganan hutan rusak, mulai dari beringin sampai nangka.

“Kita tanami pohonnya perpaduan pohon hutan yang tidak bisa ditebang dan pohon produktif, seperti pete, jengkol, nangka sehingga masyarakat dalam jangka panjang mendapat hasilnya,” ucapnya. (Asep Suryana)

Artikel Terkait

Stay Connected

342FansSuka
1,543PengikutMengikuti
1,120PelangganBerlangganan

Terbaru