Sabtu, 12 Juli 2025

AYOOO….! Budiman Sudjatmiko: Ubah Cara Pikir, Kesempatan Terbuka Lebar!

Budiman Sudjatmiko, Ketua Umum Ketua Umum Inovator 4.0 Indonesia. (Ist)

JAKARTA- Pertanyaan besar (saat ini) adalah ke mana arah gelombang transformasi ini akan membawa masyarakat? Abad ke-21 akan diatur oleh prinsip-prinsip yang secara fundamental berbeda dari abad ke-20. Dan itulah mengapa kita perlu mengubah cara berpikir kita tentang dunia. Sekali lagi: mengubah cara pandang kita tentang dunia! Hal ini disampaikan dapam Pidato Kebudayaan Oleh Budiman Sudjatmiko, Ketua Umum Inovator 4.0 Indonesia yang berjudul ‘Indonesia 4.0: Berguru Pada Alam Yang Terkembang’ dalam Kongres Kebudayaan Indonesia oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI, di Jakarta, Kamis (6/12).

“Nyaris seluruh cara pandang kita,– dalam rupa nilai-nilai atau ideologi selama ini dipikul oleh teori-teori ekonomi politik dan sosial ratusan atau ribuan tahun lalu sebelum komputer ditemukan, sebelum biologi molekuler dan ilmu otak maupun psikologi dikenal. Di depan mata kita sekarang akan ada banyak kesempatan yang terbuka lebar, pun demikian dengan persoalan dan tantangan yang menghadang,” katanya.

Agar dapat keluar sebagai pemenang menerutnya, penting untuk mengenali fundamen dari abad digital dan biologi tersebut, yaitu jejaring.

“Jejaring adalah wajah era digital. Ia sebenarnya merupakan wajah asli alam (termasuk tubuh biologis kita) dan masyarakat yang lama tersembunyi (baca: disembunyikan). Peluh-peluh sejarah yang sudah menumpuk jadi daki telah menghalang-halangi magisnya. Padahal jejaring lah yang menghadirkan kehidupan di berbagai level.

Dibawah ini pidato lengkap Budiman Sudjatmiko, anggota DPR-RI dari Partai Demokrasi Indonesia (PDI) Perjuangan, mantan Ketua Umum Partai Rakyat Demokratik (PRD) yang mendorong tumbangnya Orde Baru 1998, diterima redaksi Bergelora.com.

SEBUAH PIDATO KEBUDAYAAN

INDONESIA 4.0: BERGURU PADA ALAM YANG TERKEMBANG*

*Alam takambang jadi guru (pepatah Minangkabau)

Budiman Sudjatmiko

Ketua Umum Inovator 4.0 Indonesia

 

KONGRES KEBUDAYAAN INDONESIA 2018, KAMIS, 06 DESEMBER 2018

 

Assalamu’alaikum wr wb

Salam sejahtera

Hadirin, para peserta Kongres Kebudayaan Indonesia yang saya hormati.

Hari ini saya mau mengajak anda untuk bersama-sama melakukan sebuah perjalanan waktu. Perjalanan untuk menemui leluhur-leluhur maupun anak-anak cucu kita kelak. Bayangkan di tengah-tengah kita saat ini ada sebuah mesin waktu yang segera membawa kita ke setiap titik dalam lintasan sejarah umat manusia. Dengan mesin tersebut saya akan mengajak anda melakukan perjalanan waktu ke sejumlah tempat di Nusantara. Ke masa lalu dan ke masa depannya.

Kencangkan sabuk pengamanmu!

Tempat pertama yang akan kita kunjungi adalah sebuah gua purba bernama Leang-Leang di kawasan Bantimurung, Maros, Sulawesi Selatan. Di gua tersebut kita akan menemui seorang pemuda yang sedang sibuk menggambar hewan-hewan dan memberikan cap tangan pada dinding gua pada masa sekitar 35 ribu tahun lalu. Setelah bercengkerama beberapa waktu dan dengan agak susah payah meyakinkannya, kita akan mengajak pemuda itu melakukan perjalanan melintasi puluhan ribu tahun ke depan.

Kita akan mengunjungi sebuah kerajaan bernama Tarumanagara yang terletak di tepian sungai Citarum, di bagian barat Pulau Jawa. Di sana, saat mesin waktu kita tiba di tahun 417, kita akan menyaksikan Purnawarman beserta rakyatnya yang giat menggali sungai Gomati untuk kepentingan pengairan sawah, penanggulangan banjir di musim penghujan dan kekeringan pada musim kemarau. Kita akan singgah

beberapa jenak dan beristirahat bersama Purnawarman dan rakyatnya sambil meminum air nira dari pohon kelapa.

Setelah memuaskan dahaga kita, dengan mesin waktu yang sama kita mengajak sang raja Purnawarman dan pemuda gua LeangLeang tadi untuk bertamasya waktu ke Batavia. Tahunnya adalah 1744. Tepatnya kita akan mengunjungi kantor penerbitan Bataviasche Nouvelles untuk menyaksikan surat kabar modern pertama terbit di Hindia Belanda tidak lama setelah perang Jawa II berakhir. Bersama salah seorang juru cetak koran tersebut, kita lalu berpindah ke Weltevreden ke tahun 1897 untuk menghadiri pendirian Nederlandche Indische Electriciteit Maatschappij (NIEM),

perusahaan listrik pertama di Hindia Belanda.

Lalu perjalanan waktu kita lanjutkan ke tahun 1977, mengunjungi sebuah kampus di Jakarta yang baru saja membuka pendidikan spesialisasi manajemen komputer. Lembaga tersebut didirikan untuk mendidik tenaga kerja manajerial yang mempunyai kemampuan teknis dalam bidang komputer dan komputerisasi.

Perjalanan mesin waktu ini akhirnya membawa kita kembali ke tempat ini. Sekarang mereka hadir bersama-sama kita semua lewat catatan pidato kebudayaan saya ini, “Indonesia 4.0: Berguru pada Alam yang Terkembang”.

Setelah kita melakukan perjalanan waktu ribuan tahun ke belakang, sekarang saatnya kita akan bersama-sama melakukan perjalanan berbagai kemungkinan ke depan. Kali ini tak akan ke ribuan tahun. Cukuplah perjalanan waktu untuk 5 atau 10 tahun

ke depan, yaitu sebuah masa depan yang dekat (near future).

