Kamis, 3 Juli 2025

Benarkah China-Amerika Menuju Perang Dingin Baru?

Bendera Republik Rakyat China. (Ist)

Hantu perang dingin kedua kembali  dihembuskan Amerika Serikat untuk menakut-nakuti para pengikut dan rakyatnya sendiri. Sebuah tulisan penting oleh He Yafei, mantan wakil menteri luar negeri China di harian China Daily,  9 Juli 2018 yang diambil dari www.chinausfocus.com,– menyoroti dan mengungkap dibalik isu perang dingin kedua itu dan diterjemahkan kemudian dimuat dalam Bergelora.com. (Redaksi)

Oleh: He Yafei

DALAM 40 tahun terakhir, dunia telah melihat berakhirnya Perang Dingin dan kebangkitannya Amerika Serikat (AS) sebagai satu-satunya adikuasa, yang mendorongnya untuk menganggap persaingan global antara sistem politik telah berakhir. Amerika tidak menyadari bahwa perubahan ini diikuti oleh multi-polarisasi dan globalisasi.

Lebih penting lagi, pemerintahan global telah berkembang dari dominasi Barat menuju ke peningkatan kerjasama Timur-Barat, terutama antara China dan Barat. Seperti yang dikatakan Presiden Xi Jinping, sebagai negara sosialis yang sedang bertumbuh, Tiongkok akan “secara tegas melindungi kedaulatan nasional, keamanan, kepentingan pembangunan, berpartisipasi aktif dan memimpin reformasi tata kelola global, (dan) membangun jaringan kemitraan global yang lebih lengkap”, membuat kontribusi besar untuk “New Era”.

Kejelasan Strategi Trump

Namun, China juga menghadapi kesulitan dan resistensi yang tidak biasa. Meskipun kerjasama telah menjadi arus utama dalam hubungan China-AS, tapi  selalu diganggu pergesekan. Kedua belah pihak telah menjalin hubungan diplomatik hampir empat dekade lalu, strategi AS terhadap China secara bertahap berubah dari “ambiguitas strategis” (tidak memandang China sebagai teman atau musuh) menjadi “kejelasan strategis”. Presiden AS Donald Trump sendiri telah mengidentifikasi China sebagai saingan strategis utama, yang memperjelas jelas niatnya untuk menahan kebangkitan China.

Pergeseran hubungan China-AS bertepatan dengan fase baru “perkembangan besar, perubahan besar, dan penyesuaian besar” dalam konteks global, dengan lingkungan internasional semakin rumit dan tumbuhnya ketidakpastian.

Pertama, perselisihan atas globalisasi telah meningkatkan populisme dan proteksionisme di AS dan banyak masyarakat Barat lainnya,– dan lebih banyak lagi gesekan perdagangan yang akan mengikuti. Perkembangan ini serius mempengaruhi konektivitas ekonomi global dan pembangunan sistimatis, membatasi jalan keluar setiap  masalah global, dan membuat tata kelola global lebih sulit. Kesenjangan kesejahteraan melebar antara negara, dan ketidakseimbangan berkelanjutan antara efisiensi pasar dan keadilan sosial telah menjadi pendorong utama “anti-globalisasi”.

Kedua, perbedaan atas aturan internasional telah meningkat. Tatanan dunia yang relatif seimbang terpecah. “kekacauan” dan “fragmentasi” semakin melemahkan tata kelola global. Dengan kebijakan “Amerika Pertama”, Trump tidak mau terus menyediakan barang yang dibutuhkan masyarakat dunia. Ia mencoba untuk membuat kembali aturan internasional untuk melanjutkan hegemoni AS. Dengan demikian, AS telah menjadi kekuatan “revisionis”, dan variabel terbesar dalam hubungan internasional.

