Jumat, 4 Juli 2025

P R D

Wilson (paling depan), Xanana Gusmao (ke 5 dari kiri barisan kedua), Ignatius Pranowo (samping kanan Xanana Gusmao), Nuku Sulaiman (ke 3 dari kanan), Suroso (samping kanan Nuku Sulaiman), Yakobus Kurniawan (ke 2 dari kiri belakang), Ken Budha Kusumandaru (ke 4 dari kiri belakang), Victor Da Costa (ke 5 dari kiri belakang), Sri Bintang Pamungkas ke 7 dari kiri belakang), Petrus H. Harjanto (ke 9 dari kiri belakang), I Gusti Anom Astika (ke 10 dari kiri belakang), dan Wimanjaya (ke 12 dari kiri belakang) di Penjara Cipinang, Jakarta 1996. (Ist)

Tulisan Romo Mangun (YB Mangunwijaya) selalu menjadi cermin bagi yang masih nyadar. Bergelora.com berterimakasih atas ijin Wahyu Susilo karena masih menyimpan dan membagikannya di akun facebooknya, agar semua masih bisa berkaca. (Redaksi)

Oleh: YB Mangunwijaya

18 tahun yg lalu (10 Februari 1999), Romo Mangun (YB Mangunwijaya Pr) telah “pergi” namun gagasannya ttg “memerdekakan manusia” tetap menjadi api spirit yg tak padam. Ini adalah salah satu artikel yg ditulis swargi Romo Mangun berjudul “PRD” tentang “anak-anak muda yang tak sabar”. Artikel ini ditolak dan tak dimuat di semua koran Indonesia pada waktu itu (Agustus 1996). Di artikel ini dia ungkapkan pandangannya tentang kangmas #WijiThukul yg telah dikenalnya sejak lama. (Wahyu Susilo)

—–

PRD kini dicap sebagai entah dalang penunggang pembonceng penyulut penghasut biang atau anak PKI entah apa lagi, pokoknya harus digebuk. Saya sendiri ternyata makhluk terbelakang suku terasing, sebab sebelum peristiwa 27 Juli yang lalu belum pernah mendengar tentang adanya PRD.

Memang Wiji Thukul saya kenal sejak lebih dari 10 tahun yang lalu, dan terakhir berjumpa di padang kampus Monash University kira-kira empat tahun yang lalu. Ia sedang tour puisi. Pusinya saya sukai karena melagukan amanat penderitaan rakyat yang harus saya dengar serius kalau saya masih ingin disebut rohaniwan.

Maka saya terkejut ketika namanya diikat pada ekor Kongres PDI di Medan yang “mengasyikkan” menyaingi Atlanta itu. Saya bukan politikus praktis yang punya kompetensi untuk menilai apa betul adik-adik PRD dan yang disebut-sebut onderbau-onderbau itu komunis atau tidak, marxis atau leninis atau maois atau aiditis atau ternyata hanya budimanis biasa (bukan Arief Budiman tetapi Budiman Sudjatmiko, dua-duanya nama amat indah dari segi sastra yang membuat saya iri).

Penyair WJ Thukul saat Deklrasi Partai Rakyat Demokratik (PRD) 1996. Sampai saat ini masih hilang diculik aparat Orde Baru (Ist)

Saya hanya rohaniwan biasa yang juga biasanya dan sepantasnya empatisan dan simpatisan kaum muda, terserah muda manis atau muda nakal sama saja. Mungkin itu karena fase hidup saya suadh termasuk lansia (sebutan puitis juga yang tidak perlu dicemburui) dan dalam suasana mogok sekarang sepantasnya solider ikut diserang mogok-jantung.

Maka tulisan sekitar PRD ini juga sama sekali tidak politis teoritis apalagi praktis. Dan jelas tanpa penthungan di tanngan atau gas air mata di selang atau peluru timah atau karet di laras pipa mesiu dsb.

Saya hanya ingin menyatakan empati dan simpati saya kepada anak-anak muda yang sedang terdakwa (belum divonis, jadi harus kita hargai dengan praduga-tak-bersalah jika kita hidup dalam negara hukum) dan yang kesalahannya konon hanya: kurang sabar.