Namun sebelum melanjutkan perjalanan waktu ke depan, mari kita memeriksa pertanyaan yang lahir dari perjalanan mesin waktu ke belakang tadi. Bagaimanakah reaksi si Pemuda dari gua Leang-Leang, sang Purnawarman, si juru cetak koran, operator listrik dan mahasiswa manajemen komputer ketika pertama kali bertemu realitas baru di setiap perhentian wisata waktu tadi? Untuk menjawabnya, anda hanya perlu membayangkan diri anda 20-25 tahun lalu, saat saya masih menggelandang di jalanan bersama para demonstran anti Orde Baru lainnya, ketika kosa kata media sosial, data raksasa, komputasi awan, biologi sintetis, CRISPR (clustered regularly interspaced short palindromic repeats), Serba Internet (Internet of Things) , drone, blockchain dan mobil otonom adalah hal yang sama sekali sulit terimajinasikan dalam mimpi terliar saya sekalipun.

Para peserta kongres yang terhormat

Andai sejarah bergerak linier, maka kekagetan tiap-tiap teman seperjalanan kita tadi adalah fungsi dari jarak perjalanan waktu dan kemajuan teknologi yang ditemuinya di setiap perhentian. Maka respon si pemuda dari gua Leang-Leang akan jauh lebih dahsyat saat menyaksikan rakyat Tarumanegara sedang membangun bendungan untuk pengairan sawahnya dibandingkan respon kekagetan dari sang mahasiswa Manajemen Komputer saat melihat gawai cerdas yang ada di saku kita saat ini.

Umumnya kita beranggapan bahwa  Sungguh, sama sekali tidak linier!

Titik-titik waktu yang kita kunjungi dalam perjalanan tadi adalah representasi dari tonggak-tonggak sejarah tersebut. Setiap tempat yang kita kunjungi tadi menghadirkan karakteristik teknologi kunci yang memicu pembesaran gelombang sejarah dan kondisi sosial, ekonomi dan politik yang terbentuk olehnya.

Dari gua Leang-Leang di masa berburu dan mengumpulkan kita berpindah puluhan ribu tahun ke masa di mana revolusi teknologi pertanian telah berkembang pesat dan melahirkan banyak peradaban-peradaban besar seperti Babylonia, Indus, Yunani dan Romawi. Lintasan sejarah di era ini kemudian bergerak seolah-olah linier kembali selama ribuan tahun sampai kemudian penemuan mesin cetak dan mesin uap memicu momentum gelombang sejarah baru: revolusi Industri.

Hadirin, rekan-rekan seperjalanan

Dalam sejarahnya, umat manusia telah melewati 3 era revolusi industri. Revolusi industri pertama (1770-1900) ditandai oleh penggunaan mesin uap untuk keperluan mekanisasi produksi.

Revolusi ini berhasil mentransformasi masyarakat pertanian menjadi masyarakat industri. Segala yang dibuat dalam jumlah serba sedikit dan dipertukarkan dalam jarak yang relatif dekat, mulai diproduksi dalam jumlah lebih banyak dan dipertukarkan dalam jarak yang jauh. Revolusi teknologi kedua terjadi ketika industri mulai mengenal rantai produksi, pembagian kerja dan elektrifikasi industri untuk menghasilkan produksi yang bersifat lebih massal lagi (1900-1940). Sementara revolusi teknologi ketiga terjadi ketika teknologi elektronik dan komputerisasi (1940 – 1990) berkembang ke arah otomasi proses produksi tersebut.

Coba kita cermati dengan seksama pola ini. Jarak dari satu gelombang transformasi ke gelombang transformasi lain semakin kecil dari waktu ke waktu. Butuh waktu ratusan ribu tahun bagi umat manusia untuk memasuki era revolusi pertanian.

Kemudian butuh waktu sekitar 10.000 tahun untuk memasuki era revolusi industri. Lantas ia butuh waktu sekitar 200 tahun saja untuk berpindah dari satu gelombang revolusi industri ke gelombang revolusi industri selanjutnya. Dan kurang dari 20 tahun lalu, kosakata yang akan kita perbincangkan di ruangan ini tidak kita kenal sama sekali dan bahkan sulit kita bayangkan bisa ada di masa depan yang dekat. Beberapa di antaranya bahkan sudah ada dalam genggaman tanganmu, kini dan di sini.

Artinya, pembesaran gelombang sejarah ini akan semakin sering terjadi di masa-masa mendatang. Di Gerbang Revolusi Industri 4.0

Rekan-rekan seperjalanan yang budiman.

Saat ini kita sedang memasuki gerbang Revolusi Industri ke 4, sebuah revolusi sosio teknologis yang mengantarkan kita memasuki abad digital dan abad biologi. Sebuah era baru di mana semua tabir keterbatasan fisik, biologis, ruang dan waktu manusia menyingkir satu per satu atau beramai-ramai.

Pada saatnya segala hal akan menjadi serba cerdas dan tak berbatas. Revolusi teknologi digital dan biologi mengantarkan kita untuk hidup bersama robot cerdas, yang akan melayani atau mengambilalih 58% pekerjaan fisik, dan menyisakan hal-hal yang kreatif saja untuk diselesaikan otak dan otot manusia yang juga berkesempatan untuk menjadi lebih cerdas. Tak ada preseden sejarah sebelumnya.

Seorang rekan seperjalanan saya dari gerakan Inovator 4.0 Indonesia dari Universitas Oxford, telah mengingatkan saya tentang tiga hal yang akan saling bersaing mengisi ruang-ruang hidup publik dan pribadi kita dalam tahun-tahun mendatang.

Yang pertama adalah Ilmu Komputer yang memungkinkan mesin cerdas mengambil alih sebagian pekerjaan manusia melalui Kecerdasan Buatan dan Mesin Pembelajar. Kecepatan komputer terus meningkat mengikuti Hukum Moore dengan fungsi yang

makin mendekati otak manusia. Saat ini, otak manusia yang tersusun atas sekitar 100 miliar neuron (sel otak) dan kecepatan sinyal 120 meter per detik tidak lama lagi akan dilampaui oleh superkomputer yang memerlukan 100 kali lebih sedikit transistor, tetapi beroperasi 20 juta kali lebih cepat.

Selain itu yang tak kalah dramatisnya adalah kemajuan neuroscience (Ilmu Saraf) yang sedang berusaha. Dan teknologi ke tiga yang sudah muncul adalah kemajuan rekayasa genetik yang di masa depan memungkinkan lahirnya manusia serba super dan serba sehat tanpa meninggalkan tubuh fisiknya.

Dampak yang ditimbulkan oleh gelombang baru revolusi industri ini juga akan sangat mengguncang keyakinan-keyakinan lama, dengan kedalaman yang menjangkau setiap lapisan di masyarakat, dan keluasan yang memaksa setiap organisasi sosial, bisnis dan politik untuk bertranformasi menyesuaikan diri.

