JAKARTA – Pemerintah Filipina tengah menyiapkan “skenario terburuk” demi mempersiapkan penanganan atas potensi polemik kekeliruan dalam program vaksinasi virus demam berdarah (DBD) yang dilakukan terhadap lebih dari setengah juta anak. Skenario terburuk tersebut dirancang usai firma produsen vaksin itu melaporkan telah melakukan kesalahan dalam mengkalkulasikan efek hasil produknya.
Firma farmasi asal Prancis, Sanofi Pasteur, mengakui pada Rabu (29/11) pekan lalu bahwa vaksin Dengvaxia justru akan memicu infeksi demam berdarah yang jauh lebih parah terhadap individu yang belum pernah terpapar virus tersebut. Demikian seperti dikutip Bergelora.com dari Independent, Jumat (8/12).
Usai pengakuan itu, Manila memutuskan untuk menghentikan proses imunisasi vaksin tersebut di penjuru sekolah di Filipina, seperti dilaporkan oleh Independent pada Senin, 4 Desember 2017.
Namun, keputusan itu datang terlambat karena sebelumnya program vaksinasi itu telah terpapar pada lebih dari sekitar 733.000 anak (siswa-siswi sekolah) di penjuru Filipina.
“Kementerian Kesehatan (Filipina) tengah mempersiapkan skenario terburuk,” kata juru bicara Kemenkes, Eric Tayag.
Tayag melanjutkan, vaksin tersebut telah diberikan kepada anak-anak berusia 9 tahun ke atas. Skema vaksinasi beroperasi di daerah di mana demam berdarah sudah meluas.
“Mereka yang telah divaksin akan diperiksa lebih lanjut untuk kemungkinan efek samping,” ujar Tayag.
Kemenkes Filipina juga tengah mengkaji dokumen kasus DBD terdahulu yang masuk dalam kategori “parah”. Kajian itu dilakukan guna mempersiapkan potensi efek samping dari vaksin Dengvaxia.
1.000 Tewas
Kepada Bergelora.com dilaporkan, tahun lalu, kasus pengidap atau terduga mengidap infeksi DBD mencapai angka sekitar 211.000 orang per tahun 2016. Dari total angka itu, sekitar 1.000 orang tewas, kata data Kemenkes Filipina.
Untuk itu Manila memerintahkan penyelidikan mengenai imunisasi vaksin demam berdarah pada lebih dari 730 ribu anak-anak. Penyelidikan ini terkait dengan dihentikan program vaksinasi menyusul pengumuman perusahaan obat Prancis Sanofi bahwa vaksin tersebut dapat memperburuk penyakit pada beberapa penderita.
Lembaga swadaya masyarakat di Filipina mengatakan, menerima informasi bahwa tiga anak-anak, yang divaksinasi dengan vaksin Dengvaxia pada April 2016, meninggal. Namun, Sanofi mengatakan, bahwa tidak ada kematian dilaporkan sebagai akibat dari program tersebut.
“Sejauh yang kami tahu, dan sejauh yang kami sadari, tidak ada kematian dilaporkan terkait vaksinasi demam berdarah,” kata Ruby Dizon, direktur kesehatan Sanofi Pasteur Filipina dalam jumpa pers di Manila.
Pada pekan lalu, Departemen Kesehatan Filipina menghentikan penggunaan vaksin Dengvaxia setelah Sanofi mengatakan bahwa vaksin itu harus betul-betul dibatasi karena bukti bahwa vaksin tersebut dapat memperburuk penyakit pada yang sebelumnya tidak pernah terpapar infeksi.
Dalam pernyataan dikeluarkan di Filipina, Sanofi menjelaskan “beberapa temuan baru”, namun mengatakan bahwa evaluasi keselamatan jangka panjang vaksin tersebut menunjukkan secara signifikan bahwa lebih sedikit rawat inap demam berdarah pada orang yang divaksinasi pada usia sembilan tahun ke atas dibandingkan dengan mereka yang belum divaksinasi.
Hampir 734 ribu anak berusia sembilan tahun ke atas di Filipina telah menerima satu dosis vaksin sebagai bagian dari program yang menelan biaya 3,5 miliar peso (69,54 juta dolar Amerika Serikat).
Departemen Kehakiman Filipina pada Senin memerintahkan, Biro Investigasi Nasional (NBI) untuk melihat dugaan bahaya terhadap kesehatan masyarakat, dan jika terdapat bukti yang meyakinkannya, pihaknya akan mengajukan tuntutan yang sesuai. Tidak ada tanda bahwa pejabat kesehatan Filipina mengetahui ancaman saat mereka menjalani vaksinasi.
Meski begitu, Organisasi Kesehatan Dunia mengatakan, pada sebuah makalah pada Juli 2016, bahwa vaksinasi kemungkinan tidak efektif secara teoritis. Bahkan, dapat meningkatkan risiko rawat inap di rumah sakit atau penyakit demam berdarah parah pada mereka yang tidak berpenyakit pada saat vaksinasi pertama tanpa memandang usia.
Otoritas Ilmu Kesehatan Singapura mengatakan, pekan lalu bahwa pihaknya menandai adanya risiko saat vaksin tersebut disetujui di sana pada Oktober 2016, dan bekerja dengan Sanofi untuk memperkuat peringatan risiko pada kemasan obat tersebut.
Menurut Sanofi di Manila, dari 19 izin untuk vaksinasi Dengvaxia dan diluncurkan di 11 negara, hanya dua di antaranya -Filipina dan Brasil- memiliki program publik untuk mengelola vaksin tersebut. (Web Warouw)