JAKARTA- Dalam dua tahun terakhir ini, hampir tiga perempat (73%) responden dalam penelitian Setara Institute mengaku minimal sekali dalam sebulan mencari materi agama dari internet atau media sosial. Hal ini disampaikan peneliti Setara Institute Noryamin Aini dalam Konferensi pers di Jakarta Pusat, Minggu (30/6).
“Luar biasa bahwa hanya 8% responden mengakui tidak pernah mencari materi agama dari internet atau media sosial. Dalam konteks ini perlu dicatat bahwa walaupun internet dan media sosial menjadi sumber dan media utama belajar agama, namun pengaruh fasilitas internet-media sosial tidak cukup signifikan dalam pembentukan keagamaan responden,” katanya.
Siapa dan faktor apa yang dinilai responden berpengaruh terhadap pembentukan keagamaan mahasiswa? Merujuk data yang disajikan, keberagamaan responden oleh Setara Institute,–lebih dominan dipengaruhi oleh figur tradisional yaitu orangtua dan guru agama. Hampir separo (48%) responden mengaku orangtuanya sangat berpengaruh terhadap keagamaannya.
“Sementara pengaruh guru agama di sekolah tidak terlalu dominan. Hanya sekitar 20% responden mengaku guru agama di sekolah sangat berpengaruh terhadap keagamaannya. Satu hal yang cukup menarik bahwa fungsi media sosial dan teman kuliah tidak cukup berpengaruh terhadap pembentukan keagamaan responden,” katanya.
Di sisi lain pengaruh literatur agama terhadap pembentukan keagamaan responden cukup kuat. Sekitar 56% responden literatur agama positif berpengaruh terhadap keagamaannya.
Setara Institute juga menggambarkan informasi tentang pengalaman responden membaca biografi tokoh keagamaan beraliran radikal. Lebih dari tiga perempat (76%) responden mengakui tidak pernah membaca biografi tokoh agama beraliran radikal. Bahkan hanya sebagian kecil, sekitar 5% responden mengaku pernah membaca biografi tersebut.
“Dengan kata lain, pengetahuan responden tentang tokoh paham agama radikal tidak cukup memadai. Rendahnya pengalaman responden mengenal tokoh paham agama beraliran radikal sebagai petanda awal tentang ketertarikan mereka pada ide-ide keagamaan radikal,” katanya.
Penelitian itu juga melaporkan, sekitar 80% responden mengaku bahwa dosennya tidak pernah membahas paham agama radikal. Data ini mengisyaratkan bahwa ide agama radikal secara kuantitatif tidak menjadi isu sentral di kalangan dosen perguruan tinggi asal responden.
Sebelumnya, kepada Bergelora.com dilaporkan, Setara Institute merilis hasil survei soal model beragama pada 10 perguruan tinggi negeri (PTN) di Indonesia. Hasilnya, responden yang diteliti dari mahasiswa Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta dan UIN Bandung menunjukkan bercorak agama paling fundamentalis.
Setara Institute menggunakan metode kuantitatif dalam penelitiannya. Jumlah responden mencapai 1.000 orang dari 10 PTN di Indonesia. Ke-10 kampus yang diteliti yakni Universitas Indonesia, Institut Pertanian Bogor, Institut Teknologi Bandung, Universitas Gadjah Mada, Universitas Negeri Yogyakarta, Universitas Brawijaya, Universitas Airlangga, Universitas Mataram, UIN Jakarta, dan UIN Bandung. (Web Warouw)