Personalized education dan MOOCS (Massively Open On-line Courses) akan menjadi alternatif yang menantang mode pendidikan konvensional di sekolah-sekolah. Mobil cerdas dan bersifat otonom menjadi alternatif baru berkendara.

Drone bukan cuma menjadi alternatif baru transportasi logistik namun juga alternatif baru dalam cara manusia memandang bentang alam di sekitarnya sehingga dengan demikian akan merangsang imajinasi-imajinasi baru. Ia akan mentransformasikan kesadaran dari cara pandang itik yang berjalan di atas tanah (yang sudah berlangsung jutaan tahun) menjadi perspektif seekor elang dalam melihat lekuk sungai dan bentang alam tanah kelahirannya sendiri secara personal.

Personalized medicine menjadi alternatif dalam sistem pengobatan saat tak ada obat flu untuk semua orang, namun sekarang hanya ada satu jenis obat flu untuk tiap-tiap dari kita, termasuk untuk Sang Raja Purnawarman dan pemuda pelukis purba gua Leang-Leang tadi. Sejauh dan selama peta genomenya sudah terekam dengan baik.

Belanja on line pun telah menjadi tren dalam kita berkonsumsi. Hadirnya teknologi 3D Printing juga telah melahirkan cara baru dalam memproduksi barang nyaris dari jenis apapaun mulai dari mencetak rumah yang bisa selesai dalam 24 jam hingga piring kecil tempat kita sarapan makanan yang kita cetak dari 3D Printer di rumah kita sendiri. Inovasi teknologi finansial marak bermunculan menantang dominasi bank dan produk-produk keuangan konvensional. Dan masih banyak lagi.

Tidak hanya itu. Efek disruptif dari terobosan sains dan inovasi teknologi tersebut akan mengalami multiplikasi berkali-kali lipat oleh karena konektivitas yang terbangun antarmanusia.

Tak kali pertama ini terjadi ketika orang-orang imajinatif bertemu matematika di masa lampau membuat kita tergopoh-gopoh untuk memecahkan prediksi-prediksinya. Namun, baru di abad ke-21 ini, mereka berskala masif dan agen-agen mereka tak hanya di kampung, kampus, atau di pabrik tertentu yang terlokalisasi. Agen-agen revolusinya ada di supercomputer, robotrobot cerdas, kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI), smartphone, laptop, bahkan sudah ada di jam-jam tangan!

Pelurunya bukan logam tajam bermesiu, melainkan data raksasa (big data), mulai dari tingkat konsumsi pulsa, jumlah klik, denyut nadi, tekanan darah, jenis makanan, olahraga favorit, musik favorit, sampai golongan darah.

Hadirin, rekan-rekan yang setia dalam perjalanan Pertanyaan besarnya adalah ke mana arah gelombang transformasi ini akan membawa masyarakat? Abad ke-21 akan diatur oleh prinsip-prinsip yang secara fundamental berbeda dari abad ke-20, dan itulah mengapa kita perlu mengubah cara berpikir kita tentang dunia. Sekali lagi: mengubah cara pandang kita tentang dunia!

Nyaris seluruh cara pandang kita (dalam rupa nilai-nilai atau ideologi) selama ini dipikul oleh teori-teori ekonomi politik dan sosial ratusan atau ribuan tahun lalu sebelum komputer ditemukan, sebelum biologi molekuler dan ilmu otak maupun psikologi dikenal. Di depan mata kita sekarang akan ada banyak kesempatan yang terbuka lebar, pun demikian dengan persoalan dan tantangan yang menghadang. Agar dapat keluar sebagai pemenang, penting bagi kita untuk mengenali fundamen dari abad digital dan biologi tersebut, yaitu jejaring.

Konektivitas – Wajah Era Digital

Jejaring adalah wajah era digital. Ia sebenarnya merupakan wajah asli alam (termasuk tubuh biologis kita) dan masyarakat yang lama tersembunyi (baca: disembunyikan). Peluh-peluh sejarah yang sudah menumpuk jadi daki telah menghalang-halangi magisnya. Padahal jejaring lah yang menghadirkan kehidupan di berbagai level. Di level-level itu setiap entitas kehidupan berkomunikasi, saling mempengaruhi dan berkreasi bersama, mulai dari level selular (sel tubuh), sosial, sampai ke kehidupan digital. Jaringan regulasi genetik menentukan protein apa yang terbentuk di dalam tubuh mahluk hidup, jaringan metabolisme membentuk dan mengatur aliran logistik energi tubuh, jaringan neuron dalam otak bergetar dan berkomunikasi membentuk

persepsi, bahasa dan ide, termasuk ideologi. Sementara jejaring manusia di dunia nyata maupun digital, berinteraksi menghasilkan norma, sistem perdagangan, struktur kekuasaan dan peradaban.

Algoritma teknologi informasi tidak hanya membuat wajah alam semesta tersebut nyata ke penampakan mata manusia. Tidak hanya itu, ia juga mendorong kecepatan pembentukannya, interaksi dan pertumbuhan ukuran jejaring, meningkat berkalikali lipat. Di era digital, konektivitas telah menjadi hal mendasar bagi semua orang. Sebagaimana air atau listrik, konektivitas melalui jaringan digital saat ini telah menjadi hal mendasar yang berkontribusi pada kepentingan kolektif kita.

Para peserta Kongres Kebudayaan yang terhormat.

Umat manusia pernah berada pada masa di mana faktor jarak dan waktu begitu memisahkan. Tiap-tiap orang hanya terhubung dengan segelintir orang dalam satu suku atau kampung, sementara interaksi perdagangan membutuhkan berhari-hari pelayaran laut.

Baru memasuki awal abad ke 18 lah jaringan fisik yang menghubungkan antarwilayah mulai terbangun melalui ekspansi moda transportasi kereta api. Pasar ekonomi perlahan terbangun melalui sirkulasi barang antarwilayah yang lebih lancar dan kemudian berdampak pada modernisasi sosial dan ekonomi. Ekspansi konektivitas melalui jaringan telekomunikasi, yang secara internasional menggunakan kabel telegraf bawah laut, mendorong percepatan pertumbuhan perdagangan internasional dan sirkulasi informasi, sekaligus menjadi awal dari globalisasi ekonomi.

Derajat keterhubungan antar individu dalam masyarakat meningkat drastis melalui media sosial seperti Facebook atau Twitter. Jika frasa “six degree of separation” menjadi frasa yang populer untuk menjelaskan jarak rata-rata antar setiap orang di muka bumi ini, maka jejaring online membuat jarak antar setiap orang, saat ini, menjadi semakin pendek, untuk Twitter rata-rata 4.67 derajat.

Dunia telah menjadi sebuah “desa global”.

