Jumat, 28 November 2025

UTAMAKAN DIALOG..! Begini Standar Penanganan Demo oleh Polisi, Saat Kondisi Tertib hingga Rusuh Berat

JAKARTA – Polri memeragakan penanganan atau pelayanan aksi unjuk rasa berdasarkan lima tingkat eskalasi, dari tertib hingga rusuh berat. Hal tersebut ditampilkan dalam Apel Kasatwil 2025, Rabu (26/11/2025).

Kelima tingkatan itu antara lain, tertib, kurang tertib, tidak tertib, rusuh, dan rusuh berat.

“Peragaan ini bukan sekadar simulasi, tetapi penegasan bahwa setiap tindakan kepolisian dalam pengamanan unjuk rasa harus sesuai prosedur, terukur, dan menghormati hak-hak warga. Itulah standar pelayanan yang wajib diterapkan di seluruh satuan wilayah,” tegas Dirsamapta Korsabhara Baharkam Polri, Brigjen Ngajib, dalam keterangannya, Kamis (27/11/2025).

Pertama, penanganan berdasarkan tingkat eskalasi unjuk rasa yang tertib. Kondisi itu ketika massa patuh pada imbauan dan kegiatan masyarakat tetap berjalan lancar.

“Petugas menerapkan kehadiran polisi sebagai tindakan pencegahan (deterrent) serta imbauan lisan,” jelas Ngajib.

Kedua, kurang tertib, situasi di mana massa mulai mengejek, melakukan provokasi ringan, dan tidak mengindahkan imbauan.

Petugas, menurut Ngajib, menerapkan kendali tangan kosong lunak dan negosiasi oleh Kapolres sebagai pengendali taktis dalam situasi tersebut.

Ketiga, tidak tertib, di mana massa mulai melempar, melakukan pembakaran lokal, atau gangguan yang menyebabkan luka ringan.

“Petugas melakukan kendali tangan kosong keras dan pendorongan dengan meriam air (AWC),” urai Ngajib.

Keempat, rusuh, di mana massa melakukan kekerasan, perusakan, serangan fisik, dan penutupan jalan secara masif. Situasi itu membuat petugas menerapkan penggunaan senjata tumpul, gas air mata, atau alat non-mematikan sesuai standar.

Kelima, rusuh berat, di mana situasi meningkat hingga memerlukan lintas ganti ke satuan Brimob atau penanganan oleh tim Raimas jika tidak tersedia PHH Brimob.

Menurut Ngajib, penyederhanaan prosedur dari 38 tahap menjadi lima fase membuat pola pelayanan lebih mudah dipahami dan diterapkan oleh petugas, namun tetap menjaga prinsip kehati-hatian.

“Kita ingin seluruh Kasatwil memahami bahwa respons kepolisian tidak boleh reaktif. Ia harus melalui tahapan yang jelas, dengan evaluasi pada setiap tindakan. Inilah bentuk modernisasi pengendalian massa yang akuntabel,” ujarnya.

Lebih lanjut, Ngajib menjelaskan bahwa peragaan tersebut memerlihatkan keterlibatan terpadu berbagai fungsi kepolisian. Antara lain, Sabhara sebagai Dalmas awal, Propam sebagai pengawas tindakan dan kepatuhan prosedur, lalu lintas untuk pengaturan arus, reskrim dalam identifikasi provokator dan pelaku pidana, intelkam untuk penggalangan massa, humas melakukan dokumentasi dan publikasi, K-9 untuk sterilitas area, serta tim negosiator bersertifikasi untuk meredam eskalasi.

Kepada Bergelora.com di Jakarta juga dilaporkan, di sisi lain, teknologi baru juga ditampilkan, seperti helm Dalmas dengan konektor suara yang memungkinkan instruksi didengar hingga radius 2 km, serta penggunaan drone dalam pengambilan keputusan taktis.

Brigjen Ngajib menegaskan bahwa tujuan utama peragaan ini adalah menyamakan persepsi seluruh Kasatwil dalam memberikan pelayanan unjuk rasa yang humanis namun tetap tegas.

“Pelayanan unjuk rasa bukan sekadar pengamanan, tetapi pelayanan publik. Kita wajib memastikan massa dapat menyampaikan aspirasi dengan aman, dan negara tetap hadir menjaga ketertiban umum secara proporsional,” ujar Dirsamapta.

Ia menambahkan bahwa kemampuan komunikasi, negosiasi, dan penguasaan lapangan menjadi kunci sukses aparat di era sekarang.

“Kapolres harus dikenal oleh masyarakatnya. Semakin baik hubungan polisi dengan warga, semakin kecil potensi eskalasi unjuk rasa meningkat,” tutup Brigjen Ngajib. (Web Warouw)

Artikel Terkait

Stay Connected

342FansSuka
1,543PengikutMengikuti
1,120PelangganBerlangganan

Terbaru