JAKARTA – Pengamat Pertahanan dan Militer Connie Rahakundini Bakrie mengungkap anomali dibalik gagasan besar pemerintah menjadikan Indonesia poros maritim dunia. Pasalnya, alokasi anggaran untuk bidang pertahanan nasional tahun 2017 terhitung minim. Ia menyayangkan alokasi anggaran bidang pertahanan tahun 2017 hanya sebesar Rp 108 triliun.
“Kalo kita hitung kasar aja nih, harusnya panglima mendapat Rp 668 Triliun. Kenapa TNI kita berubah. Saat Presiden menyatakan kita menjadi poros maritim dunia, otomatis kita menjadi negara dirgantara dunia. Tadinya yang kita defensif, kita menjadi ofensif,” ujar Connie dalam diskusi “Polemik Alutsista” di presroom DPR, Senayan, Jakarta, Selasa (22/8/).
Connie menyatakan Indonesia akan sulit menjadi poros maritim dunia tanpa basis perangkat pertahanan yang memadai. Karena itu, ia menekankan peningkatan alokasi anggaran alat utama sistem pertahanan nasional.
“Maka ada dua hal penting (bagi poros maritim dunia), bagaimana pembangunan postur kekuatan dan proyeksinya,” ucapnya.
Connie mengingatkan keinginan pemerintah mewujudkan poros maritim dunia bagi Indonesia harus berbanding lurus dengan usaha merealisasikan kemandirian di bidang pertahanan. Menurutnya, kemandirian pertahanan menjadi pondasi utama bagi pencapaian Indonesia menjadi poros maritim dunia.
“Karena itu yang harus didorong presiden. Terwujudnya kemandirian industri pertahanan,” terangnya.
Connie menilai Panglima TNI Gatot Nurmantyo kurang peka dengan kebutuhan institusi yang dibawahinya. Seharusnya, kata dia, Gatot mengajukan anggaran yang lebih besar selama bertujuan untuk menopang keinginan pemerintah wujudkan Indonesia sebagai poros maritim dunia.
Ia membandingkan performa anggaran kepolisian yang menurutnya bisa diandalkan untuk menguatkan sistem keamanan sipil yang dibutuhkan.
“Kok saya melihat Pak Tito (Kapolri Jenderal Pol Tito Karnavian kerja, Panglima kurang kerja. Saya lihat Pak Tito sebagai Kapolri dia bisa menaikan anggaran keamanan Rp 44 Triliun tahun 2014 menjadi Rp 47 Triliun tahun 2017. Berarti di mata saya, Pak Tito itu sudah bisa menerangkan soal
Connie juga memaparkan, bahwa pengadaan heli ini sudah sesuai dengan kebutuhan mengingat heli Cougar yang banyak dimiliki oleh TNI AU dan Basarnas sudah tidak layak lagi.
“Terbukti Cougar suah banyak mengalami kecelakaan. dan TNI AU paling tahu kebutuhan alutsista di internalnya. Jadi soal pengadaan AW 101 itu sudah sangat sesuai kebutuhan TNI angkatan udara,” tuntasnya.
Connie Rahakundini Bakrie menilai, kasus AW 101 akan membawa banyak masalah. Sebab, kasus tersebut menandakan kegagalan membentuk postur kekuatan pertahanan dan kegagalan mewujudkan kemandirian industri pertahanan.
Menurut Connie, kinerja Kapolri Jenderal Tito Karnavian berkaitan dengan pengelolaan anggaran pertahanan dan keamanan, jauh lebih baik jika dibandingkan dengan kinerja Panglima TNI Gatot Nurmantyo.
Hal itu bisa dilihat dari meningkatnya anggaran keamanan Polri dari Rp 44 triliun pada 2014 menjadi Rp 47 triliun tahun 2017.
Sedangkan TNI yang pada 2017 mendapat Rp 108 triliun tidak bisa menunjukan hasilnya dalam penguatan pertahanan kecuali munculnya kasus korupsi alutsista.
Connie Rahakundini Bakrie juga mengatakan, kasus AW 101 harus dihentikan. karena jika dianjutkan akan membawa banyak masalah baru.
“Ini kan prosedurnya sudah betul, semua petinggi TNI pasti tahu pengadaan Heli ini, dan ini soal alutsista yang menyangkut rahasia negara, kenapa bisa diumbar ke publik,” ujar Connie.
Penuh Kejanggalan
Sementara itu, anggota Komisi I DPR, Supiadin Aries Saputra menilai kasus dugaan korupsi Helikopter Agusta Westland (AW) 101 penuh kejanggalan.
