Senin, 20 Oktober 2025

Hantu Itu Bernama Pajak

Menkeu RI, Sri Mulyani (Ist)

Kegelisahan masyarakat pembayar pajak semakin meningkat dibawah ini Bergelora.com menerima tulisan dari Setro, pengamat ekonomi politik di Yogyakarta dengan judul asli “Simalakama Jokowi” (Redaksi)

Oleh : Setro

DIAWAL kabinet kerja, Jokowi menunjuk Bambang Brojonegoro sebagai menteri keuangan. Selama dua tahun Bambang bergelut dengan segala kemampuannya mengejar target pemasukan negara. Tapi tetap keteteran dalam menghadapi penerimaan dalam APBN, bahkan penerimaan negara mengalami penurunan.

Tampaknya Jokowi tidak punya pilihan lain, nama besar Sri Mulyani pun menjadi harapan Jokowi untuk bisa mengatasi urusan fiskal dan target penerimaan APBN serta pembiayaan proyek infrastruktur.

Masuknya Sri Mulyani di kabinet kerja pada reshuffle ke 2 Juli 2017 juga mendapat apresiasi semua pihak dan masyarakat.

Karena nama besar Sri Mulyani pada jabatan bergengsi di Bank Dunia, nama besar yang melekat pada dirinya membuat Sri Mulyani menjadi sosok yg tidak tertandingi dan power full dalam urusan keuangan negara. 

Kebijakan Tax Amnesti yang dinilai berhasil, walau jumlah hasil pemasukan tidak banyak seperti diharapkan, Jauh Api Dari Panggang.

Namun sistem yang diletakan oleh Tax Amnesti dianggap sangat berhasil dan efektif dalam mengawasi gerak gerik uang dan pemilik uang.

Maka nafsu Sri Mulyani untuk menggaruk uang dari pajakpun membengkak secara tidak proporsional, untuk tidak dikatakan tidak rasional. 

Mazhab Washington Consensus yang dianut Sri Mulyani menjadi “pedoman bertindak” dalam urusan pajak.

Salah satu dari sepuluh pokok rekomendasi Washington Consensus adalah :

“Reformasi Pajak, dengan memperluas basis pemungutan pajak”.

Tentu tindakan memperluas basis pemungutan pajak bukan tindakan keliru, bahkan benar, tapi di Indonesia Reformasi pajak yang terutama harus dilakukan terlebih dahulu adalah melakukan reformasi pada internal personil dari Ditjen Pajak.

Tanpa itu memperluas basis pemungutan pajak adalah omong kosong.

Dan itu tidak dilakukan oleh Sri Mulyani.

Sudah menjadi rahasia umum di masyarakat luas, terutama masyarakat bisnis dari bawah sampai keatas, bahwa kerjaan personil pajak adalah berburu pungutan liar dan setoran untuk diri pribadinya.

Memeras, menekan dan memaksa wajib pajak untuk memberi suap, mengajak dan mengajari wajib pajak untuk kongkalikong, itulah perilaku personil pajak secara umum.

Masih ingat Gayus Tambunan? 

Itulah tipikal personil pajak. 

Dapatkah berburu target pajak mencapai maksimal dengan mengandalkan personil pajak yg korup bobrok, dengan tanpa dilakukan reformasi personil dulu ? 

Sebenarnya ada kesadaran baru dari wajib pajak kalangan masyarakat bisnis untuk membayar secara benar atas kewajiban pajaknya, tapi karena sikap personil pajak yang selalu “ganas” mencari-cari dan menekan wajib pajak. 

Selama ini, hingga saat kini, kebanyakan wajib pajak pun menjadi apatis, akhirnya Wait and See dan enggan melakukan ekspansi usaha, membatasi pada usahanya yang sudah ada.

Kemudian Sri Mulyani mengeluarkan SK Menteri, bahwa Bank diwajibkan melaporkan nasabah yang memiliki Saldo di Bank dengan nominal 200 juta rupiah dan keatas, untuk dikejar pajaknya sesuai laporan SPT nasabah.

Tindakan Sri Mulyani ini lebih merupakan tindakan kalap dari sebuah nafsu yang membengkak.