Segala hirarki sosial yang vertikal mengarah menjadi horizontal. Paling tidak diagonal. Apa yang anda ketahui, apa yang anda warisi, dari keluarga mana anda terlahir tidak lagi lebih penting ketimbang siapa yang anda kenal, dengan siapa anda bergaul, atau berapa banyak teman yang anda miliki.

Dunia tidak lagi diatur semata oleh hirarki seperti Menara (tower), seperti sebelum ditemukannya mesin cetak. Dunia juga mulai berperilaku seperti Alun-alun (square) tempat di manusia saling berinteraksi dengan bebas dan setara seperti kata sejarahwan Niall Ferguson.

Manusia Sosial – Masyarakat Pasar Partisipatoris

Peserta-peserta kongres kebudayaan yang terhormat,

Konsepsi jaringan menempatkan interaksi, kerjasama dan kolaborasi sebagai hal yang fundamental dalam proses kreasi dan kinerja sistem. Di era digital saat ini kita merayakan kelahiran kembali Manusia Sosial (homo socialis) sebagai alternatif dari Manusia Ekonomi (homo economicus).

Berbeda dengan Manusia Ekonomi yang independen dan egois, Manusia Sosial hidup dalam jaringan kolaborasi. Ia berupaya mengejar keinginannya sembari mempertimbangkan dampak dari setiap keputusan yang diambil terhadap lingkungan kolaborasi yang dihidupinya.

Dengan berempati terhadap lingkungannya (perspektif, kepentingan dan kesuksesan orang lain), Manusia Sosial menjadi responsif terhadap efek eksternalitas dari setiap keputusannya.

Dengan cara demikian Manusia Sosial menciptakan faedah secara sistemik sembari memeluk kepentingannya sendiri. Bagi Manusia Sosial, rute menuju kesuksesan manusia sosial bukanlah menuju puncak piramida keunggulan satu individu terhadap individu lain. Sukses diraih dengan menuju sentral jaringan kolaborasi antarindividu dan sumber daya.

Keunggulan individual tak lagi diukur seberapa besar sumber daya yang dikuasai, tetapi sejauh mana akses yang dimiliki mampu melingkupi keseluruhan jejaring. Titik keseimbangan bukan pada puncak piramida statis, melainkan titik-titik dinamis jejaring sosial yang terus bergerak. Jika mengucilkan diri dan ingin menang sendiri, maka anda akan dikutuk jadi pecundang yang kesepian di pojokan sejarah menunggu pertolongan para dermawan!

Hadirin terhormat,

Jejaring merupakan wadah alami bagi kemunculan paradigma ekonomi baru yang berlandaskan pada semangat kolaborasi dan partisipasi, layaknya gotong royong rakyat desa. Ia kita sebut sebagai Masyarakat Pasar Partisipatoris. Saya sangat percaya bahwa ini adalah sebuah alternatif baru. Bukan hanya karena paradigma yang ada saat ini tidak lagi mampu menyediakan cukup lapangan kerja, menghasilkan ketimpangan yang tajam dan efek lingkup yang ekstrim di berbagai belahan dunia. Tapi juga karena dunia yang berubah (cara kita hidup, bekerja dan

berinteraksi dengan orang lain) oleh revolusi teknologi informasi telah membuka banyak kemungkinan-kemungkinan baru.

Prinsip-prinsip hidup di abad ke 21 dan seterusnya kian diatur oleh matematika sebagai bahasa alam semesta. Matematika kemudian diubah menjadi algoritma sebagai pola prosedur logis. Algoritma inilah yang menggerakkan kecerdasan buatan untuk belajar terus menerus (sehingga kian cerdas) dari asupan data aktivitas biologis, sosial dan digital kita secara eksponensial. Tiada henti!

Kolaborasi konsumsi dan produksi pun menjadi wajah ekonomi di era digital. Platform teknologi, seperti gojek dan airbnb, meminimalkan biaya transaksi, memudahkan koordinasi antara produsen dan konsumen, dan melahirkan aktivitas ekonomi baru dengan memanfaatkan asset yang tidak optimal digunakan.

Di era digital produser dan konsumen tidak lagi terbedakan. Maka lahirlah entitas ekonomi baru yang disebut prosumen. Seseorang disebut prosumen pada saat dia ikut serta berkontribusi memproduksi barang yang dibelinya. Dengan kata lain, terjadi kolaborasi produksi yang menghilangkan batas-batas antara produsen dan konsumen.

Akses teknologi yang terbuka dan terjangkau, misalnya dengan hadirnya teknologi 3D Printing dan pasar on line yang terbuka, memunculkan demokratisasi produksi dan distribusi. Dalam demokratisasi tersebut, proses produksi dilakukan secara lokal oleh setiap orang tanpa terhambat oleh persoalan skala ekonomi. Pun proses distribusi dilakukan dengan melampaui kepala-kepala tukang catut di tengah jalan.

Hadirin yang budiman,

Kolaborasi adalah konsep yang fundamental dalam praktik ekonomi generasi digital, menggantikan semangat kompetisi yang dominan di era sebelumnya. Mayoritas bisnis yang disruptif saat ini dibangun di atas fondasi kolaborasi pengguna berbasis

plaform teknologi.

Di dalam jejaring kolaborasi, ekonomi digital tumbuh dan perlahan mendominasi. Hanya dalam 20 tahun sejak kelahiran internet, potensi globalnya diperkirakan telah mencapai 3 triliun dollar. Artinya, digital bukan lagi sekadar bagian dari ekonomi, ia sudah menjadi ekonomi itu sendiri. Pertanyaannya kemudian adalah apa efek yang kita harapkan dari pergeseran paradigma ekonomi ini? Paradigma kolaboratif dalam ekonomi digital mengubah persamaan fundamental yang mengendalikan mesin ekonomi era lampau. Dan olehnya itu akan memunculkan perbedaan yang sifatnya transformatif secara makro. Telah menjadi salah kaprah bahwa atas kehendak evolusi

dan seleksi alam, manusia harus menjadi individu yang egois dan mementingkan diri sendiri. Namun rupanya tidak demikian.

Wawasan ilmiah terbaru menunjukan hal yang berbeda. Dalam suatu lingkungan tertentu yang realistik, sistem sosial dan ekonomi dapat juga memproduksi Manusia Sosial.

