Silahturahmi adalah proses manusiawi sehari-hari, tanpa harus direkayasa. Hal ini masih kuat berlangsung dimasyarakat. Silahturahmi antar agama, antar suku dan antar etnis tanpa banyak menjadi perhatian, namun lebih kuat dan tak berhasil dihancurkan oleh situasi apapun. Saat ini Indonesia membutuhkan inisiatif silahturahmi yang alami seperti yang dituliskan Wartawan Senior Sinar Harapan, Kristin Samah untuk Bergelora.com. (Redaksi)
Oleh: Kristin Samah
NAMANYA ESTER. Orang Kristen mengenal nama Ester sebagai seorang ratu yang beriman dan berani. Namun Ester dalam kisah ini adalah perempuan yang beberapa kali datang di “Gerakan Berbagi dan Peduli Kebaya Kopi dan Buku”. Ia datang lebih karena ingin memotivasi anak asuhannya untuk terus beraktivitas.
Itu juga yang dilakukannya pertengahan Maret 2018. Ia memboyong tiga orang plus puluhan tas-tas anyaman decoupage. Tas-tas itu buatan para penderita kanker payudara. Beberapa tahun terakhir ia memang menjadi relawan untuk penderita kanker.
Beda dari acara-acara “Kebaya Kopi dan Buku” yang biasanya di-design sedikit orang supaya terbentuk keakraban di antara audience, hari itu pengunjung membludak. Maklum yang dibahas buku Panglima TNI, Marsekal Hadi Tjahjanto.
Tak semua memperoleh tempat duduk. Ada yang berdiri menghadap panggung, ada yang duduk-duduk di lantai.
Seorang pria menghampiri Ester. Tampaknya ia heran bagaimana cara menghias tas anyaman dengan berbagai motif.
“Gampang,” ujar Ester ringan. Dan segampang itu pula ia menawari pria yang baru dikenalnya untuk belajar ke rumahnya di kawasan Cijantung bila memang benar-benar berminat untuk belajar.
Ia menceritakan, menghias tas itu bagian dari proses menyalurkan rasa sakit para penderita kanker. Mudah dilakukan tetapi efeknya menyenangkan karena mencapai keberhasilan dengan cepat.
Mungkin tawaran Ester merupakan bagian dari basa-basi pergaulan. Laki-laki mana sih yang mau datang ke rumah orang yang baru dikenal hanya untuk belajar menghias tas?
Beberapa hari berselang, laki-laki itu datang ditemani delapan orang lainnya. Ia ternyata seorang ustad di kawasan Ciputat. Dan benar saja, pria bernama Rizal itu sengaja datang untuk belajar decoupage.
Layaknya kerabat yang sudah lama tak bersua, mereka berbincang tentang apa saja. Tentang istrinya yang pandai membuat semur jengkol, tentang kawasan tempat tinggal di Ciputat yang masih banyak dijumpai penduduk prasejahtera, juga tentang keinginannya menularkan ketrampilan membuat tas decoupage supaya tetangga-tetangganya bisa memperoleh penghasilan tambahan.
“Kalau memang istri pandai masak, bawa dong semur jengkolnya, jangan cuma cerita,” ujar Ester berkelakar. Kelakar itu ditanggapi serius oleh Ustad Rizal.
Beberapa hari setelah kunjungan pertama, ia datang lagi. Sayang Ester tak ada di rumah. Jadilah semur jengkol itu dititip ke tetangganya.
Terharu dengan “persahabatan” tak terduga itu, Ester terus memikirkan cerita Pak Ustad tentang banyaknya tetangga yang tidak mampu. Waktu itu yang terpikir di benak Ester adalah persiapan memasuki bulan puasa bagi umat Muslim.
“Mau gak kalau saya kumpulkan sembako untuk dibagi-bagi ke tetangga?” Ester memilih kata-kata yang tepat supaya tawarannya tidak menimbulkan ketersinggungan. Pak Ustad tak keberatan. Dan hati Ester pun melonjak-lonjak. Ia hubungi teman-temannya yang dikenal murah hati untuk sama-sama membuat paket sembako.
Prosesnya tak memakan waktu lama. Minggu berikutnya, kunjungan balasan dilakukan Ester dan kawan-kawannya ke rumah Pak Ustad untuk membagi-bagi sembako.
Entah apa yang menggerakkan Ester dan Rizal untuk menjalin silaturahmi seperti itu. Ia tak hadir di acara “Kebaya Kopi dan Buku” pada 25 Mei 2018. Ester mengirim gambar Pak Ustad, istri, dan anak-anaknya, berkunjung ke Lembah Kawaluyaan di Bogor.
Ah… semudah itukah menjalin silaturahmi? Tak perlukah mengikat persaudaraan dengan menanyakan latar belakang sosial, ekonomi, pendidikan, apalagi agama?
Ester dan Rizal membuktikan bahwa persaudaraan hanya mensyaratkan hati yang terbuka.
Indonesia memanggil aku dan kamu supaya bisa seperti Ester dan Rizal. Yuk…