Di tengah wabah Corona berdampak pada seluruh rakyat Indonesia, hendaknya seluruh kekuatan bangsa fokus pada upaya menghentikan penyebaran dan penularan Corona. Karena berbagai agenda lain juga akan sia-sia jika wabah ini tak mampu dihentikan. Parduru, pengamat sosial dan politik menuliskannya untuk pembaca Bergelora.com. (Redaksi)
Oleh: Parduru
APARAT Kepolisian RI Komdak Maluku menahan delapan oknum anggota Front Kedaulatan Maluku yang nekat mengusung bendera RMS. Dua orang di Haruku dan tiga orang di Ambon nekat mengibarkan. Dan tiga orang membentangkan bendera itu di depan Markas Komdak Maluku di Ambon.
Demikian dari media massa kita tahu kejadian itu tanggal 25 April 2020. Mereka dipincut deklarasi RMS, 25 April 1950. Dideklarasikan presidennya Johanes Manuhutu. Kabarnya dengan ancaman. Mafia pembentuk RMS itu terdiri dari eks KNIL, didalangi Dr. Chris Steven Soumokil, Jaksa Agung Negara Indonesia Timur yang amat pro penjajah Belanda, sosok kesayangan kapitalis Belanda.
Sebelum deklarasi RMS itu, ketika Belanda datang kembali berusaha mereparasi rantai kropos penjajahannya pada 1946, maka territori kita serta bangsa Indonesia dipecah jadi tiga negara. NIT (Negara Indonesia Timur) beribukota di Makassar itu. Lainnya Negara Sumatra Timur beribukota Medan serta RI yang berpusat di Jogyakarta. Dua negara disebut duluan diklaim tetap dalam hirakhi Kerajaan Belanda. Dan yang disebut RI diakuinya hanya pulau Jawa, minus bagian Timur dan pulau Sumatra minus NST, beribukota Jogyakarta. Status pulau Borneo belum ditetapkannya.
Selanjutnya akibat Konferensi Meja Bundar atau KMB pada 1949, diirakitlah Republik Indonesia Serikat yang mencakup ketentuan klaim Belanda itu.
Bung Karno bertindak radikal menakjubkan tidak lama berikutnya, secara sepihak pada 1950, kembali pada Proklamasi 17 Agustus 1945 dengan menghapuskan RIS. Presiden RI itu menyatakan tegas, semula wilayah Nederlandshe Indie adalah wilayah RI dan semua penduduk pendiaminya adalah bangsa Indonesia. NIT dan NST kembali kepangkuan RI. RIS dihapuskan terwujudlah NKRI.
Nekolim Belanda memilih NIT jadi batu-pijakannya menjarah ulang nusantara, memilinnya jadi RMS, singkatan Republik Maluku Selatan. Merekayasa RMS itu Belanda sekaligus bertujuan menanam ranjau di wilayah Negara Kesatuan RI yang diproklamasi 17 Agustus 1945. Proklamasi itu buah akumulasi panjang, pelik, rumit dari enerji nyawa, darah serta harta benda para pejuang patriotik radikal sejak ratusan tahun sebelumnya. Oleh warga patriotik dari suku homogen. Semula suku-suku itu satu dengan lain terpisah sporadis berupa kerajaan ataupun diayomi kepala-kepala suku masing-masing teritorial, di seantero tanah air nusantara, jauh di masa dahulu. Warga patriotik di pulau Jawa, dipimpin Dipanegara, Sentot, Alibasyah. Warga patriotik di Aceh dipimpin Teuku Umar, srikandi perang Cut Nyak Din yang perkasa tapi tidak dikenang setenar memperingati ibu Kartini yang sejatinya tdk langsung melawan penjajahan. Warga patriotik di Minangkabau dipimpin Imam Bonjol. Warga patriotik di dataran tinggi Toba di pimpin Raja Singamangaraja. Warga patriotik di Bali dipimpin I Gusti Ngurah Rai. Warga patriotik Sulawesi dipimpin Sultan Hasanuddin. Warga patriotik di Kalimantan dipimpin Sultan Antasari. Warga patriotik di Maluku dipimpin Thomas Matulessy alias Pattimura. Warga patriotik di Flores dipimpin Nipado. Semua patriot pemimpin warga tewas batu alas RI. Secara patriotik semua suku itu sejak jauh hari melawan tiap penjajah diantaranya melawan Portugal, Inggris dan Belanda, Jepang. Penjajah Belanda itulah bercokol paling lama dan buas.
Demikian pula di kemudian hari warga patriotik di kawasan Nederlands-Nieuw-Guinea, (yang kini bernama Papua dan Papua Barat), dipimpinan a.l. oleh J. Abraham Dimara, Silas Papare, Martin Indey, Frans Kaiseppo. Territori dan pemimpinnya disebut diatas deretan warga patriotik kawasan nusantara melawan penjajah.