Di era lampau Paradigma Manusia Ekonomi menjadi fondasi aktivitas ekonomi manusia yang senantiasa berujung pada persoalan eksploitasi sumberdaya alam, ketimpangan, polusi dan kerusakan lingkungan. Manusia Ekonomi seringkali terjebak

dalam situasi “tragedy of the commons”, yaitu suatu situasi dalam sistem sumber daya bersama di mana apa yang paling baik bagi individu dalam jangka pendek memiliki dampak yang buruk secarak kolektif dalam jangka panjang. Ini adalah situasi yang umum kita temui dan kita rasakan dampaknya hari-hari belakangan ini. Ia bisa ditemukan dalam rupa tragedi kepanasan, terendam air, atau sesak napas bersama yang akan menimpa siapa saja. Apapun agama, ras, maupun afiliasi politiknya.

Saya ingin mengatakan bahwa persoalan-persoalan tersebut dapat kita temukan jalan keluarnya di era saat ini. Manusia Sosial sebagai entitas elementer dari Masyarakat Pasar Partisipatif akan membuat sistem mampu mengatasi situasi dilema sosial.

Berbeda dengan Manusia Ekonomi, Manusia Sosial mampu mengharmonisasi kepentingan individual yang saling bertetangan dan membuatnya kompatibel dengan efisiensi dan kepentingan sistem secara keseluruhan. Dunia sosial tidak harus

menjadi area pertempuran zero sum game, dimana segelintir orang akan sukses jika dan hanya jika orang lain gagal.

Di depan warga desa sering saya sebutkan bahwa di era digital, bekerja, berjejaring dan berinovasi bersama akan membuat kita semua punya empati dan solidaritas dengan laku silih asih, silih asah, silih asuh.

Hadirin yang terhormat,

Konsepsi Masyarakat Pasar Partisipatif sesungguhnya bukanlah hal yang baru dalam kehidupan sosial orang Indonesia. Bentuk klasiknya dapat kita temukan dalam tradisi sistem irigasi Subak di Bali, tradisi perburuan Paus warga Lamalera di NTT, dan berbagai tradisi kolaborasi di seluruh penjuru Indonesia.

Saya ingin sedikit bercerita kolektivitas yang terbangun dalam tradisi Subak di Bali. Sejak ratusan tahun lalu, petani Bali menjalankan aktivitas pertaniannya berdasarkan suatu model manajemen irigasi bersama yang kita kenal sebagai Subak. Riset Stephen Lansing menggunakan pemodelan simulasi menunjukkan bahwa subak merupakan model koordinasi waktu tanam yang membrojol dari bawah secara “bottom up” (baca: demokratis) oleh karena kesalingbergantungan kebutuhan antar petani.

Dilema sosial yang dihadapi oleh para petani subak adalah jika seluruh sawah ditanami secara bersamaan maka mereka akan terhindar dari hama tikus. Tapi akibatnya sawah yang terletak di kaki bukit akan kekurangan air. Dilema yang dihadapi oleh para petani Bali teratasi melalui pengkoordinasian waktu tanam.

Karena dampak tikus terhadap penurunan hasil panen ternyata lebih besar daripada akibat soal air yang tidak cukup, maka mau tidak mau petani atas dan bawah “dipaksa” oleh alam untuk terlibat dalam manajemen pertanian bersama.

Menjadi lebih menarik ketika kolektivitas ini melibatkan sawahsawah yang berjauhan, bahkan lintas wilayah kekuasaan kerajaan-kerajaan zaman dahulu. Untuk itu mereka berkoordinasi menggunakan jejaring antar kuil sebagai medium musyawarah.

Ritus-ritus pertanian kemudian berkembang sedemikian rupa menyembunyikan fungsi praktis dari keberadaan kuil tersebut. Kita sebagai generasi yang lebih muda hanya mewarisi kepatuhan kepada tradisi bahwa pelaksanaan ritual pertanian adalah

jaminan untuk keberhasilan panen.

Dari subak kita dapat belajar bahwa kehidupan kolektif masyarakat desa pada hakekatnya adalah pilihan strategi yang optimum untuk bisa beradaptasi dan survive di tengah kenyataan alami tempat kehidupannya. Ketika kolektivitas tersebut diabaikan, maka kebijakan publik untuk desa dapat berdampak sebaliknya dari yang diharapkan. Misalnya, persoalan pertanian seringkali dilihat sekedar soal teknis pupuk, bibit unggul dan pembasmi hama. Kebijakan “revolusi hijau” pemerintah di era 80-an yang abaikan koordinasi waktu tanam dari subak hasilkan ledakan hama tikus. Masyarakat Bali mengenang masa itu sebagai zaman kelaparan (poso).

 

Jejaring Inovator Desa-Kota

Hadirin yang budiman,

Konsepsi ini pula yang dalam beberapa tahun terakhir coba kami jalankan di desa-desa di berbagai penjuru Indonesia. Dalam 3 tahun terakhir, sejak Dana Desa digulirkan oleh pemerintah dalam payung hukum Undang-Undang Desa, desa-desa di Indonesia ramai-ramai membenahi diri. Berbagai model kewirausahaan sosial berbasis BUMDes (Badan Usaha Milik Desa) muncul dan berkembang. Tentu masih banyak masalah yang harus diurus, namun mimpi menjadikan desa sebagai pusatpusat pertumbuhan ekonomi baru semakin nyata.

Kisah sukses dari Desa Ponggok yang terletak di Klaten Jawa tengah adalah salah satu kisah sukses dana desa. Berawal dari desa miskin dengan pendapatan tahunan hanya 14 Juta di tahun 2006 kita menjelma menjadi makmur dengan total pendapatan 15 Milyar rupiah di tahun 2017. Saat ini BUMDes Desa Pongok menaungi 13 unit usaha, mulai dari wisata air sampai warung kelontong. Semuanya dikelola secara profesional, modern, dan memanfaatkan teknologi informasi. Program kesejahteraannya pun beragam, mulai dari subsidi untuk pendidikan tinggi sampai ‘gaji’ untuk para lansia.

Namun saya ingin mengatakan bahwa hal tersebut tidaklah cukup. Berapapun dana yang digulirkan pemerintah ke desa, desa-desa di era digital tidak akan dapat bertahan dan bersaing secara global jika masih bertindak sendiri-sendiri. Desa-desa harus mulai menjalin kolaborasi ekonomi dengan desa-desa lain disekitarnya, maupun antar desa di seluruh wilayah Indonesia.

Dalam beberapa tahun terakhir pasca Undang-undang Desa saya bersama teman-teman pegiat desa aktif mendorong desa-desa untuk tidak hanya membangun BUMDes, tapi juga bergabung membangun entitas ekonomi yang lebih besar yakni BUMADes (Badan Usaha Milik Antar Desa).

Saya menyakini bahwa dalam jejaring kolaborasi ekonomi antardesa ini, terlebih jika ia menjadi perusahaan-perusahaan teknologi dan data raksasa, akan menjelma sebuah kekuatan ekonomi baru yang kompetitif secara global. Namun jejaring antardesa juga belum cukup.

