Sebuah metode baru memungkinkan para peneliti untuk lebih akurat menentukan potensi hepatotoksisitas berbagai obat. Imi peringatan bagi rakyat Indonesia yang yang menjadi pasar buat industri farmasi dan praktek kedokteran yang buruk. (Bergelora.com)

Oleh: Marina Zhang *
PARA peneliti mengidentifikasi 17 obat yang paling berpotensi bersifat toksik terhadap hati dalam sebuah studi tanggal 24 Juni yang diterbitkan di JAMA Internal Medicine.
Penulis studi mengatakan mereka mengurutkan obat-obatan tersebut berdasarkan tingkat cidera hati parah, meskipun mereka tidak dapat menentukan apakah ke-17 obat tersebut menyebabkan cidera akut pada setiap kejadian.
Menurut temuan mereka , 11 dari 17 obat yang diidentifikasi mungkin salah mendapat peringkat hepatotoksisitas (berpotensi membahayakan hati) yang lebih rendah menurut sistem peringkat saat ini.
Untuk menetapkan potensi obat terhadap toksisitas hati, para peneliti telah menggunakan laporan kasus toksisitas hati yang tercantum di situs National Institutes of Health LiverTox.
Laporan kasus adalah laporan terperinci tentang pasien perorangan. Laporan ini sering kali menggambarkan kasus pasien yang baru atau tidak biasa. Dokter menulis laporan kasus saat menghadapi pasien yang unik atau baru di klinik mereka. Beberapa dokter menulis laporan kasus, dan yang lainnya tidak.
Hal ini “tidak diragukan lagi mengarah pada pelaporan yang kurang,” kata penulis senior Dr. Vincent Lo Re III, profesor kedokteran dan epidemiologi di Universitas Pennsylvania, kepada The Epoch Times.
Karena pemeringkatan obat didasarkan pada pelaporan sukarela dokter dan bukan berdasarkan studi populasi yang besar, sehingga profil toksisitas beberapa obat mungkin terlewatkan jika dokter tidak mempublikasikan laporan kasus.
17 Obat-obatan
Cidera hati akut terjadi ketika sel-sel hati rusak hingga hati tidak dapat memproses metabolisme racun, obat-obatan, dan nutrisi dengan baik.
Tujuh dari 17 obat dikaitkan dengan 10 atau lebih rawat inap akibat cidera hati per 10.000 orang setiap tahun. Obat-obatan ini meliputi:
- Stavudine, antivirus yang digunakan untuk mengobati human immunodeficiency virus (HIV)
- Erlotinib, obat biologis bertarget yang digunakan untuk mengobati kanker
- Lenalidomide atau thalidomide, obat imunoterapi kanker
- Klorpromazin, antipsikotik
- Proklorperazin, obat antipsikotik dan antiemetik yang digunakan pada skizofrenia. Obat antiemetik mengendalikan mual dan muntah
- Isoniazid, antibiotik yang sering digunakan untuk mengobati tuberkulosis (TBC)
Sepuluh obat lainnya dikaitkan dengan lima atau lebih kejadian cedera per 10.000 orang setiap tahunnya:
- Moksifloksasin (antibiotik)
- Azathioprine atau mercaptopurine (imunosupresif)
- Levofloxacin atau ofloxacin (antibiotik)
- Klaritromisin (antibiotik)
- Ketokonazol (antijamur)
- Flukonazol (antijamur)
- Kaptopril (menurunkan tekanan darah)
- Amoksisilin dengan klavulanat (antibiotik)
- Sulfamethoxazole dengan trimetoprim (antibiotik)
- Ciprofloxacin (antibiotik)
Lebih dari 60 persen obat tersebut adalah antimikroba seperti obat antivirus dan antibakteri, kata para penulis.
Mengetahui tingkat ALI (acute liver injury),– cidera hati akut yang parah setelah memulai pengobatan berdasarkan data dunia nyata akan membantu menentukan pasien mana yang harus dipantau lebih dekat,” kata Dr. Lo Re.
Data Dunia Nyata
Para penulis mengevaluasi sekitar 7,9 juta pasien yang mengonsumsi salah satu dari 194 obat yang diduga bersifat hepatotoksik. Di antara pasien-pasien ini, mereka mengidentifikasi 1.739 pasien yang dirawat di rumah sakit karena cidera hati akut yang parah.
Dua puluh tujuh persen pasien yang dirawat di rumah sakit meninggal dalam waktu 180 hari setelah cidera hati.
Para peneliti mencatat bahwa temuan mereka mengenai tingkat keparahan obat berbeda dari peringkat toksisitas hati saat ini, yang didasarkan pada laporan kasus dan bukan data populasi besar.
“Pendekatan kami menawarkan metode yang memungkinkan badan pengatur dan industri farmasi menyelidiki secara sistematis laporan cidera hati akut yang disebabkan oleh obat pada populasi besar,” kata Dr. Lo Re.
Sekitar 55 persen pasien mengonsumsi beberapa obat secara bersamaan. Oleh karena itu, cidera yang mereka alami mungkin disebabkan oleh kombinasi obat tertentu, bukan hanya satu obat.
“Kombinasi obat tertentu mungkin memperburuk hepatotoksisitas, dan ini adalah bidang yang sedang kami pelajari saat ini,” kata Dr. Lo Re, seraya menambahkan bahwa mengidentifikasi kombinasi obat tertentu berada di luar cakupan penelitiannya.
Penelitian ini tidak meneliti mekanisme cidera.
Para penulis menyebutkan bahwa antimikroba, yang merupakan salah satu obat yang teridentifikasi, diketahui menyebabkan kerusakan hati. Masih belum jelas alasannya, kata Dr. Lo Re.
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa interaksi usus-hati dapat menyebabkan cidera hati akibat antimikroba. Karena antimikroba membunuh bakteri dan jamur di usus, hal ini dapat mengganggu komposisi mikroorganisme di usus, yang memengaruhi hati. Penelitian lain menunjukkan bahwa antimikroba dapat terurai menjadi zat kimia antara yang bersifat toksik yang dapat melukai sel hati dan menghalangi proses biokimianya.
—-
*Penulis Marina Zhang penulis kesehatan untuk The Epoch Times, yang berbasis di New York. Dia terutama meliput cerita tentang COVID-19 dan sistem perawatan kesehatan dan memiliki gelar sarjana biomedis dari The University of Melbourne. Hubungi dia di [email protected]
Artikel ini diterjemahkan Bergelora.com dari “17 Drugs Most Potentially Toxic to the Liver Identified: UPenn Study” dalam The Epoch Times