Adakah perjuangan patriotik habis-habisan mandiri oleh satu suku sanggup berbuah merdekakan diri dan territorinya sehingga bebas dari penjajahan kolonial Belanda?
Jika ada suku patriotik demikian mereka otomatis bebas membentuk kedaulatan politik bernegara merdeka sendiri, menetapkan sistim pemerintahan, tatanan sosial, perekonomian, keuangan, pertahanan, budaya, peradilan dan segala perangkat birokrasi kenegaraan. Kemenangan obyektif mandiri membebaskan diri dari sejarah penjajahannya sedemikian itu, mereka berhak mendekritkan kemerdekaannya dan pasti diakui disambut dengan arakan pujian oleh semua bangsa di segenap benua.
Obyektif ternyata tidak ada satu pun suku diantara penghuni kawasan nusantara jamrud khatulistiwa ini, yang sanggup mandiri meretas rantai penjajahan atas dirinya.
Artinya penduduk di Maluku yang berjuang baku mati habis-habisan secara patriotik dibawah Pattimura dan pejuang lainnya, tidak sanggup memerdekakan diri sendiri. Persis juga seperti suku di lain daerah. Kendati pun itu bernama Aceh.
Warga patriotik Aceh luar biasa siasat dan taktik gerilyanya serta amat perkasa, secara mandiri ternyata tidak dapat melepaskan rantai penjajahan Belanda maka warga Aceh tidak dapat berdaulat merdeka di territori serambi Mekah itu.
Kearifan sejarah melangkah pada koridor obyektif yang terbukti terwujud.
Setelah bangkit ikatan rasa nasional kerakyatan gotong royong lintas suku berorganisasi politik, mulai pada tahun 1920-an dan berkat semangat juangnya membentuk angkatan 26, yakni perintis kemerdekaan serta mewariskannya ke angkatan 28 dan ke angkatan 45, sejak itu perjuangan segenap warga patriotik di nusantara terproses menjulang bertempur melawan Jepang sehingga sanggup memproklamasikan kemerdekaan. Didahului sehari pernyataan merdeka di Rengasdengklok oleh Umar Bahsan, kemudian pada tanggal 17 Agustus 1945 Proklamasi Kemerdekaan bangsa Indonesia dinotariskan sejarah atas nama Soekarno – Hatta. Artinya terbentuknya Republik Indonesia itu bukan hasil sihir.
Maka RepubIik Indonesia terbukti sanggup menggempur pasukan Sekutu (Inggris) pemenang perang dunia kedua, di pertempuran yang masyur di Surabaya dan sepanjang pantura Batavia, Bekasi – Krawang. Negara Republik Indonesia yang diproklamasikan itu meliputi seluruh teritori Nederlandsch Indie dan semua warga pendiaminya.
Lain halnya, dengan penduduk Timor Timur. Dahulu Portugis tetap berhasil bercokol di Timor Timur. Tidak termasuk wilayah Nederlandsch Indie. Maka setelah merdeka, rakyat Timor Leste itu membentuk kedaulatan dengan negaranya. Timur Leste bukan bagian NKRI. Habibie, ketika wewenangnya Presiden RI, bertindak bijak tepat konsisten melaksanakan amanat sejarah obyektif yang benar, membebaskan Timor Leste dari penjajahan rezim Suharto.
Tegasnya sejarah pulau-pulau di kawasan perairan Maluku itu bukanlah seperti Timor Leste, melainkan bagian dari Nederlandsch Indie, maka otomatis turut merdeka dari penjajah berkat Proklamasi 17 Agustus 1945 itu terproses membentuk wilayah RI dan suku penduduknya menjadi bangsa Indonesia.
Pemerintah Kerajaan nekolim Belanda yang sekarang pun masih membolehkan pemerintahan RMS bernapas di Nederland. Kini dipimpin presidennya yang kelima.
Tatkala presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono diundang berkunjung oleh Kerajaan Belanda, ternyata oleh SBY kunjungan kenegaraan itu batal dilakukan sehari sebelum jadwal keberangkatan yang ditetapkan berhubung RMS mengancam akan menahannya jika tiba di Belanda.
RMS nihil basis historis dilahirkan oleh bumi nusantara. Oleh karena itu tindakan penghapusan atasnya hak orisinil patriotik bangsa Indonesia. Patriotisme dalam kalbu sanubari warga teguh berpendirian nasionalisme, dan menolak disintegrasi.
