Sabtu, 5 Juli 2025

Menakar “Campur Tangan” Amerika Di Pilpres 2019

Presiden RI Joko Widodo, menjadi calon terkuat yang akanterpilih lagi dalam pemilihan presiden 2019 (Ist)

Keterlibatan dan pengaruh Amerika Serikat dalam pergantian rezim di Indonesia sudah menjadi rahasia umum. Hal itu dilakukan dari cara demokratis lewat Pemilu, Pilpres atau pun dengan paksaan seperti Kudeta Militer terhadap Presiden Soekarno pada tahun 1965. Bagaimana pada Pemilu dan Pilpres 2019 nanti? Antara Jokowi, Prabowo, Gatot,–siapa yang akan didukung Amerika Serikat? Derek Manangka, Wartawan Senior mantan Harian Sore Sinar Harapan, sempat menulis dalam CATATAN TENGAH, Senin 9 April 2018 yang diunggah dalam akun facebooknya dan dimuat Bergelora.com. (Redaksi)

Oleh: Derek Manangka

CAMPUR tangan Amerika Serikat dalam setiap pemilihan Presiden RI, sulit dikatakan tidak ada sama sekali.

Sebab sudah menjadi modusnya sebagai negara yang ingin menjadi “polisi dunia”, yang ingin selalu campur tangan dalam Pemilu sebuah negara. Sebab Pemilu merupakan mekanisme pergantian kepemimpinan nasional dari setiap negara demokrasi.

Keterlibatan AS dalam pergantian kepemimpinan nasional di Indonesia terrekam dan terdeteksi – sebagai sudah dimulai sejak 1966.

Pergantian dari Soekarno ke Soeharto.

Sekalipun mekanisme pergantian itu dilakukan oleh rakyat Indonesia, tetapi sejumlah literature memberi indikasi, sutradara dan pembuat skenario dari pergantian kepemimpinan nasional itu, berada di Washington, ibukota AS.

Tapi menuding AS mencampuri Pilpres kita, bisa dianggap mengada-ada, menciptakan ceritera dongeng ataupun mendiskreditkan negara sahabat tersebut.

Sebaliknya mengabaikan adanya campur tangan AS dalam Pilpres Indonesia, juga akan terlalu naif.

Bahkan Pilpres 2019 Indonesia, boleh dibilang merupakan arena paling penting bagi AS di kawasan sekitar.

Karena sistem pemilihannya pun boleh dibilang merupakan “copy paste” sistem Amerika.

Diadopsinya berbagai sistem, termasuk isme-isme yang berbeda-beda tentang demokrasi, tak lepas dari pengaruh para LSM (Lembaga Swadaya) Amerika yang berhasil masuk ke sistem kita dengan cara beroperasi bagaikan filantropis.

Merekalah yang memberi usulan bagaimana sistem Pemilu dirubah, UUD 45 diamandemen.. dst.

Selain itu secara geopolitik letak Indonesia, sangat strategis.

Letak yang demikian, membuat Amerika sebagai negara raksasa, berkepentingan menanamkan pengaruhnya di Indonesia.

Demikian strategisnya posisi Indonesia. Sampai-sampai sekalipun Indonesia tidak menerima kehadiran pangkalan militer asing, saat ini justru Indoneia “dikepung” oleh 15 buah pangkalan militer Amerika.

Kepungan itu seolah merupakan sebuah ancaman secara remote. Bisa dihidupkan, tapi bisa juga dibiarkan “off”.

Yang pasti kepungan itu tetap menimbulkan pertanyaan: untuk apa ke-15 pangkalan militer AS itu “mengepung” negara kita ?

Sehingga dengan gambaran singkat ini, muncul perkiraan kuat Amerika Serikat tetap berkepentingan agar Indonesia berada dalam kontrolnya.

Sehingga sosok yang menjadi Presiden RI di tahun 2019, kalaupun tidak bisa didikte atau dikontrol, minimal tidak menimbulkan kesulitan bagi Amerika.

Persoalan sekarang, analisa tentang campur tangan tersebut secara logika beralasan atau tidak ?

Sejatinya, adanya campur tangan Amerika dalam Pilpres kita hanya didasarkan pada sejumlah indikator dan barometer.

