JAKARTA – Israel berhasil merebut puncak tertinggi di Suriah, yaitu Gunung Hermon. Selama di Suriah, Israel menyerang hampir 500 sasaran, menghancurkan angkatan laut, dan menghancurkan 90% wilayah Suriah.
“Ini adalah tempat tertinggi di kawasan ini, menghadap Lebanon, Suriah, Israel. Ini sangat penting secara strategis. Tidak ada yang bisa menggantikan gunung,” kata Direktur Institut Strategi dan Keamanan Yerusalem (JISS) Efraim Inbar, dikutip CNN Internasional, Minggu (15/12/2024).
Puncak Gunung Hermon terletak di Suriah, di zona penyangga yang memisahkan pasukan Israel dan Suriah selama lima puluh tahun. Pasukan Pertahanan Israel (IDF) telah maju melampaui puncak tersebut, hingga ke Beqaasem atau sekitar 25 kilometer dari ibu kota Suriah.
Menteri Pertahanan Israel, Israel Katz memerintahkan militer untuk bersiap menghadapi kondisi pengerahan musim dingin yang keras.
“Karena perkembangan di Suriah, sangat penting bagi keamanan untuk mempertahankan kendali kami atas puncak Gunung Hermon,” kata dia.
Israel merebut Dataran Tinggi Golan, dataran tinggi strategis di barat daya Suriah yang berbatasan dengan Gunung Hermon, pada perang tahun 1967 dan terus mendudukinya sejak saat itu. Suriah berusaha merebut kembali wilayah tersebut melalui serangan mendadak pada tahun 1973, namun gagal, dan Israel mencaploknya pada tahun 1981.
Israel selama beberapa dekade telah menguasai beberapa lereng Gunung Hermon yang lebih rendah, dan bahkan mengoperasikan resor ski di sana, namun puncaknya tetap berada di Suriah.
“Kami tidak punya niat untuk campur tangan dalam urusan dalam negeri Suriah. Tapi kami tentu saja bermaksud melakukan segala yang diperlukan untuk menjaga keamanan kami,” kata Perdana Menteri Benjamin Netanyahu.
Kepada Bergelora.com si Jakarta dilaporkan, Puncak Hermon adalah aset luar biasa yang berada di bawah kendali Israel. Dengan ketinggian 2.814 meter, puncak ini lebih tinggi dari titik mana pun di Suriah atau Israel, dan merupakan puncak kedua setelah satu puncak di Lebanon.
Puncaknya hanya berjarak 35 kilometer dari Damaskus. Ini berarti kendali atas kaki bukit Suriah menjadikan ibu kota Suriah berada dalam jangkauan meriam artileri.
Pemimpin pemberontak Suriah Mohammad al-Jolani menuduh Israel melanggar “garis keterlibatan” dengan tindakannya di Suriah. Sementara sekelompok negara tetangganya meminta Israel untuk menarik pasukannya dari seluruh wilayah Suriah.
Wakil Perdana Menteri Yordania Ayman Safadi juga menyebut Israel mencoba mengeksploitasi kekosongan kekuasaan di Suriah. Safadi memperingatkan bahwa stabilitas negara merupakan pilar keamanan kawasan.
“Jika Israel tidak menghormati kedaulatan Suriah, maka hal itu akan menimbulkan ledakan situasi,” ujar dia.
Israel Terus Perluas Wilayah di Suriah
Setelah jatuhnya rezim Bashar al-Assad, Israel terus memperdalam intervensi militernya di Suriah dengan menduduki tiga desa baru di bagian selatan negara itu.
Menurut laporan dari Anadolu Agency yang dikutip Senin (16/12/2024), pasukan militer Israel merebut desa Jamlah di provinsi Daraa, serta desa Mazraat Beit Jinn dan Maghar al-Mir di pinggiran Damaskus.
Langkah ini diambil di tengah kekosongan kekuasaan setelah Assad, yang telah memerintah Suriah selama hampir 25 tahun hingga akhirnya melarikan diri ke Rusia pada 8 Desember. Kepergiannya terjadi setelah kelompok anti-rezim berhasil merebut kendali atas Damaskus dalam ofensif cepat yang dipimpin oleh Hayat Tahrir al-Sham (HTS).
Sejak runtuhnya rezim Assad, Israel tidak hanya meningkatkan serangan udara ke berbagai situs militer di Suriah tetapi juga melanggar perjanjian pelepasan 1974 dengan menduduki zona demiliterisasi di Dataran Tinggi Golan. Kawasan ini telah diduduki Israel sejak 1967 dan menjadi sengketa berkepanjangan antara Israel dan Suriah.
Israel secara sepihak menyatakan bahwa perjanjian pelepasan dengan Suriah kini tidak lagi berlaku. Langkah ini memicu kecaman keras dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan berbagai negara Arab.
Menurut United Nations Disengagement Observer Force (UNDOF), zona penyangga di Dataran Tinggi Golan memiliki panjang lebih dari 75 kilometer dengan lebar bervariasi antara 10 kilometer di bagian tengah hingga 200 meter di bagian paling selatan. Keberadaan pasukan Israel di kawasan ini dianggap melanggar mandat UNDOF, yang bertugas mengawasi gencatan senjata antara Israel dan Suriah sejak 1974.
Langkah ini juga dipandang sebagai pelanggaran kedaulatan Suriah, terutama karena intervensi Israel tidak mendapatkan persetujuan dari pemerintah Suriah maupun komunitas internasional.
Anadolu melaporkan bahwa serangan udara Israel menargetkan lokasi-lokasi strategis di seluruh Suriah, memperburuk krisis kemanusiaan yang sudah melanda negara itu akibat perang saudara berkepanjangan. (Web Warouw)