Beberapa pimpin PRD yang masih hilang diculik aparat Orde Baru, Wiji Thukul (ke 2 dari kiri di kolom ke 2), Suyat (ke 4 dari kiri di kolom ke 3), Herman Hendrawan (ke 3 dari kiri di kolom ke 4), dan Petrus Bima Anugrah (ke 2 dari kiri di kolom ke 5) (Ist)

Tetapi yah mana di dunia ini ada anak muda yang sabar, kan namanya lalu tidak muda lagi, tetapi kakek gaek seperti saya ini. Dan lagi, bila para kawulo mudo Indonesia sekarang saya banding dengan muda mudi Belanda Jerman Inggris, atau lebih baik dibanding dengan generasi muda zaman Soekarno-Hatta dan Soempah Pemoeda dulu, wah kok seperti serimpi Solo saja. Tetapi sabar dan kurang sabar itu memang relatif, tidak dapat diukur eksak matematis.

Nah, foto Wiji Thukul di koran jelas mirip orangnya. Hanya tidak kelihatan bahwa telinganya belum sembuh betul dan matanya semakin berdarah setengah buta akibat disiksa karena menurut Republika (koran bermutu) kepalanya yang penuh puisi dibenturkan secara kurang puitis pada body jeep yang tidak puitis milik aparat negara (Pancasila) oleh tentu saja oknum di luar tanggung jawab negara hukum berdasarkan UUD 45, dan yang tidak pernah dapat kita mintai tanggung jawab. Tetapi itu tidak penting (walaupun sebenarnya penting).

Andi Arief dan Budiman Sujatmiko (Ist)

Foto Budiman Sudjatmiko di majalah Forum Keadilan (yang aneh sekali mirip tempo itu, padahal tempo sudah dibredel) tampak muram, seperti pemuda hardebu (hari depan kelabu), tetapi menurut koran lagi, ia pemuda radikal (dari akar kata Latin radix = akar, mungkin akar rumput) dan tegas bertekat rawe-rawe rantas malang-malang putung.

Saya amat-amati wajahnya, kok mirip tokoh mahasiswa Rusia di bawah yanah melawan kaum komunis dalam film Dokter Zhivago (buku aslinya ciptaan pemenang Hadiah Nobel Sastra, Boris Pasternak) yang terkenal itu. Jadi bertolak belakang dengan tudingan dari para yang berwenang.

Tetapi dalam foto yang dimuat harian republika ia lebih ceria meski masih terlalu serius seram untuk zaman diskotek sekarang. Lain dari yang berdiri di kirinya, yang tersenyum ramah khas ala Indonesia. Di foto lain tampak ada seorang gadis (berkacamata intelektual) duduk di meja pengurus pada upacara deklarasi PRD, sedangkan di muka maik tampak sang pemenang Hadiah Magsaysay Pramoedya Ananta Toer berpidato (dari kertas agar tidak keseleyo mungkin).

Apakah gadis itu yang bernama F. Ria Susanti, kepala Departemen Hubungan Internasional PRD ? Cerdas juga. Ada foto pula dari Andi Arief (lho, pemberani-pemberani kok selalu pakai nama Arief, Arief Rahman Hakim misalnya dan yang diam di Salatiga itu). Ia seperti anak SMU simpatik yang baru saja latihan bola basket.

Salah satu aksi PRD bersama kaum tani yang dibela beberapa waktu lalu (Ist)

Tetapi yang paling mengesankan ialah foto besar dalam harian yang didirikan oleh Menristek B.J. Habibie tadi, yang memperlihatkan sekelompok anak-anak remaja berikat kepala gaya samurai berhuruf PRD dengan simbol bintang dan cuilan roda-gigi.

Mereka tampak mengacungkan tangan berkepal tegar ke atas (mengepalnya lain caranya dengan kebiasaan komunis: ibu jari menunjuk ke surga, sedangkan ibu-jari kepal komunis menunjuk ke arah Moskwa atau Beijing) sambilo berteriak aaa atau ooo tidak dapat dianalisis dari foto.