Namun bisa dipertanggung jawabkan secara profesional dan argumentatif.

Campur tangan itu bisa diibaratkan dengan sebuah kentut.

Bau busuknya tercium menyengat dalam radius tertentu. Tetapi barangnya tidak bisa dilihat, tak dapat terlihat apalagi tak mungkin dipegang.

Contohnya, Pilpres 2004 yang dimenangkan oleh pasangan SBY-JK.

Kalau ceritera Taufiq Kiemas (almarhum) yang dijadikan barometer, keterlibatan Amerika Serikat, untuk tatanan tertentu, sangat jelas, terbuka dan terang-terangan.

Tetapi keterlibatan itu melalui sistem. Sehingga tak mungkin bisa dilihat secara kasat mata.

Kemenangan SBY-JK atas pasangan Megawati Soekarnoputri – Hasyim Muzadi, tidak lepas dari peran besar dan pengaruh kuat Amerika Serikat.

Kekalahan Megawati Soekarnoutri sebagai petahana, dikarenakan keberpihakan Washington kepada SBY dilakukan secara terprogram dan “all out”.

Persiapannya minimal tiga tahun.

Hal ini diketahui oleh Taufiq, bukan karena dia melakukan investigasi. Melainkan pihak AS lah yang memberi tahunya secara langsung. Tanpa dinvestigasi, informasi itu datang sendiri kepadanya.

Sikap pihak AS itu disampaikan oleh seorang diplomat senior Amerika kepada Taufiq Kiemas, saat keduanya bertemu di salah satu hotel di Los Angeles, tahun 2001.

Atau tiga tahun sebelum Pilpres 2004.

Oktober tahun itu, Taufiq mendampingi Presiden Megawati yang berkunjung ke New York, pantai Timur AS.

Mega yang baru menggantikan Gus Dur, melakukan perjalanan ke AS dalam rangka menghadiri Sidang Umum PBB. Sekaligus mengadakan pertemuan atau audiensi dengan Presiden AS, George Bush (junior).

Di tengah kunjungan itu, Taufik dihubungi oleh seorang kurir dari Gedung Putih.

Taufiq diundang ke Los Angeles, pantai Barat negara itu untuk sebuah pertemuan empat mata.

Jarak New York – Los Angeles, cukup jauh. Dengan pesawat terbang memakan waktu sekitar lima jam. Sementara perbedaan waktunya terdiri atas 3 “zone“. Seperti zone WIB (Waktu Indonesia Barat), WITA (Waktu Indonesia Tengah) dan WIT (Waktu Indonesia Timur).

Jarak dan perbedaan waktu, bukan tanpa maksud. Di sini sebetulnya terletak pentingnya makna undangan tersebut.

Bahwa sebuah pesan penting hanya bisa diterima setelah melalui penerbangan lima jam dengan zone waktu berbeda 3 jam.

Jadi ada unsur dramatisasi sekaligus gertakan dan terobosan.

“Maaf Pak Taufiq, untuk Pilpres 2004, Amerika tidak akan mendukung Bu Megawati menjadi Presiden”, kata Taufiq, mengutip pernyataan singkat sang diplomat yang mengundangnya.

Diplomat yang dimaksud adalah Ralph Boyce.

Diplomat senior ini dalam beberapa pekan setelah pertemuan itu akan ke Jakarta menempati pos Duta Besar AS untuk Indonesia.

Jadi cara AS menyampaikan keberpihakan kepada capres dukungan Washington, cukup melalui moda yang tak terlihat mata khalayak dan awam.

Taufiq paham dan maklum dengan cara negara asing itu melakukan campur tangan dalam politik dalam negeri Indonesia.

Sebab Taufiq pun sudah belajar dari pengalaman.

Sebagai politisi sekaligus suami Megawati,Taufiq melihat sendiri manuver-manuver politik kekuatan asing di Indonesia.

Sebelum isteriya terpilih sebagai Presiden di tahun 2001, menggantikan Presiden Gus Dur, pilihan MPR-RI tahun 1999, sejumlah pendekatan (lobi) dari kalangan asing dialami oleh Taufiq.

Semuanya dilakukan dengan cara yang tidak mencolok atau menarik perhatian publik.