Tak pelak lagi SK Menteri ini mendapat reaksi protes yang luar biasa dari kalangan UKM sampai pada kalangan lapisan menengah pas-pasan.

Saya sempat menyaksikan rasa risau dan takut dari masyarakat desa Ngobo Karang Jati, Kabupaten Semarang yang secara kolektif menjual tanahnya kepada developer.

Sebab mereka akan menerima pembayaran dari developer dalam kisaran 200-400 Juta Rupiah per pemilik lahan.

Saya sarankan pada mereka agar penerimaan uang di Bank disimpan pakai dua atau tiga nama, pinjam atau pakai nama anak, adik, atau kakak.

Namun reaksi mereka tetap menuding dan memaki Jokowi menindas rakyat.

Istilah mereka jelas :

“Menindas Rakyat”, sayapun menjadi sangat termangu mendengar makian itu, tidak salahkah telibgaku?

Ternyata tidak!

Toh mereka tidak tahu sama sekali kalau itu adalah tindakan kebijakan dari Sri Mulyani.

SK Menteri ini kemudian direvisi oleh Jokowi setelah menerima protes dan pengaduan rombongan UKM di istana presiden, batas nominal pun dinaikan oleh Jokowi dari 200 Juta menjadi 2 milyar rupiah.

Setelah nominal Saldo yg wajib dilaporkan oleh Bank kepada Ditjen Pajak naik menjadi 2 milyar rupiah, tapi karena rasa takut dan trauma pada “ganas”nya personil pajak selama ini.

Maka saat ini terjadi fenomena dikalangan pelaku bisnis, mereka membatasi tidak akan menyimpan saldo di bank mencapai 2 milyar rupiah.

Mereka lebih suka menyimpan surplus uangnya dibawah bantal untuk sementara, atau dibelikan Emas batangan disimpan sebagai investasi.

Karena kalangan bisnis selalu menggunakan harga Emas sebagai patokan harta, sejak dahulu, kenaikan harga emas selalu equvalen dengan kenaikan harga tanah secara normal, juga equvalen dengan kenaikan harga mobil New Brand.

Memang konyol menyimpan uang dibawah bantal walau itu bersifat sementara, tapi itulah yg terjadi.

Akhir-akhir ini beredar luas berita bahwa pemilik tanah tidak bisa menanda tangani AJB (akta jual beli) di PPAT bila tanah tidak dilaporkan dalam SPT, atau akan dikenakan denda pajak yg cukup tinggi, atau pemilik tanah akan dikejar personil pajak karena setiap transaksi AJB ada sistem laporan sampai Ditjen Pajak.

Atau saat balik nama di BPN akan dicegat oleh personil pajak, demikian pula berlaku pada pembeli, akan dikejar sesuai laporan SPT, uang dari mana, sudah bayar pajak belum? dst. 

Berita ini tidak pernah mendapat klarifikasi, maka saat ini masyarakat membatasi diri untuk berusaha tidak melakukan transaksi jual beli tanah kecuali sesuai dengan laporan SPT nya dan ada kebutuhan.

Baru-baru ini Sri Mulyani juga mengeluarkan regulasi atau aturan terhadap barang-barang import kecil-kecilan dalam bentuk barang kiriman, yang biasa dilakukan oleh UKM karena belanja kulak’an dari luar negeri dalam volume kecil. 

Biasanya hanya berapa koli dengan volume total rata-rata dua sampai tiga atau empat meter kubik, barang dengan volume kecil tidak mungkin dikirim menggunakan konteiner, barang-barang itu dikirim via jasa ekspedisi borongan door to door, urusan bea cukai semua diurus dibayar via ekspedisi sesuai aturan bea cukai.

Mekanisme ini sudah berjalan puluhan tahun, sekarang mendadak distop oleh Sri Mulyani, semua barang yg masuk dari luar negeri harus menggunakan Izin import, tentu ini tidak mungkin dipenuhi oleh UKM.

Karena yang mempunyai izin import itu adalah perusahaan importir besar.

