Minggu, 19 Oktober 2025

WASPADA…! Hendardi: Kelompok Vigilante Manfaatkan Figur Prabowo, Membangun Kecurigaan

Hendardi, Ketua Setara Institute (Ist)

JAKARTA- Jika kita cermati dinamika politik di kubu calon presiden Prabowo Subianto, terlihat nyata menggunakan kekuatan-kekuatan politik yang semakin ngotot mengklaim kemenangan dengan mengabaikan mekanisme dan tahapan-tahapan elektoral formal yang sedang berlangsung. Hal ini termasuk dengan melakukan propaganda-propaganda delegitimasi dan kontra prosedur dan institusi demokrasi konstitusional yang ada. Demikian Hendardi, Ketua SETARA Institute kepada Bergelora.com di Jakarta, Senin (22/4).

“Justru bukanlah kekuatan infrastruktur politik resmi seperti partai politik dan politisi-politisi kontestan Pemilu, melainkan elit-elit ormas vigilante seperti FPI, tokoh-tokoh eks dan simpatisan HTI, dan tokoh-tokoh Islam konservatif,” jelasnya.

Vigilante adalah seorang yang menegakkan hukum dengan caranya sendiri. Dalam istilah popular dikenal dengan premanisme yang sering bertindak diluar hukum yang berlaku.

Hendardi menjelaskan, sangat tampak bahwa kubu Prabowo melakukan konsolidasi kekuatan dan jaringan semipolitik mereka dengan memanfaatkan figur Prabowo dan jaringan politik formal di sekitarnya.

“Dengan memproduksi narasi, propaganda, bahkan hoaks-hoaks yang mendistorsi kebenaran dan membangun kecurigaan, kebingungan, misinformasi dan disinformasi di tingkat warga masyarakat,” ujarnya.

Penyelenggara Tidak Tegas

Dalam situasi demikian, seluruh partai politik pendukung para kontestan Pilpres dan kontestan Pemilu hendaknya menjadikan Pemilu semata-mata untuk semakin mengkonsolidasikan demokrasi kita dalam kerangka ideologi Pancasila dan konstitusi negara UUD NRI Tahun 1945.

“Untuk itu, seluruh penyelenggara Pemilu–KPU, Bawaslu, DKPP dan Gakkumdu—hendaknya melakukan tugas dan fungsi konstitusionalnya untuk mewujudkan keadilan elektoral dan menegakkan integritas Pemilu,” tegasnya.

Seluruh aparatur keamanan negara menurut Hendardi hendaknya bekerja keras dan bertindak tegas untuk menjamin stabilitas keamanan dan ketertiban masyarakat dalam koridor hukum dan perlindungan hak asasi manusia.

“Seluruh elemen masyarakat sipil hendaknya melaksanakan fungsi-fungsi demokratisnya untuk terus mengawal integritas Pemilu dan kinerja para penyelenggaranya di seluruh level,” ujarnya.

Sebagian besar pollsters atau lembaga survey bereputasi telah melakukan finalisasi laporan polling hasil Pemilihan Umum 2019 dan membuka ‘dapur data’ pada 20 April 2019, difasilitasi oleh Perhimpunan Survei Opini Publik Indonesia (PERSEPI).

Hitung cepat Pemilu 2019 yang dilakukan pollsters terpercaya tersebut menyimpulkan antara lain bahwa pasangan Joko Widodo-Ma’ruf Amin unggul atas pasangan Prabowo-Sandiaga Uno. Namun di sisi lain, Capres Prabowo semakin kencang melakukan klaim kemenangan dalam Pilpres, bahkan sudah tiga kali melakukan deklarasi kemenangan.

Hasil hitung cepat versi pollsters dimaksud jelas bukan hasil akhir hajatan elektoral kita, sebab hasil resmi Pemilu secara konstitusional akan diumumkan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang dijadwalkan akan dilaksanakan pada 22 Mei 2019.

Namun, hasil hitung cepat merupakan prosedur ilmiah yang memberikan gambaran awal hasil Pemilu sekaligus bagian dari kontrol ilmiah atas kinerja penghitungan hasil pemungutan suara, sebagaimana juga menjadi tren elektoral di negara-negara demokratis dunia. Selain itu, secara objektif sejarah elektoral kita menunjukkan bahwa hasil hitung cepat pollsters tidak jauh berbeda dengan Pemilu.

Tiga kali deklarasi kemenangan Pilpres 2019 yang dilakukan oleh Prabowo nyata-nyata bermasalah, pada aspek substantif maupun prosedural. Deklarasi tersebut secara faktual diikuti klaim-klaim kemenangan para pendukungnya, terutama di dunia maya dan forum-forum pengajian, dan propaganda-propaganda yang mendelegitimasi penyelenggara Pemilu, mendestruksi secara sosial integritas Pemilu dan tata kelola demokrasi Indonesia beserta perangkat institusi dan mekanisme di dalamnya.

Merespons situasi tersebut, seluruh elite politik dan kontestan hajatan elektoral mestinya menolak setiap upaya untuk menarik mundur peradaban demokratis kita dan sebaliknya memobilisasi seluruh sumber daya politik untuk menjadikan Pemilu 2019, Pemilu kelima setelah reformasi 1998, sebagai kanal untuk mengkonsolidasikan demokrasi Indonesia.

Artikel Terkait

Stay Connected

342FansSuka
1,543PengikutMengikuti
1,120PelangganBerlangganan

Terbaru