Ketiga, geopolitik telah menjadi semakin rumit. Hubungan-hubungan negara-besar menjadi tegang dan kerja sama pun surut. Konfrontasi AS-Rusia semakin intensif. Timur Tengah berada dalam kekacauan dan pasokan energi dunia berfluktuasi. Dan meskipun Trump bertemu dengan Kim Jong-un, pemimpin tertinggi Republik Rakyat Demokratik Korea, masa depan tetap penuh ketidakpastian. Sementara itu, persaingan untuk mendapatkan keuntungan di dunia maya dan daerah kutub meningkat. Selain itu, upaya lanjutan AS untuk memicu perang dagang dengan China meningkatkan kekhawatiran bahwa keduanya pada akhirnya jatuh ke dalam perangkap “Thucydides”.

Empat, dunia menghadapi pilihan sulit antara konflik dan integrasi peradaban. Tetapi Barat yang dipimpin AS percaya pada konflik peradaban dan masyarakat Barat pada umumnya menganggap ideologi dan sistem mereka menjadi yang terbaik di dunia. Bahkan, upaya Barat yang tak kenal lelah untuk mempromosikan demokrasi Barat yang liberal dan menghubungkan semua kontradiksi dengan “konflik peradaban” adalah akar penyebab berbagai masalah geopolitik.

Salah Pandang Amerika

Sengketa perdagangan China-AS tampaknya menjadi awal kompetisi negara besar. GDP China sekarang menyumbang 15 persen dari total dunia, dengan pencapaian empat dekade reformasi dan pembukaan mencerminkan kekuatan dan dinamika ekonomi China. Tetapi banyak orang di AS telah salah mengartikan stabilitas politik Cina dan pertumbuhan militernya sebagai ancaman karena pola pikir Perang Dingin mereka. Dengan demikian menggunakan langkah-langkah untuk menahan kenaikan China.

Mantan penasehat Trump, Steve Bannon mengatakan laporan Kongres Nasional Partai Komunis China ke-19 sebenarnya adalah rencana untuk dominasi global dalam beberapa tahun mendatang. Ia memperingatkan bahwa program Made in China 2025 akan memungkinkan China mengontrol manufaktur global. Dia juga mengatakan Belt dan Road Initiative memfasilitasi ekspansi geopolitik Cina. Katanya aspirasi 5G Cina akan membantu untuk mendominasi teknologi. Ia mencurigai penggunaan yuan yang lebih luas akan menghilangkan dolar AS dari statusnya sebagai mata uang cadangan. Pernyataan seperti itu mengekspos pemikiran permainan zero-sum Amerika dan kesalahpahaman terhadap tujuan China.

AS telah memicu perselisihan perdagangan dengan China seolah-olah untuk menyerang keseimbangan dalam perdagangan bilateral. Tetapi alasan sebenarnya adalah menggunakan perang dagang untuk membendung perkembangan ekonomi dan teknologi China dengan cara yang sama seperti yang ada di Jepang pada abad lalu. Tetapi AS harus tahu, perang dagang tidak akan menyelesaikan kontradiksi struktural, sistemik atau masalah pembagian kerja dalam rantai nilai global.

Perang dagang adalah langkah pertama dari kebijakan membendung geopolitik. Tetapi pada akhirnya akan mengarah pada konfrontasi sengit antara kekuatan hegemonik yang ada dan kekuatan yang meningkat atas tatanan dunia dan aturan internasional. Jadi tidak realistis untuk menganggap semuanya akan baik-baik saja setelah masalah defisit perdagangan terselesaikan.

Orientasi Strategis Hubungan AS-China

Terlepas dari konsultasi yang berulang-ulang dan pengekangan terhadap China, AS tampaknya senang menginvasi perang perdagangan terus menerus dan memperluasnya menjadi investasi bilateral. Diikuti penguasan kekayaan intelektual, industri strategis, Belt and Road Initiative, isu Laut China Selatan, mempertanyaan Taiwan, dan internasionalisasi yuan. Mengapa Amerika Serikat bersikap demikian?

Analisa terhadap orientasi hubungan AS-China dari perspektif strategis dan historis akan membuat semuanya menjadi lebih jelas. Seperti yang Laotzu katakan, masa depan telah datang sebelum masa lalu hilang. Jadi hubungan China-AS yang berubah akan disertai dengan berbagai ketidakpastian dan risiko.