Saat ini hampir semua UKM yang belanja kulak’an dari luar negeri secara kecil-kecilan terhenti semua.

Kecuali satu atau dua kasus masih bisa berjalan lewat pintu bea cukai di kota kecil.

Maka dalam bulan-bulan ini harga barang yang selama ini dipasok lewat impor barang kiriman itupun mengalami kenaikan harga rata-rata 30% – 40%.

Berapa pengusaha UKM diseluruh negeri mati usahanya?

Siapa yg disalahkan?

Jokowi !

Sikap dan tindakan Sri Mulyani yang “ganas” berburu setiap dan semua transaksi di masyarakat, tidak peduli besar atau kecil, kakap atau teri, termasuk royalti dari hak cipta penulis novel sekalipun juga tidak luput jadi “mangsa buruan”. 

Seperti yang terjadi pada novelis Tere dan menjadi heboh baru-baru ini.

Ini sudah melampaui batas rasionalitas seorang menteri keuangan.

Setidaknya dalam taraf perkembangan masyarakat Indonesia saat kini, tidak bisa disamakan dengan kondisi yang terjadi didunia barat yang sudah matang dalam kehidupan masyarakat dan matang dalam sistem perpajakan serta matang karakter birokrasinya.

Kebijakan dan tindakan Sri Mulyani yang diulas diatas, berakibat sangat parah pada dunia usaha dan kalangan pelaku bisnis. 

Terutama pelaku ekonomi UKM dan menengah besar, akibat yg langsung nyata adalah mayoritas pelaku usaha berhenti melakukan ekspansi usaha dan ekspansi bisnis.

Efek Dominonya tentu akan berakibat mandegnya pertumbuhan ekonomi sektor perdagangan dan industri.

Yang efek Domino selanjutnya pasti merembet kemana-nana.

Pengangguran yang membesar dst. 

Pelaku usaha adalah motor penggerak ekonomi, dan saat ini motor penggerak itu dihentikan oleh kebijakan dan tindakan yang dilakukan oleh menteri keuangan sendiri. Tragis !

Sri Mulyani diakui sebagai seorang akademisi yang pintar, urusan ekonomi makro, fiskal dan moneter adalah keahliannya.

Tapi keahliannya adalah berakar dari mazhab ekonomi Washington Consensus, apakah cocok dengan kondisi masyarakat Indonesia yang masih bergulat dengan kemiskinan?

Kenyataan akan menjawab sebuah kebenaran !

Yang pasti Sri Mulyani tidak memiliki latar belakang sebagai pelaku usaha, terlebih juga tidak memiliki hubungan dekat dengan lingkaran pelaku usaha, tidak memahami karakter dunia usaha.

Posisi Sri Mulyani akan membuat kebijakan-kebijakannya mengalami distorsi akibat tidak memahami kondisi aktual dunia usaha.

Terus saat ini Sri Mulyani mengajukan RUU PNBP, untuk melakukan revisi terhadap Undang-Undang PNBP yang arahnya akan mengais dari Penerimaan Negara Bukan Pajak.

Setiap nafas kehidupan rakyat akan dibebani pajak, lantas bagaimana reaksi rakyat nanti ?

Sadarkah Sri Mulyani bahwa kebijakan dan tindakannya makin menjauh dari kepentingan rakyat? 

Akhirnya popularitas dan dukungan rakyat akan menjadi taruhan Jokowi. 

Jokowi bak mendapatkan buah Simalakama, maju kena mundurpun kena.

Inilah yang saya maksud dengan:

“Berburu binatang di dalam Kehun Binatang”

atau

“Menangkap Ikan di dalam Aquarium”

Tahun depan 2018 bakal terjadi krisis ekonomi, dan itu sudah terasa sejak memasuki bulan November 2017.

Sejarang saya mau tanya, saat mengetahui Jokowi memanggil pulang Sri Mulyani untuk menjadi Menkeu, siapa kemarin yang menyanyi lagu ?

“Sri Mulih-o! Sri Ndang Balik!”

Artikel Terkait

Stay Connected

342FansSuka
1,543PengikutMengikuti
1,120PelangganBerlangganan

Terbaru