Amerika Serikat dan NATO, tidak siap menghadapi implikasi serangan militer Rusia ke Ukraina, karena sansksi ekonomi yang dilakukan, justru jadi senjata makan tuan.
Serangan terhadap Ukraina, karena protes Presiden Rusia, Vladimir Putin sejak tahun 2008, agar 15 negara pecahan Union of Soviet Socialist Republic (USSR) sejak 25 Desember 1991, untuk tidak dibujuk masuk NATO, tidak ditanggapi, karena merupakan ancaman kedaulatan bagi Rusia. Apalagi Ukraina berbatasan darat langsung dengan Rusia di sektor timur.
“Saya kadang bingung. Mengapa orang Uni Eropa dan Amerika Serikat sebagai aliansi NATO yang dikenal sebagai tempat orang mendapatkan ilmu pengetahuan modern, tetapi cara berpikir sangat terbelakang berkaitan dengan penerapan sanksi ekomomi terhadap Rusia,” kata Erizely Bandaro dalam laman akun facebook, Selasa, 8 Maret 2022.
“Bukan berarti saya mendukung Rusia. Tetapi saya tidak ingin dalam suatu konflilk rakyat dikorbankan karena kebodohan pemimpin. Mengapa? Sanksi ekonomi Rusia itu jauh lebih besar ruginya bagi Uni Eropa dan Amerika Serikat,” kata Erizely Bandaro.
Ketergantungan dengan Rusia
Untuk membuktikan sanksi ekonomi terhadap Rusia, tidak efektif, Erizely Bandaro, mengatakan sejumlah alasan.
Pertama, Rusia itu 40% ekonomi ada pada energi. Siapa negara yang tidak butuh energi? Sebanyak 40% lagi ekonominya pada komoditi pertanian. Siapa yang negara yang tidak butuh produk pangan?
Dalam politik, international ada istilah “your control energy and food, your control the world Eropa itu sepertiga kebutuhan energi dan makananya dari Rusia. Ini paradox kalau tujuannya memberikan sanksi ekonomi itu akan membuat Rusia hancur.
Kedua, sanksi ekonomi kepada Rusia itu juga memblok clearing mata uang Euro dan USD terhadap Bank Central Rusia. Akibatnya $640 miliar cadangan devisa Rusia susut.
Tersisa hanya $127 miiar dalam bentuk emas dan $70 miliar dalam bentuk Yuan. Artinya USD 440 miliar cadangan devisa di blok.
Apakah Rusia tekor? Hutang luar negeri Corporate Rusia ada USD 490 miliar. Karena utang luar negeri Corporate itu melalui Bank Central Rusia, maka otomatis, hutang juga nol.
Cicilan utang dan bunga korporat atas utang luari negerinya juga kena block. Mengapa ? Rusia itu sama dengan Turki atau kita di Indonesia di era Presiden Soeharto (1 Juli 1967 21 Mei 1998).
Hutang luar negeri swasta di bawah kendali Bank central, bukan oleh market. Padahal tahun 2022 jatuh tempo utang swasta mencapai USD100 miliar. Siapa yang tekor?
Menurut Erizely Bandaro, akibat kebijakan membuat bank-bank di Eropa dan investor private akan tekor. Bisa dibayangkan apa yang terjadi pada bank di Eropa dan Amerika Serikat yang kenal Non Performing Loan (NPL) sebesar gigantik itu. Itu bisa gagal sistemik.
“Apa mereka, Amerika Serikat dan NATO, tidak berpikir panjang?” tanya Erizely Bandaro.
Ketiga, kalau Rusia tidak boleh clearing USD dan Euro, maka Rusia minta Uni Eropa beli gas dan gandum bayarnya pakai emas atau Yuan.
Dari dapatkan emas. Kalau dipaksa beli di market?
“Harga akan melambung naik. Karena stok emas tidak bertambah secara significant. Tekor lagi, kan? Terus, China akan diuntungkan bila Rusia gunakan Renminbi, RMB, sebagai cadangan devisanya. China LUcky. Kebayangkan, Negara yang menguasai 40% energi dan Pangan, mata uangnya dikuasai China. Tanpa perang, China sudah aneksasi Rusia. Makin besar saja sumber daya China untuk menjadi pemimpin dunia,” ungkap Erizely Bandaro.
Dikatakan Erizely Bandaro, langkah sansksi ekonomi sebagai trik Uni Eropa dan Amerika Serikat mau jatuhkan Presiden Rusia, Vladimir Putin, merupakan sebuah kesalahan besar.
Karena Rusia itu sistem negaranya beda dengan Uni Eropa dan Amerika Serikat. Rusia itu tidak ada orang berani terang-terangan menentang pemerintah.
“Vladimir Putin kontrol politik sangat kuat. Militer sepenuhnya dibawah kendali Vladimir Putin. Jadi tidak perlu jadi orang berlatar pendidikan doktoral untuk tahu kebodohan Uni Eropa dan Amerika Serikat. Tapi anehnya siapa yang menggerakan para elite Uni Eropa dan Amerika Serikat untuk jadi dungu,” ujar Erizely Bandaro.
Double standar moral
Erizely Bandaro, mengatakan, apa hikmahdi balik perang Rusia dan Ukrania. Retorika orang Uni Eropa dan Amerika Serikat yang selama ini dipuja sebagai pengggas hak azasi manusia dan perdamain, ternyata omong kosong. Mereka kuat.
Ketika Amerika Serikat invasi Irak. Tidak ada negara lain yang embargo ekonomi Amerika Serikat. Ketika Israel berseteru dengan Iran di Libanon, Amerika Serikat dan Eropa termasuk Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) embargo ekonomi Iran.
Ketika Perancis dan Amerika Serikat membombardir Libia, tidak ada hukuman kepada Amerika Serikat dan Perancis. Ketika Arab bombardir Yaman. PBB bungkam.
“Namun ketika Rusia lakukan kekuatan militer terhadap Ukrania dengan tujuan demiliterisasi Ukrania agar tidak berlaku zolim kepada rakyat di Donbass. Dalam lima hari, PBB kutuk Rusia. Amerika Serikat dan Uni Eropa lakukan embargo ekonomi kepada Rusia. Double standar moral. Hipokrit,” ungkap Erizely Bandaro.
Vladimir Putin melawan dengan gagah berani atas tekanan Uni Eropa dan Amerika Serikat, bukan untuk ingin invasi. Vladimir Putin hanya ingin menciptakan perdamaian dan keadilan bagi negaranya sendiri.
Vladimir Putin tidak mau bernasib buruk sama dengan Yaman, Libia, Irak, negara Eropa timur ex USSR)sejak 25 Desember 1911, yang sudah dianeksasi NATO.
Kalau akhirnya Presiden Rusia, Vladimir Putin harus berperang. Itulah harga untuk dirinya bisa diperlakukan adil. Itu takdir hidup manusia. Lemah dan bego hanya akan jadi korban. Semakin mengeluh samakin bego sebagaimana diperankan Presiden Ukraina, Volodymyr Zelenskyy. Presiden Rusia, Vladimir Putin, tidak mau itu terjadi pada negaranya,” ujar Erizely Bandaro. (Aju)