Melihat anak-anak remaja yang masih hijau kecil dan lucu itu (ndemenakake dalam bahasa Jawa, artinya: membuat hati senang sayang) saya bergumam sendirian yang mudah-mudahan tidak terdengar orang lain: ah mosok anak-anak lucu ndemenakake ini komunis? Komunis dalam pengertian masyarakat ramai jangan diartikan penganut filsafat Marx atau teori politik bolsyewisme, leninisme, stalinisme, maoisme atau aiditisme, tetapi penjahat buas ganas kakeknya iblis yang oleh aparat harus diinjak mampus seperti coro atau ditembak klenger (tak berkutik) seperti macan kumbang.

Ketua Umum PRD, Agus ‘Jabo’Priyono dan Sekjen PRD, Dominggu Octavianus Kiik dalam Konggres PRD 2015 (Ist)

Entahlah, saya selalu ingin jujur: melihat foto mengeharukan begitu ndemenakake itu, kok malahan saya ini digenangi rasa empati atau simpati kepada mereka. Walaupun meskipun kendatipun biarpun itu sangat terlarang.

Maklumlah, saya bukan intel tetapi rohaniwan biasa. Mungkin dengan mengaku terlalu jujur seperti ini saya akan dituduh sebagai orang sentimentil atau romantikus atau tukang mimpi atau dalam bahasa PKI: utopis, celakanya disebut subversif, hanya karena saya merasakan sentuhan sayang simpati sepoi-sepoi tetapi mendalam kepada anak-anak ndemenakake itu, yang sekarang pasti lari tunggang langgang disembunyikan orangtuanya entah dimana, di Boven Digul, Nusa Kambangan atau Pulau Buru atau entahlah yang masih punya hutan lebat untuk menyembunyikan mereka yang malang itu (sementara).

Dan rasanya saya menangis, dengan keluhan kakek-nenek Jawa: “Duh Gusti, nyuwun kawelasan.” (Tuhan, mohon ampun). “Cah durung iso sisi ngono kok ya komunis ki ketemu pirang perkoro.(Anak yang masih belum bisa membersihkan lendir hidung seperti itu kok komunis itu kesimpulan nalar macam apa). Tetapi tentulah itu perasaan yang terlarang.

Maka dengan ini resmi saya cabut kembali, “daripada heboh” kata orang-orang tua kuna. Tetapi salut kagum dan doa saya panjatkan di dalam hati saya ini. Ini sebetulnya munafik, sebab mengapa sikap dalam hati kok dituangkan dalam karangan harian ibu-kota. Tetapi sudahlah, munafik dan munafik pun relatif, tidak perlu dibikin heboh.

Yang penting anak-anak itu harus dilindungi dan disayangi. Jangan diuber-uber. Kita dulu kan juga pernah remaja dan muda, bukan. Dan seandainya pun mereka salah, ya sudahlah, siapa zaman sekarang ini tidak salah. Siapa yang tidak pernah salah boleh melempar batu rajaman pada yang pertama. Memang semua ruwet. Tidak perlu menambahi keruwetan. Komunis ? Leninisme, Stalinisme, Maoisme, Aiditisme?

Terserah, tetapi anak-anak yang terdakwa itu pantas kita sayangi, dan kita hargai. Ini cara bersikap yang paling bijaksana, dan berani tanggung, pendirian dan ajuran setiap kakek yang masih ingin disebut kakek yang biasa normal sayang sama cucu-cucu.

PRADUGA TAK BERSALAH

Ada yang mengatakan secara ilmiah PRD itu varian revolusioner Marxisme. Tetapi ada pakar (Dr Arbi Sanit, dosen UI, jadi pegawai negeri, jadi aman untuk dipercaya oleh setiap pegawai negeri yang paling robot sekalipun) justru berpendapat sebaliknya: peristiwa 27 Juli itu akibat mismanagement politik pemerintah.

Mungkin yang beliau maksud: akibat mismanagement pengadaan Kongres PDI di Medan. Contohnya, wakil-wakil Irian bercerita kepada selusin wartawan, mereka dibelikan tiket oleh … (tidak boleh dan tidak perlu disebut karena sudah jelas) dan uang saku yang yahud, dengan syarat harus alim ikut Kongres PDI di Medan. Tetapi di tengah jalan berhenti di Jakarta dan menggabungkan diri ke Jl. Diponegoro, mendukung Megawati Sukarnoputri, wah kok seperti komedi Stambul atau sinetron Sawung Kampret bikinan Dwi Koen saja.