Tidak pernah ada pernyataan eksplisit bahwa pihak Amerika dan sekutu-sekutuanya sedang menggalang kekuatan agar Megawati bisa menjadi pimpinan nasional.

Sebab lobi-lobi itu terjadi di saat Jenderal Soeharto masih di kekuasaan.

Namun beginilah ceritanya. Sebelum Presiden Soeharto lengser pada Mei 1998, sejumlah diplomat asing begitu sering menyambangi Taufiq dan Megawati di kediaman pribadi mereka.

Kediaman pribadi mereka terletak di daerah Kebagusan, Jakarta Selatan.

Kawasan ini di era 1990-an, tergolong masih seperti hutan. Tak banyak penghuni yang tinggal di sekitar itu.

Tapi tiba-tiba saja mejadi ramai dikunjungi oleh diplomat negara-negara sahabat.

Padahal lokasi rumah pasangan politisi Soekarnois ini, berada di perkampungan dengan jalan berliku yang tidak mudah ditembus oleh sedan-sedan diplomat.

Alasan mereka berkunjung, pada awalnya sekedar berkenalan. Beranjak lanjutan, putri Proklamator ini mulai mereka tempatkan sebagai pemimpin oposisi utama terhadap Soeharto.

Agak janggal kalau pihak Barat menyukai anak Soekarno.

Sebab ideologi Soekarno – terutama nasionalisme, sesungguhnya menjadi momok atau agak bertentangan dengan ideologi negara-negara Barat.

Taufiq kemudian menangkap signyal, bahwa para diplomat Barat yang semuanya merupakan sekutu Amerika dalam percaturan politik global, tengah mencari pengganti Soeharto.

Pengganti tersebut harus bisa dikesankan sebagai sosok yang sangat berseberangan pemimpin Orde Baru.

Dan kalau Mega menggantikan Soeharto, maka hal itu selain kontradiktif, sekaligus menimbulkan kesan adanya reformasi politik di Indonesia.

Bahwasanya Soeharto tidak langsung digantikan oleh Megawati, melainkan oleh BJ Habibie, hal itu merupakan hal tersendiri.

Tapi target terakhir, pengganti Soeharto haruslah seorang yang di luar “teman” Soeharto atau rezim Orde Baru.

Itu sebabnya, Habibie yang menggantikan Soeharto hanya bertahan selama 17 bulan (Mei 1998 – Oktober 1999).

Terwujudnya putri Soekarno menjadi Presiden penting. Untuk memberi aksentuasi bahwa pada akhirnya pemimpin Orde Lama yang disingkirkan Soeharto secara “hostile”, kembali bisa naik panggung.

Jadi kedatangan para diplomat Barat tersebut untuk meyakinkan Megawati Soekarnoputri bahwa Barat saat itu sudah melakukan perubahan, reformasi dalam soal dukung mendukung siapa yang harus jadi Presiden RI.

Maka ketika Pemilu Legislatif Reformasi digelar 7 Juni 1999, PDIP, pimpinan Megawati, berhasil meraih suara terbanyak, tidakk terlau mengherankan.

Keberhasilan itu sama dengan memutar jarum kemenangan Golkar yang terus menang di setiap Pemilu.

Kemenenagnan itu bukan semata-mata dukungan rakyat Indonesia. Tapi karena ada faktor “X”, hal yang tidak kelihatan oleh mata telanjang.

Kemenangan PDIP sangat berarti. Sebab menunjukkan pemilih Indonesia memperlihatkan keinginan politik mereka dari Pemilu yang diikuti oleh 48 partai.

Salah satu yang menarik dari Pemilu pertama pasca pemerintahan Orde Baru ini, penyelenggaraannya berlangsung tertib, aman dan damai.

Bayang-bayang kerusuhan Mei 1998, tak muncul sama sekali.

Di sini peran Amerika, tidak bisa dianggap sepi. Kapal Induk Armada VII, Amerika kabarnya melakukan siaga satu di perairan Indonesia.

Peran lain dilakukan oleh mantan Presiden AS, Jimmy Carter.

Bekas petani kacang ini, secara khusus membuka kantor “Carter Center” di Jakarta. Alasannya untuk memantau dan mengawasi pelaksanaan Pemilu Indonesia tersebut.