Akankah pergesekan China-AS mengarah pada “Perang Dingin” baru yang akan menampilkan berbagai pertentangan? Perhatian semacam itu sepenuhnya memiliki alasan. Sementara terus berjuang untuk hasil terbaik, Tiongkok harus bersiap untuk menghadapi skenario terburuk saat terlibat dalam komunikasi aktif dan diplomasi mendalam. “Tidak diketahui” dan “tidak pasti” telah benar-benar memberikan peluang untuk menjelajahi pangkalan umum kedua negara, yang dapat membantu keduanya menyesuaikan kebijakan mereka masing-masing, sehingga menciptakan “win-win”, bukan “kalah-kalah”, situasi.

Tetapi jika AS bersikeras untuk menghambat China, kemungkinan kedua belah pihak jatuh ke dalam “perangkap Thucydides” akan meningkat. AS tahu ini dengan sangat baik. Jadi mengapa AS harus mendorong hubungan bilateral menuju konfrontasi? Hal ini dilakukan terutama karena merasa orientasi strategis Cina tidak sesuai dengan harapannya.

Amerika Yang Beresiko

AS telah mendukung Tiongkok dalam reformasi dan berupaya membuka dan teah mengajak China bergabung dengan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) dengan harapan menjadikan China secara bertahap merangkul nilai-nilai Barat. Para pemimpin AS mengharapkan reformasi dan keterbukaan untuk memfasilitasi keterbukaan politik, yang mengarahkan China menerima “demokrasi” merek AS.

Namun China dengan cerdas telah mengaburkan jejak yang berbeda. Hal ini telah membuat AS menyadari bahwa mereka telah over-estimasi untuk memimpin orientasi strategis China. Hasilnya,– “model China ” telah berhasil ditawarkan kepada negara-negara berkembang lainnya sebagai pilihan yang berbeda dari “model Amerika” untuk pembangunan ekonomi. Ini telah membuat AS buta terhadap kontribusi luar biasa China bagi dunia dan ekonomi AS. Sebaliknya, AS melihat perkembangan China sebagai upaya untuk merebut dominasi global dari AS.

Sebuah artikel di majalah National, berjudul “Amerika vs. Rusia dan China: Selamat Datang di Perang Dingin II” menganalisa kemungkinan “Perang Dingin Kedua” dari perspektif politik, diplomasi, militer dan ekonomi, yang mencerminkan pendapat banyak elit Amerika. Dalam beberapa tahun terakhir, istilah “Perang Dingin Baru” telah digunakan untuk menggambarkan hubungan AS-Rusia yang memburuk. Sekarang ini juga diterapkan pada hubungan China-AS. Hanya analisis yang serius yang bisa mengungkapkan apa artinya bagi kedua negara dan dunia.

AS menghadapi pilihan sulit di dalam dan luar negeri, karena banyak orang di AS percaya bahwa negara mereka akan membayar harga yang sangat tinggi untuk konfrontasi habis-habisan dengan China. Menurut perkiraan PricewaterhouseCoopers, dalam hal kemampuan daya beli, GDP China akan mencapai $ 58,5 triliun pada tahun 2050 sementara AS akan menjadi $ 34,1 triliun. Ini agak cukup menjadi dasar politik AS terhadap China.

Namun, komunikasi yang tepat dan mendalam dapat mencegah “Perang Dingin” China-AS. Bagaimanapun, kesalingtergantungan ekonomi telah membangun komunitas global yang memiliki kepentingan bersama, dan tidak ada pemenang dalam perdagangan atau perang lainnya.

Oleh karena itu, AS perlu meninggalkan pendekatan era Perang Dinginnya. Sebaliknya, AS perlu mencoba membangun model geopolitik dari koeksistensi damai, yang oleh filsuf John Gray diusulkan sebagai sarana untuk menangani hubungan negara-besar, terutama hubungan China-AS. Juga, AS tidak perlu khawatir tentang “konsensus Beijing” menggantikan “konsensus Washington”, karena begitu negara mulai membangun komunitas yang memiliki kepentingan bersama, globalisasi, multi-polaritas, dan pluralisme akan menjadi tren yang dominan.

Artikel Terkait

Stay Connected

342FansSuka
1,543PengikutMengikuti
1,120PelangganBerlangganan

Terbaru