Bung Karno mengirim pasukan TNI menekuk pemberontak separatis RMS itu, dipimpin Kol. Albert Evert Kawilarang dan Overste Ignatius Slamet Riyadi. Pasukan TNI itu paling banyak direkrut dari divisi Siliwangi di Jawa Barat. Overste Ignatius Slamet Riyadi, lahir 1927. Ketika usia 19 tahun pangkatnya Mayor dikukuhkan komandan batalyon XIV divisi IV/Pasukan Senopati. Komadan divisi IV itu Oversten Suadi Suryomihardjo di Jawa Tengah. Komandan tentara dan administrasi penjajah Belanda di Surakarta, Mayjen Mollinger dan kol. Van Ohl, kagum terheran-heran atas kemahiran siasat taktik & strategi tempur, ke pemimpinan ajek prima, keberanian lawannya Overste Slamet Riyadi yang juga persekutuannya yang amat erat dengan rakyat. Dia tewas berusia 23 tahun saat berhasil merebut Ambon dan menekuk pemberontak RMS, 4 Nopember 1950. Tragedi itu menyisakan pertanyaan, berhubung lawan sudah dikalahkan.
Berseberangan diametral dengan pendirian warga patriotik disebut diatas itu, memang terdapat manuver atau konspirasi para komprador, mereka itulah residu KNIL para agen nekolim ditopang mafia CIA AS. Para penggiatnya dilapangan berteriak keras menolak disebut separatis. Mereka itu di lapangan aksi, lokasi peripheri ajang politik. Jauh dari pusaran tarung persaingan politik. Bahkan mereka berteriak tidak merasa berpolitik melainkan melulu aksi perjuangan hak azasi kemanusiaan. Digaungkannya anti penjajah NKRI, dengan pandangan pemerintah pusat RI maupun aparatnya didaerah merampas dan menjajah hak hidup dan sdm serta sda milik warga.
Misalnya di Aceh dahulu. Dan berdalih hal sama kini terjadi di pulau Cendrawasih.
Memang benar, tak terpungkiri terutama di era rezim Soeharto, NKRI digenggam menjadi milik keluarga despotiknya, dengan injakan rantai tank dan roda panser didukung nekolim pimpinan AS.
Para aktivis itu patut meninjau rujukan lebih menukik mendalam ke epicentrum pertarungan antar klas sosial politik.
Bukankah Soeharto geng CIA sesuai pengakuan disampaikan Greg Poulgrain, sejarawan University of Sunshine Coast, Brisbane, Australia, dalam acara bedah buku terbarunya, The Incubus of Intervention, di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Jakarta, 5 September 2017 ? Mantan pejabat CIA Ralph Mc Gehee juga pernah bersaksi bahwa semuanya itu memang benar adanya. Simak juga muatan https://www.cia.gov/library/readingroom/
Dalam birokrasi NKRI geng komprador bersekutu dengan tuantanah feodal bangkrut dan tuantanah guntai bergerak anti patriotisme sejak zaman Bung Karno memang belum tuntas lenyap bahkan masih leluasa beroperasi. Juga di zaman kini, barangkali sekarang minus tuantanah feodal bangkrut.
Anasir komprador dan tuantanah guntai inilah berada di pusat pemerintahan dan daerah merampok hak-hak azasi warga Indonesia yang dahulunya berhasil dimiliki rakyat oleh kemenangan para pejuang patriotik mengalahkan penjajah. Tapi anasir anti patriotisme itu menjarahnya. Komprador dan tuantanah guntai inilah sumber malapetaka NKRI. Mereka terdiri dari politisi serta begawan korporasi yang korupsi, penguntal rente fee, provokator fatwa untuk sara motif nista agama, simpatisan terror, penolak persidangan atas ham berat, perusak serta penyerobot legalis hutan lindung dan tanah ulayat demi agrobisnis kelapa sawit. Antara lain itulah ciri mereka. Para legiun komprador dan tuantanah guntai yang berakrobat di pusat dan di daerah. Terhadap mereka inilah setepatnya dihunjamkan hujur para aktivis tenaga lapangan itu yang menyebut dirinya pejuang hak azasi kemanusiaan anti penjajahan itu. Bukan terhadap kedaulatan NKRI. Sementara itu pemangku mengoperasikan kedaulatan itu direpresentasikan oleh Joko Widodo selaku presiden terpilih. Presiden kini sedang fokus bertarung baku mati menstop serta mengusir Covid-19.
Presiden Jokowi menguras energi. segenap waktunya, material dan dana berperang mengatasi Covid-19 ini, termasuk di daerah Maluku.
Harap tahu, AS saja, negara adi daya juga teramat kewalahan akan dana menekan sebaran Covid-19, apalagi pundi-pundi NKRI yang masih tipis kecil. Bisa diperhitungkan mungkin sedikitnya sepertiga APBN RI ludes mengatasi pandemi covid-19 ini. Adakah para koruptor yang juga anasir anti patriotisme itu peduli dengan nihil syarat politik dan hukum menghibahkan uang korupsi direkeningnya?