Orang-orang kritis seperti dibungkam sehingga tak mampu bertanya. Mengapa bukan PBB yang memerankan peran “Carter Center” ?

Kendati demikian tidak ada yang bisa menuduh bahwa AS lewat “Carter Center” ikut campur campur sekaligus membantu kemenangan Megawati dan PDIP.

Sebaliknya juga tidak ada yang bersikap kritis.

Mengapa Megawati yang partainya PDIP yang meraih suara terbanyak di Pileg Juni 1999, tetapi dalam Pemilihan Presiden Oktober 1999, justru kalah telak ?

Semua menuding Amien Rais dengan “Poros Tengah”-nya sebagai penjegal Megawati di Sidang Istimewa MPR-RI Oktober 1999.

Mengapa yang terpilih justru Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dari PKB (Partai Kesatuan Bangsa) dan bukan Megawati Soekarnoputri.

Selanjutnya tak ada yang mengantisipasi bahwa Gus Dur hanya akan bertahan 1,5 tahun.

Dia akan digantikan oleh Megawati.

Sehingga tak ada yang curiga, bahwa peran AS menjatuhkan Gus Dur, untuk menaikkan Megawati, cukup besar.

Pemberian fasilitas pengobatan (mata) kepada Gus Dur oleh rumah sakit terkenal di Amerika, setelah Gus Dur dilengserkan, tidak dilihat sebagai bagian dari skenario besar..

Tidak ada yang sadar, berakhirnya legitimasi Gus Dur sebagai Presiden, akhirnya terjadi saat dia tiba di London, ibukota Inggeris dari Amerika.

Untuk mengaburkan suasana, Dubes RI untuk Kerajaan Inggeris saat itu, Nana Sutrisna, diwanti-wanti agar “Presiden” Gus Dur, harus di-“wongke” sebaik mungkin, setibanya di Inggeris.

Semua langkah ini dilakukan dalam rangka merubah penglihatan tentang peralihan kekuasaan di Indonesia.

Megawati sengaja dinaikkan menjadi Presiden melalui proses yang sesuai konstitusi.

Prosesnya dilakukan secara bertahap untuk memberi kesan bahwa rakyat Indonesia sudah melaksanakan kedaulatan dan demokrasi mereka.

Bertahap, agar terwujud demokrasi yang berkualitas itu, dilihat melalui proses alamiah.

Mega menang di Pemilu Legislatif 1999, tapi gagal dalam Pilpres di Sidang Istimewa MPR-RI, Oktober 1999.

Mega baru bisa menjadi Presiden pada Juni 2001, setelah Gus Dur dilengserkan.

Singkat kata semenjak kejatuhan Soeharto, berbagai kejutan politik terjadi atau diciptakan. Sehingga semua berpikir, apa yang terjadi dalam berbagai peristiwa di Indonesia, bukan karena skenario pihak luar.

Selanjutnya Mega sebagai anak Soekarno, boleh menjadi Presiden tapi masa jabatannya hanya sampai Oktober 2004. Setelah itu, dia harus digantikkan oleh SBY – seorang jenderal lulusan Fort Benning, yang sekaligus merupakan “wonder boy” nya Amerika.

Kekalahan Mega dari SBY dianggap wajar. Tapi Mega pun memperoleh kredit poin atas Pilpres 2004 yang aman dan lancar.

Dan sebagai “wonder boy”, SBY boleh memimpin Indonesia selama 10 tahun (2004 -2014).

Taufiq Kiemas meninggal dunia 8 Juni 2013 di Singapura, akibat penyakit jantung.

Sehingga tak ada versi eksklusif lagi dari dia mengapa Joko Widodo yang tak begitu dikenal, tiba-tiba bisa terpilih sebagai Presiden RI untuk periode 2014 – 2019.

Adakah campur tangan Amerika dalam keterpilihanya ?

Berhubung tak mungkin lagi mencari jawabnya dari almarhum, kita hanya bisa bertanya siapa yang bakal didukung oleh AS dari tiga kandidat Capres 2019 : Jokowi, Prabowo, Gatot…..?

Artikel Terkait

Stay Connected

342FansSuka
1,543PengikutMengikuti
1,120PelangganBerlangganan

Terbaru