Jejaring desa-kota dan jejaring kampung-kampus harus segera dirintis dan dibangun. Desa, dengan segala modal ekonomi dan sosial yang dimilikinya saat ini harus segera dihubungkan dengan pelaku ekonomi, penggerak sosial dan inovator teknologi yang

ada di kota dan dunia untuk dapat bekerja bersama mengeksplorasi peluang yang terbuka oleh karena perkembangan teknologi. Kreativitas kota, kebajikan desa dan peluang dunia harus bertemu untuk membangun dan berbagi solusi digital yang inovatif, dengan didasari semangat partisipasi, kolaborasi, desentralisasi, keterbukaan dan multidisiplin.

Karena itu pula, sebuah ikhtiar dan kerjasama raksasa harus dibangun di antara mereka yang bekerja untuk membuat masyarakat cerdas (pejabat publik yang visioner, pendidik yang inovatif dan wirausahawan sosial yang inklusif), mereka yang

membuat alat teknologi cerdas (pakar kecerdasan buatan/mesin pembelajar, pakar ilmu data, ahli blockchain dan sebagainya) dengan mereka yang membuat tubuh biologis kita cerdas (ahli neuroscience, perekayasa genetik, pakar biologi sintetik dan

semacamnya).

Merekalah inovator-inovator sosial dan teknologi yang terus belajar dari alam dan memastikan semua yang dibuat oleh manusia sesuai dengan hukum-hukum alam, bicara dengan bahasa alam (baca: matematika) dan rangsang neuron (denyut

sel saraf otak).

Revolusi Industri 4.0 cuma bisa kita menangkan dengan cara-cara di atas. Ia membuka tak terhingga peluang kepada kita untuk menjadi bangsa yang berkedaulatan dalam data, berkeadilan dalam teknologi dan akses informasi. Suatu masa depan, di mana setiap inovasi teknologi akan membawa kehidupan yang lebih baik untuk semua pandu bangsa; di mana kemajuan teknologi tidak mengancam prospek pekerjaan, tetapi justru menciptakan segudang peluang dan kesempatan bisnis; di mana setiap individu memiliki kuasa penuh atas informasi yang ia bagi di dunia maya, dengan siapa ia membaginya dan bagaimana informasi tersebutdimanfaatkan; di mana konektivitas fisik dan digital menjadi perwujudan yang sesungguhnya dari persatuan Indonesia dan bahkan kemanusiaan yang adil dan beradab. Konektivitas yang meruntuhkan tembok geografis, sosial dan kultural yang memisahkan, serta memberi kesempatan yang sama pada tiap-tiap pandu bangsa untuk mempunyai akses sumber daya alam dan digital, dan berkontribusi terhadap prosesperubahan, pengelolaan dan kemajuan negara.

Tentu tak juga saya pungkiri bahwa ada rasa was-was dan kekhawatiran yang senantiasa mengiringi keinginan untuk maju. Khawatir adalah wujud kehati-hatian. Tapi penolakan pada Kemajuan adalah refleksi keterancaman akan terganggunya kemapanan diri dan kelompok yang nyaman berselimut gelap masa lalu. Namun saya memilih, juga mengajak anda semua, untuk berpihak pada masa depan, mengubah kekhawatiran menjadi energi yang mampu mendorong gelombang sejarah ke arah yang tepat—arah yang memungkinkan kita mewujudkan mimpi-mimpi besar bangsa Indonesia.

Memenangkan Masa Depan

Hadirin yang terhormat,

Apa yang dibutuhkan untuk memenangkan masa depan kita? Saya ingin memberikan sketsa ini. Pada saat teknologi mobil mulai dikenalkan menjadi salah satu moda transportasi, pemerintah perlu berinvestasi dan membangun banyak hal agar proses tersebut berlangsung dengan baik. Dimulai dari investasi dalam riset teknologi sehingga efisien untuk produksi masal, pembangunan jalan umum, tempat pengisian bensin, tempat parkir, sekolah mengemudi, penerbitan izin berkendara, sampai dengan peraturan lalu lintas, rambu dan polisi pengatur lalu lintas.

Kita telah berinvetasi sangat besar untuk membangun sektor pertanian, industri maupun jasa. Apakah kita saat ini sudah melakukan hal yang sama untuk sektor digital? Jawabnya masih belum optimal.

Hadirin yang terhormat.

Kita perlu membangun institusi dan kelembagaan serta menyiapkan infrastruktur informasi untuk masyarakat digital yang akan segera lahir. Gelombang Revolusi Industri 4.0 tak terhindarkan akan mengantar lahirnya anak-anak era digital.

Namun apakah para digital native mampu lahir sebagai bayi yang sehat dan tumbuh menjadi generasi digital yang cerdas dan produktif akan sangat bergantung kepada kesiapan infrastruktur informasi dan institusi.

Waktu kita tidak banyak untuk mempersiapkan hal tersebut. Dan saya ingin mengatakan bahwa saat ini tidak banyak negara yang memiliki kesiapan penuh menghadapi tantangan era digital.

Setelah infrastruktur informasi, kita juga perlu menyiapkan sumber daya yang kompetitif memanfaatkan segala peluang yang terbuka di era digital. Akses terhadap teknologi merupakan prasyarat utama mobilitas sosial di era digital. Namun polanya masih tetap sama bahwa hal tersebut saat ini masih dipengaruhi oleh level pendidikan, pendapatan, dan pertemanan seseorang.

Oleh karena itu pemerataan akses harus disertai peningkatan literasi atas teknologi. Revolusi teknologi mengharuskan kita sesegera mungkin melakukan revolusi pendidikan. Pendidikan di era digital harus memberikan penekanan pada penguasaan ”cara belajar” daripada sekadar banyak tahu karena banyak tahu bukan lagi keistimewaan saat ini. Keahlian akan sesuatu hal akan dengan cepat usang tergantikan hal-hal baru yang terus bermunculan tanpa terbendung. Dunia ini sekarang hanya butuh beberapa gelintir manusia imajinatif yang mampu secara matematis dan komputasional, thinking out of box dan mengubah cara hidup bermilyar-milyar manusia dalam hitungan tahun saja.

Hanya dengan penguasaan ”cara belajar” lah, dalam rupa kemampuan berpikir kritis dan merumuskan pertanyaan dengan tepat, yang akan membuat manusia Indonesia mampu adaptif dan tidak gagap terhadap perubahan cepat masa depan.

Rekan-rekan seperjalanan yang terhormat,

Tak terhindarkan proses otomasi produksi oleh mesin dan robot ini akan mengguncang pasar tenaga kerja. Hal ini memunculkan paradoks yang oleh Erik Brynjolfsson, Direktur MIT (Massachusets Institute of Technology) Initiative on the Digital Economy, disebut sebagai “the great decoupling”, yakni membesarnya jurang antara produktivitas dan ketersediaan lapangan kerja.

