Sabtu, 13 Desember 2025

WADUH….! Setara Institute: Jabar Masih Daerah Intoleran Tertinggi, Penangangan Radikalisme Belum Terpadu

Direktur riset Setara Institute, Halili. (Ist)

JAKARTA – Jawa Barat menjadi daerah dengan angka pelanggaran kebebasan beragama atau berkeyakinan tertingi dalam 12 tahun terakhir. Direktur riset Setara Institute, Halili mengatakan hampir tidak ada satupun provinsi yang tidak pernah terjadi peristiwa pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan.

“Dalam data 12 tahun terakhir kami seluruh provinsi pernah terjadi lokus terhadap kebebasan beragama dan keyakinan. Kita punya 34 provinsi dan tidak ada satupun provinsi yang steril. Semua provinsi jadi lokus bagi terjadinya peristiwa kebebasan beragama dan berkeyakinaan” ujar Halili  di Jakarta, Sabtu (24/11).

Menurut data riset longitudinal yang dikeluarkan Setara Institute, tercatat sekitar 629 kasus pelanggaran kebebasan beragama atau berkeyakinan di Jawa Barat. Halili berujar, Jawa Barat selalu jadi yang tertinggi dalam 12 tahun terakhir dikarenakan aktor lokal yang intoleran sangat tinggi.

Halili mengatakan semakin dinamis aktor lokal yang toleran, semakin rendah kebebasan beragama dan berkeyakinan.

“Begitu banyak aktor lokal yang secara terus menerus secara reguler melakukan persekusi terhadap minoritas. Misalnya Garis, dihampir semua peristiwa kelompok intoleran itu terlibat. Baik di lokus itu atau memobilisasi orang untuk mempersekusi minoritas di lokasi lain” ujarnya.

Maka dari itu, Halili mengatakan penting untuk membangun basis sosial kemasyarakatan yang memiliki ketahanan.

“Penting bagi masyarakat membangun ketahanan agar mereka bisa membentengi diri dari penyebaran narasi dan gerakan anti kebhinekaan, anti demokrasi dan anti negara Pancasila,” ujarnya.

Harus Terpadu

Kepada Bergelora.com dilaporkan, Setara Institute memandang penting bagi pemerintah agar memotret agenda pemajuan toleransi dan penanganan radikalisme di daerah sebagai bagian dari pendekatan komprehensif dalam mengatasi isu radikalisme dan intoleransi.

“Pemerintahan, baru periode kedua Presiden Joko Widodo menunjukkan concern yang tinggi terhadap isu penanganan radikalisme dan pemajuan toleransi,” ujar Halili.

Halili mengatakan sejauh ini yang ditampilkan beberapa menteri baru di depan publik, khususnya Menteri Agama, Fachrul Razi, menunjukkan belum baiknya indikator dan perspektif pemerintah dalam agenda pemajuan toleransi dan penanganan radikalisme.

“Sejauh ini kami tidak melihat ada kepaduan, setiap menteri ingin jalan sendiri sendiri terutama Menag yang statementnya menimbulkan kegaduhan,” ujar Halili.

Di sisi lain, pemajuan toleransi dan penanganan radikalisme harus didekati dengan menempatkan daerah sebagai lokus sekaligus aktor strategis.

Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri merupakan stakeholders utama dalam hal ini.

“Agenda pemajuan toleransi dan penanganan radikalisme yang krusial bukanlah soal restriksi pemakaian cadar atau celana cingkrang,” ujar Halili.

Halili mengatakan ada empat hal agenda prioritas yang paling mendesak untuk pemajuan toleransi dan penanganan radikalisme. Pertama, bagaimana mempersempit ruang berbagai ekspresi intoleransi. Kedua, memperkuat regulasi dan jaminan atas kesetaraan hak dan akses bagi seluruh kelompok warga.

“Akses disini terutama kelompok minoritas,” kata Halili

Ketiga, meningkatkan sejumlah aktor lokal dalam memajukan toleransi dan membangun harmoni serta kerukunan dalam kebhinekaan. Keempat, membangun basis sosial kemasyarakatan yang memiliki ketahanan.

“Hal ini untuk membentengi diri dari penyebaran narasi dan gerakan anti kebhinekaan, anti demokrasi dan anti negara Pancasila,” ujarnya. (Web Warouw)

Artikel Terkait

Stay Connected

342FansSuka
1,543PengikutMengikuti
1,120PelangganBerlangganan

Terbaru