Pasalnya, Badan Pemeriksaan Keuangan (BPK) belum menemukan adanya kerugian negara, seperti yang disangkakan Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo.
“Ya itu lah, kita akan tanyakan kepada Panglima (Gatot Nurmantyo) kenapa kerugian negara, karena secara prosedur tidak ada masalah, kalau prosedur tidak dijalani tidak mungkin pesawat itu sampai ke sini. Jadi prosedurnya sudah benar,” kata Supiadin.
Tapi seharusnya, lanjut Supiadin, jika ditemukan adanya kerugian negara, seharusnya diserahkan kepada angkatan dulu, jangan langsung mempublikasikan bahwa ada kerugian negara dalam pengadaan Helikopter Agusta Westland (AW) 101 itu.
“Penggunaan anggaran itu sama, tapi dalam pengusulan Alutsita ada pada masing-masing angkatan. Tapi pengusulan itu harus di bawah pengawasan panitia, pengusul dan pengadaan yang di bawah oleh Panglima TNI dan Menhan, jadi seharusnya panglima TNI sudah tahu, tidak ada pengajuan Alutsita tiba-tiba datang ke sini Mabes TNI tidak tahu itu tidak masuk akal,” tandasnya.
Pembelian Heli AW-101
Kepada Bergelora.com dilaporkan, Panglima TNI sebelumnya mengumumkan penetapan tiga tersangka dalam kasus pembelian helikopter AW101. Ketiga tersangka diduga menyalahgunakan wewenang sehingga menimbulkan kerugian negara.
Ketiga tersangka adalah, Marsma TNI FA selaku pejabat pembuat komitmen (PPK), dan Letkol. Adm TNI WW selaku pemegang kas. Kemudian, Pembantu Letnan Dua (Pelda) SS yang menyalurkan dana pada pihak tertentu.
Gatot mengatakan, dari hasil penyelidikan POM TNI, diduga terjadi penyimpangan yang dilakukan para pejabat yang ditunjuk dalam proses pengadaan.
Pada Jumat (4/8) pekan lalu, Pusat Polisi Militer menetapkan seorang tersangka baru dalam kasus pembelian helikopter AW101.
Tersangka itu adalah Marsekal Muda TNI SB yang pernah menjabat sebagai Asisten Perencana Kepala Staf Angkatan Udara dan disebut ikut bertanggung jawab dalam proses pembelian helikopter AW101.
Hasil perhitungan sementara ditemukan kerugian negara sekitar Rp 220 miliar dari nilai proyek Rp 738 miliar.
Diketahui, dalam konferensi pers bersama Ketua KPK Agus Rahardjo, Panglima TNI juga menyebut perihal kerugian negara mencapai Rp 220 milyar tanpa audit BPK.
Penggelembungan Harga Heli
Supiadin Aries Saputra meyakini, pembelian helikopter Agusta Westland (AW) 101 telah memenuhi prosedur. Namun, syarat prosedural tidak bisa mencegah praktik penggelembungan harga (mark up). Lagipula, pembelian alat utama sistem persenjataan (alutsista) merupakan wewenang Menteri Pertahanan (Menhan) bukan Panglima TNI.
“Soal pembelian dan pengadaan heli AW 101 yang ramai diperbincangkan secara prosedural sudah benar. Namun memang terdapat mark up,” ungkap Supiadin Aries Saputra.
Purnawirawan TNI berpangkat Mayjen itu meyakini bahwa Menhan mengetahui pasti spesifikasi AW 101 termasuk proses pengadaannya. Sebab alutsista dibahas secara tertutup oleh Komisi I DPR bersama Menhan dan Panglima TNI
“Karena memang ada hal-hal yang menyangkut spesifik alutsista itu dan tidak bisa diketahui oleh umum. Karena itu ada hal-hal yang menyangkut kerahasiaan dalam sistem senjatanya sehingga itu terbatas,” imbuhnya.
Namun demikian pihaknya menolak jika disebut ikut bertanggung jawab dalam kasus AW 101. Sebab, situasi yang terjadi di lapangan di luar sepengetahuan Komisi I DPR. Pembentukan Panja yang menyangkut anggaran hanya sebatas memeriksa kebutuhan di lapangan.
Kasus korupsi pembelian heli AW 101 ditangani KPK dan POM TNI. KPK menangani pihak swastanya sedangkan TNI menangani perwiranya. Sedikitnya ada enam tersangka dalam perkara pembelian satu unit heli AW 101 yang diduga terjadi pengaturan lelang dan “mark up”. (Web Warouw)