Biasanya keduanya seiring sejalan, dimana produktivitas meningkat seiring dengan meningkatnya permintaan tenaga kerja. Namun apa yang terjadi belakangan ini menunjukan simpangan keduanya semakin melebar. Produktivitas terus meningkat tapi lapangan kerja semakin sulit. Dengan kata lain, inovasi teknologi membuat “kue

kemakmuran” terus membesar, namun tidak semua orang diuntungkan dan dapat menikmati hal tersebut. Lapangan kerja baru memang tetap bermunculan, namun dengan jenis keahlian yang spesifik, baru dan terus berubah dengan cepat (baca: mudah usang)

Hal ini memberikan sinyal, Revolusi Industri 4.0 bisa berujung pada sekadar pengulangan realita ketimpangan antarindividu dan antar wilayah yang tinggi. Hari ini, 10 persen individu menguasai 90 persen kekayaan dunia. Ini adalah gambaran persoalan ketimpangan yang kita warisi dari era sebelumnya. Dan jurang ini akan semakin membesar oleh efek disrupsi revolusi teknologi jika tidak diantisipasi.

Hadirin yang terhormat,

Kita jelas membutuhkan revolusi pendidikan. Namun itu saja tidak cukup. Kita juga harus segera memikirkan model jaring pengaman sosial baru yang fit dengan karakteristik kerja era digital. Hal ini karena skema kesejahteraan yang ada saat ini dibangun berdasarkan ide, mode kerja dan jenis pekerjaan produk era Revolusi Industri kesatu.

Persis pada titik inilah ini saya memikirkan tentang model Pendapatan Dasar Universal (PDU) yang secara luas mulai diperbincangkan belakangan ini sebagai Universal Basic Income.

PDU adalah sebuah model jaminan kesejahteraan dimana negara berbagi melalui upaya pemenuhan kebutuhan dasar universal (Universal Basic Income) warganya. Negara menyediakan pendapatan minimum bagi setiap orang untuk dapat melanjutkan kehidupannya meski tanpa bekerja.

Konsep ini berbeda dengan kebijakan pro-kesejahteran seperti bantuan langsung tunai karena berlaku untuk setiap orang terlepas dari level pendapatan dan status pekerjaannya.

Terlepas dari kontroversi yang muncul, baik secara teknis maupun filosofis, PDU atau UBI adalah upaya untuk secara tuntas menyingkirkan persoalan kemiskinan dengan mengangkat level kesejahteraan setiap orang di atas garis kemiskinan. Pada era di mana robot dan mesin cerdas akan menjadi bagian keseharian hidup manusia, UBI adalah cara untuk membagi adil ‘kue kemakmuran’ yang terus membesar oleh karena kemajuan teknologi.

Lebih dari itu, mengingat kreativitas dan inovasi adalah kunci sukses di era digital, UBI akan memberikan keleluasaan bagi setiap orang untuk mengeksplorasi daya cipta dan mengaktualisasikan kemanusiaannya, sembari membiarkan halhal sederhana ditangani oleh mesin dan robot.

Pengalaman yang kita peroleh dari UU Desa akan memberikan persepektif yang sangat berharga pada perumusan dan pelaksanaan UBI atau PDU di Indonesia. Karena pada hakekatnya keduanya memiliki spirit yang sama, hanya berbeda level

implementasi. Dana desa dan PDU adalah dua tiang pertahanan menghadapi dampak negatif kemajuan teknologi. Jika PDU memberikan kekuatan pada individu untuk bertahan terhadap gempuran otomasi dan perubahan mode kerja, maka Dana Desa akan memberikan kita kemampuan untuk tumbuh dan memenangkan kompetisi di era ekonomi digital.

Epilog: Membangun Masa Depan Bersama

 

Hadirin yang terhormat,

Saya ingin “menangkap” dinamika gelombang sejarah yang akan menghantar kita memasuki era digital dalam satu frasa singkat. Sebuah ide yang merangkum keseluruhan apa yang kita perbincangkan hari ini, dan menerjemahkan dengan sangat tepat zeitgeist era digital, yaitu: Membangun masa depan bersama.

Bagi saya, ini adalah zeitgeist era digital. Inilah mengapa kita merangkul dunia digital. Dan inilah mengapa kita tidak perlu khawatir dengan berbagai terobosan teknologi baru, seperti kecerdasan buatan, robot, dan data raksasa.

Dalam bahasa rakyat, dan berkali-kali saya sampaikan di depan warga desa, bahwa di era digital, bekerja, berjejaring, berinovasi bersama akan membuat kita semua waras bareng, pinter bareng, dan sugih bareng.

Jika “membangun masa depan bersama” adalah koin dari era digital, maka ia punya dua wajah. Sisi koin yang pertama adalah “masa depan yang sangat terbuka” dengan tak terhingga peluang dan juga tantangan. Kita sungguhsungguh tidak pernah benar-benar tahu ke mana persisnya gelombang sejarah ini akan menghempas kita dalam sepuluh, dua puluh atau bahkan lima puluh tahun ke depan. Ini sungguh-sungguh keterbukaan dan kemungkinan-kemungkinan yang sangat radikal oleh karena pertumbuhan eksponensial dari inovasi teknologi baru.

Sisi koin yang lainnya adalah “kolaborasi”. Kita berada di suatu era di mana masa depan sungguh-sungguh harus dibangun secara bersama-sama. Demikian pula dengan resiko dan persoalannya harus dihadapi secara bersama. Tidak pernah dalam sejarah kita berada dalam situasi di mana ketergantungan antar negara dan antar individu sangat begitu kuat seperti saat ini.

Sebuah persoalan kecil di sebuah negara antah berantah di pelosok Afrika dapat berakibat fatal yang mengoncang tatanan ekonomi global. Ketimpangan, bahaya perubahan iklim dan masih banyak lagi persoalan besar hari ini hanya dapat ditanggulangi oleh tindakan bersama seluruh negara-negara di dunia.

Saya ingin memaknai dunia hari ini dan ke depannya dalam bait puisi dari penyair John Donne yang pertama kali saya kenal dalam novel favorit karya Ernest Hemingway, For Whom the Bell Tolls:

Tak seorang pun menyerupai sekeping pulau, tiada orang

yang sepenuhnya sendirian; tiap orang adalah sekeping

tanah dari sebuah benua, sebagian dari keseluruhan. Jika

sepotong semenanjung ditenggelamkan air, Eropa akan

mengecil, demikian pula dengan puncak gunung atau rumah

karibmu atau dirimu sendiri; kematian tiap orang

mengurangi makna diriku, karena diriku terlibat dalam

seluruh urusan umat manusia; dan karena kita tak akan

pernah tahu pada siapa lonceng maut itu memanggil; ia

berdentang memanggilmu.