Tetapi kita harus ingat bahwa Kongres PDI di Medan itu secara resmi tidak pernah disebut sebagai penyulut api jago merah 27 juli itu. Jadi resmi juga tidak ada hubungannya dengan kerusuhan yang laporan kronologisnya (meski over-detailed) disiarkan oleh berbagai sumber on-line internet (seharusnya demi stabilitas nasional internet itu dilarang).

Mungkin ada pembaca patriot anti-komunis yang mendakwa artikel ini penuh simpati kepada para perusuh dan pembakar dan pengonar 27 Juli itu. Saya mohon, jangan gegabah mengambil kesimpulan seperti kebiasaan oknum-oknum.

Di sini saya dengan resmi menyatakan, bahwa saya amat setuju dan mendukung pernyataan sahabat saya Mohamad Sobary di harian Republika tersebut, tokoh asli Yogyakarta (persisnya Bantul), yang sudah terkenal sebagai penulis pojok (tetapi tak pernah memojokkan siapa pun) dan pakar masalah-masalah sosio-politik di LIPI, yang menyesalkan sekali timbulnya kekerasan yang menurut beliau tidak perlu terjadi. Ya, saya juga merasakannya begitu.

Tetapi apa dikata, adanya ular karena ia keluar dari telur ular. Begitu juga rupa-rupanya kekerasan itu keluar dari telur (biasanya banyak) kekerasan lain. Kekerasan yang awalnya dimulai dimana oleh siapa, nah ini maafkan, off the record.

Tetapi mengapa kekerasan kok lebih banyak daripada yang lembut manis (lembut manis seperti Megawati Sukarnoputri, kata anak muda) ? Ya, jawab Mas Sobary kepada wartawana Republika: “Karena kita sedang dalam situasi dimana corak kekerasan lebih nyata, lebih besar, lebih melembaga, lebih tampil dalam sosok struktur sosial, ekonomi dan politik. Sedangkan kehalusan, kelembutan, perdamaian, dan sikap anti kekerasan itu bersemayam dalam dunia ide (atau figur Megawati Sukarnoputri, komentar anak-anak muda itu lagi).

“Selain itu,” demikian pakar kita: “karena gerakan kekerasan itu dibunuh pun akan tumbuh.” Waduh, lalu bagaimana ? Santri kita dari Bantul itu menerangkannya, dan saya tekankan: saya amat setuju: “Lihatlah situasinya dengan bening, dan kemudian dukunglah upaya penyelesaian konflik secara damai. Rumah kita lebih baik dibangun tanpa kekerasan.” Jadi melihat dengan bening. Yang dimaksud: jujur obyektif, nanti kan kentara sendiri.

Sesuai dengan kearifan Jawa tetapi sebetulnya universal: becik ketitik olo ketoro (yang baik itu secara alami akan kelihatan dan dicatat, sedangkan yang buruk toh akan kentara juga, meskipun ditutup-tutupi).

Maka jikalau sebagian terbesar bangsa Indonesia masih bening hati nuraninya (saya percaya itu), kita tidak perlu kawatir sekali (tekanan pada sekali bahwa sebentar lagi, entah sebelum entah sesudah pemilu mahaluber nanti, yang becik akan ketitik dan yang olo akan ketoro.

Merenung kata-kata mutiara Mas Sobary tadi, saya lalu teringat pada lagu senggakan (reaksi spontan) sindhen (biduanita tradisional) Yogyakarta atau Bantul yang sering melagu jenaka erotis nakal tetapi dalam kasus kita penuh makna: “Jeneh kowe, sing marah-marahi.” (kata jeneh sangat sulit diterjemahkan, tetapi mungkin kalimat nakal itu dapat di-Indonesiakan bebas: “Salahmu sendiri, kamulah yang memulai, bukan ?”

Tetapi sekali lagi, dalam negara hukum harus berlaku praduga tak bersalah sebelum para hakim agung dari lembaga yang paling jujur di negeri ini, Mahkamah Agung, berfatwa. Agustus 1996

Artikel Terkait

Stay Connected

342FansSuka
1,543PengikutMengikuti
1,120PelangganBerlangganan

Terbaru