MEDAN- Sejumlah buku yang dianggap berpaham komunis atau bermuatan PKI disita oleh aparat TNI dan kejaksaan di toko buku Kota Padang. Muhammad Ikhyar Velayati Harahap menganggap kejadian tersebut kental dengan nuansa politik.
“Penyitaan itu kental nuansa politiknya yaitu menggalang dukungan kembalinya Orde Baru. Ini anomali dalam iklim demokrasi. Publik bertanya, ada apa sebenarnya?, khususnya di kalangan kelas menengah dan kaum akademik. Tanpa ada angin dan hujan tiba-tiba TNI melakukan penyitaan dan langsung viral di masyarakat “kata Ketua PKNU Sumut di Medan, Senin (14/1)).
Menurut ikhyar keanehan terjadi karena penyitaan buku berbarengan dengan isu terbongkarnya isu hoax suara suara tercoblos 7 kontainer dan massifnya rakyat mengecam pola-pola yang biadab tersebut.
“Penyitaan buku yang di anggap berbau komunis di lakukan justru saat isu hoax 7 kontainer surat suara tercoblos yang berasal dari China di ketahui dan publik mengecam pola fitnah yang biadab tersebut. Sebelumnya pemerintah Jokowi juga di tuding sebagai anak PKI dan pro terhadap China. Apakah ini strategi pengalihan isu atau memang kebetulan,“ ujarnya.
Ikhyar yang juga Kordinator Forum Aktifis 98 Sumut menanyakan landasan penyitaan buku buku dan juga kenapa baru di sita sekarang padahal buku buku tersebut sudah ada sejak zaman SBY.
“Yang pertama apa landasan penyitaan, karena banyak buku yang di sita justru bercerita tentang sejarah dan hasil penelitian, bahkan buku tersebut sudah ada sejak zaman SBY. Keanehan lainnya penyitaan buku yang sebenarnya biasa saja tetapi langsung viral di masyarakat, artinya ada jaringan yang massif dan terstruktur yang ingin membangun opini terkait lawan politik adalah PKI atau sejenis karena merasa tersudut secara politik,“ jelas Ikhyar.
Ikhyar mengungkapkan sisa sisa kekuatan Orde Baru selalu menjadikan isu PKI dan Sara menjadi senjata utama ketika mereka tersudut.
“Sisa sisa kekuatan Orde Baru selalu menjadikan isu PKI dan SARA (Suku, Agama, Ras dan Antar Golongan-red) sebagai senjata utama ketika mereka tersudut secara politik. Saat ini mereka berlindung di bawah Partai yang mengusung ideologi konservatif dan Ultra Nasionalis,” ujarnya.
Dalam sejarah, pola klasik ini terlihat dengan jelas dari setiap dinamika dan momentum politik nasional, misalnya ketika tahun 1974 mahasiswa dan rakyat menggugat kenaikan harga BBM, tuntutan pemberantasan korupsi dan hegemoni modal jepang.
“Saat itu para oposisi di berangus dengan tuduhan PKI dan skenario kerusuhan yang memojokkan etnis cina,” katanya
Tahun 1978 Mahasiswa dan rakyat kembali bergerak mengkiritisi Rezim Orde Baru dalam proyek pembangunan Taman Mini Indonesia Indah (TMII), di saat Indonesia haus akan bantuan luar negeri.
“Gerakan tersebut di jawab oleh Rezim Orde Baru dengan kekuatan senjata dan skenario kerusuhan serta pembakaran ruko-ruko etnis Cina. Peristiwa 1978 melahirkan pembungkaman mahasiswa lewat kebijakan NKK/BKK di seluruh Indonesia,” jelasnya
Ia juga mengingatkan, Gerakan 1998 yang menuntut reformasi dan dihapuskannya “KKN” (korupsi, kolusi dan nepotisme) lewat pendudukan gedung DPR/MPR oleh ribuan mahasiswa dan buruh di represif aparat yang menewaskan aktivis mahasiswa dalam, Peristiwa Gejayan, Tragedi Trisakti, Tragedi Semanggi I dan II, Tragedi Lampung.
“Para reformis inipun awalnya di tuduh PKI dan dan etis china kembali jadi sasaran kerusuhan,” katanya.
Pasca lengsernya Presiden Soeharto, TNI telah melakukan reformasi internal secara total dan bersikap profesional sebagai alat pertahanan negara bukan alat kepentingan politik faksi tertentu. Karena TNI tidak ingin terulang kembali selalu konfrontasi dengan kekuatan kekuatan reformis.
“Untuk itu TNI harus segera mengkoreksi tindakan aparat dan jajaran di bawahnya agar sesuai dengan koridor dan iklim demokrasi yang telah di ambil sebagai garis politik dalam berbangsa dan bernegara yang sesuai dengan UUD 45 dan Pancasila,” tegasnya. (Sugianto)