Hadirin yang terhormat.

Saya ingin menutup perbincangan petang ini dengan sebuah refleksi atas situasi kekinian kita sebagai bangsa. Saya memandang kita masih saja terkaget-kaget menghadapi soal-soal “baru”, yang sesungguhnya adalah soal-soal lama. Atau dengan mudah jatuh hati pada solusi-solusi lama atas soal lama yang sebenarnya sudah kadaluwarsa.

Persoalan ada pada rendahnya tradisi baca dan memverifikasi fakta. Kemalasan membaca, berefleksi dan berdebat atas hal-hal nyata digantikan dengan pemaksaan kehendak dan meributkan imajinasi-imajinasi subyektif. Saat ia dibumbui nafsu kuasa tanpa etika dan estetika, ia pun menjadi amuk massal.

Alih-alih menjadi “Society of Minds”, akhir-akhir ini kita malah cenderung lebih dekat menjadi “Society of Wishful Thinking”.

“Society of Wishful Thinking” adalah masyarakat yang menjadikan keinginan-keinginannya seolah kenyataan. Tempe setebal setengah cm di mulutnya seolah satu-satunya tempe setebal setengah sentimeter di tanah airnya, karena tempe-tempe di mulut orang lain seantero negeri cuma setipis kartu ATM-nya.

Saat menyadari keinginannya tidak atau belum jadi fakta dan nyata, dia menganggap terjadi kerusakan moral. Saat ada yang sungguhsungguh bekerja, ia un mencela proses. “Society of Wishful Thinking” didominasi manusia yang ingin cepat sukses tanpa proses, yang akan cuma jadi obyek pasar dari algoritma (tepat proses, cepat sukses) teknologi. Produk cepat suksesnya dijual ke kita, sementara alur tepat prosesnya tak pernah bisa kita pahami.

Jika terus menerus seperti ini maka dalam rantai makanan masyarakat dunia di era Revolusi Industri 4.0, kita pada akhirnya adalah mata rantai terakhir. Penipu yang memangsamu ditunggu-tunggu sebagai pahlawanmu. Produknya cepat saji, cepat habis. Kita tergesa untuk menghabiskannya karena kita ingin punya waktu lama untuk melamun lagi. Dan di atassegalanya, kita ingin punya lebih banyak waktu lagi untuk mengutuki orang lain yang obyek lamunannya berbeda dengan lamunan kita. Dan tentu tak lupa juga mengutuki orang yang suara mesin bornya sedang bekerja, berisik mengganggu lamunan tidur siang.

Jika tidak segera membuka pikiran dan melaju, bangsa seperti ini cuma akan jadi tumpukan data (mulai dari sumber daya mineral, tetumbuhan maupun jenis-jenis lamunan yang paling disukainya) yang ditambang cuma-cuma atau dijual dengan harga murah.

Saat tersadar bahwa obyek lamunan dipuja-puja itu cuma jadi komoditi dari orang lain, semuanya pun sudah terlambat. Situasi ini sialnya sama dengan beristri atau bersuamikan seseorang yang sangat dipuja tapi kenyataannya dia cuma simpanan orang lain.

Jika kita tak sakit hati maka sungguh-sungguh kita tak punya harga diri lagi. Apa yang jauh lebih celaka? Pada tiap etape sejarah, saat semua diberi peringkat dan lantas republik ini ada di peringkat bawah dari negara-negara lain, kita hanya diam, tak gelisah apalagi marah. Ini tampak saat nyaris semua orang biasa-biasa saja ketika PISA (Program for International Student Assessment) Survey menunjukkan minat baca, sains & matematika kita yang rendah “Society of Minds” yang disruptif harus dibentuk untuk melawan “Society of Wishful Thinking” yang destruktif.

Sebuah masyarakat, seperti ditekankan oleh sejarahwan Yuval Noah Harari, memang

selalu dilem oleh mitos. Tanpanya maka perekat masyarakat itu akan rusak dan buyarlah masyarakat tersebut. Hanya saja di era 4.0 sekarang, mitos tersebut harus bisa diverifikasi oleh data. Sebab kenyataannya data apa adanya adalah data, data yang dipilih dan dipilah menjadi cerita, cerita yang dipilih dan dipilah menjadi citra dan citra yang dipilih dan dipilah menjadi mitos.

Apapun dan kemana pun itu, berakar dan bertumbuhlah hanya dari yang abadi, jika tidak maka kita akan berguguran lagi dan lagi. Lantas apa yang abadi? Baik di tanah air seluas Indonesia ataupun seluas dunia, hanya data, teorema matematika dan kemampuan berimajinasi manusialah yang akan abadi.

Bergurulah dari alam yang senantiasa berkembang. Dengan selalu berguru pada alam, dengan semesta data yang membentuknya, dengan matematika sebagai bahasanya dan dengan imajinasi sebagai produk evolusi otak kita, manusia akan bisa memelihara peradaban dan keadabannya.

Carpe Diem! (Rebutlah hari ini!)

Wassalamu’alaikum wr wb.

Salam sejahtera untuk kita semua.

Tentang Budiman Sudjatmiko

Budiman Sudjatmiko lahir di Majenang, Cilacap (Jawa Tengah) pada 10 Maret 1970. Dikenal sebagai salah satu aktivis pro demokrasi dan tahanan politik di era pemerintahan Orde Baru.

Menyelesaikan pendidikannya di program master di Universitas London dalam bidang Ekonomi Politik dan Universitas Cambridge dalam Hubungan Internasional. Sekarang Budiman menjadi anggota DPR RI dari Fraksi PDI Perjuangan.

Karena terlibat aktif dalam menggagas UU Desa, Budiman menjadi aktif sebagai Ketua Dewan Pembina PAPDESI (Perkumpulan Aparatur Pemerintah Desa Seluruh Indonesia).

Selain itu Budiman juga sekarang menjadi Ketua Umum Inovator 4.0 Indonesia, sebuah gerakan yang menghimpun inovator-inovator Indonesia di luar negeri dan Indonesia yang bergerak di bidang bisnis berbagi, sosial dan teknologi untuk menyongsong Revolusi Induatri 4.0.

Twitter

@budimandjatmiko

Instagram

@budimaninovator

#BigIdeasBigData

Artikel Terkait

Stay Connected

342FansSuka
1,543PengikutMengikuti
1,120PelangganBerlangganan

Terbaru