Bisa pula disinyalir para benggolan geng anti NKRI, aktor intelektual politikus separatisme itu justru saat Covid-19 beringas ini, mengacau balau dan makin melarat-sengsarakankan warga itu, diunduh untuk momen yang bertujuan mempecundang Joko Widodo. Sudah tentu dananya pun dimobiser untuk tujuan tersebut. Mungkin bisa saja mereka tidak berkehendak dana kejahatan korupsi itu, untuk melawan Covid-19, menutup kebutuhan pemerintah akan dana amat besar itu. Justru uang korupsi itu untuk mendelegetimasi Joko Widodo. Bahkan pihaknya bisa diduga menginginkan agar terjadi kerusuhan massal akibat kelaparan.
Apa setepatnya yang layak dilakukan pemerintah atas uang korupsi milik bangsa Indonesia itu?
Ada usulan mendesak lockdown yang dapat berakibat merontokkan existensi bangsa dan kedaulatan negara kita. Terbukti pula adanya tanggapan busuk terhadap ucapan positif Menhan Prabowo mengenai kebijakan tepat presidennya.
Manuver mendelegitimasi Joko Widodo saat enerjinya dikuras menstop serbuan covid-19. Serentak itu dilancarkan pula belati separatisme seperti terbukti oleh kacung nekat RMS di Ambon, guna menjembatani ke tuntutan lama setidaknya yang minimum yakni referendum seperti Aceh. Tentu berorientasi ingin mengulang cerita peran preseden Jusuf Kalla ditekuk nekolim di Helsinki mengesahkan perjanjian untuk dan tentang Aceh yang merakit “negara Aceh” dalam NKRI. Yaitu propinsi Aceh mempunyai protokol demokrasi dan peradilan tersendiri berbeda dari propinsi lain meski berstatus swatantra yang sama. Propinsi Aceh punya parpol lokal, peradilan hukum sendiri, dll yang tidak terdapat di propinsi lain sekalipun berpenduduk mutlak mayoritas beragama Islam. Padahal NKRI sejatinya homogen dengan sistim politik, sistim peradilan, sistim ekonomi, singkatnya homogen urusan kenegaraan menurut Konstitusi UUD 45 berazas unitaris dalam urusan bernegara, dalam birokrasi pemerintah pusat maupun daerah, berkedaulatan patriotik nasionalis. Kalaupun ada daerah diberi label daerah istimewa, kekhususan hanyalah dalam urusan prosedur tehnis bukan sistim.
Praktek di propinsi Aceh itu, bukankah nyata ironis terhadap Konstitusi UUD 45, buah sabung nyawa, badan dan harta demi revolusi habis-habisan itu demi NKRI yang homogen?
Warga patriotik Indonesia sedang menderita hantaman keras badai Covid-19 ini dan betapapun berat memikul derita kita wajib melawan penyakit ini dengan berbagai tehnik menstop invasinya. Sementara badai Covid-9 itu kita juga ditantang belati desintegrasi.
Pilihan warga patriotik adalah bersatu kehendak bertindak simultan melibas remukkan belati seperatis seperti dilakukan RMS yang bisa memantik benih model tumor referendum Aceh.
Adanya kenyataan itu rakyat patriotik wajib mengantisipasi menularnya kejahatan disintregasi itu di saat warga teramat galau oleh invasi pandemi covid-19 ini. Kita wajib waspada tinggi terhadap bahaya disintegrasi itu dan seiring itu secara simultan menstop invasi pandemi covid-19.
Pendapat ini kuutarakan untuk semua warga disegenap pelosok tanahair bukan hanya untuk Front Kedaulatan Maluku, juga termasuk teramat khusus untuk Surya Anta. Saya pernah tahu bung Surya Anta sosok sejati anti nekolim. Mungkin muak terhadap kesewenangwenangan aparat pemerintah pusat maupun daerah.
Apakah rujukan menyisir kedaulatan NKRI periode ini? Jika mendefinisikan kedaulatan NKRI berwarga patriotik itu masuk kolom penjajah serupa nekolim, tentu kesalahan analisa teramat besar. Bukankah kita ketahui, didalam NKRI ada anasir komprador dan pengantinnya tuantanah guntai, geng itulah musuh bersama warga patriotik. Maka wajib warga patriotik bersama-sama serentak di semua daerah mengenyahkan musuh bersama itu. Hematku, inilah PR bagi segenap pejuang keadilan penegakkan hak azasi manusia.
NKRI harga mati, bukan slogan demagogi produk idealisme nihilis. NKRI harga mati bermakna organis historis hidupnya dialektis setia melawan nekolim dan demokrasi liberal pasar bebas. Merdeka.