SEMARANG- Dewan Kesehatan Rakyat (DKR) Kabupaten Semarang, sebuah wadah organisasi masyarakat yang peduli dengan masalah Kesehatan Rakyat di Kabupaten Semarang melakukan audiensi dengan DPRD Tingkat II Kabupaten Semarang. Tujuan dari audiensi ini adalah untuk menyampaikan aspirasi dan menyamakan persepsi terhadap Pemenuhan Hak Dasar Rakyat khususnya Warga Miskin dalam dalam Bidang Kesehatan.
“Dewan Kesehatan Rakyat (DKR) Kabupaten Semarang mengapresiasi capaian kepesertaan BPJS di Kabupaten Semarang yang pada tahun 2018 yang telah mencapai 69,05%. Angka tersebut secara kasar menurut analisa DKR berdasarkan Kuota Gakin yang ditanggung APBN dan APBD diperkirakan setidaknya 35% adalah BPJS PBI APBN. Kemudian BPJS PBI APBD kurang lebih 10% dan sisanya adalah sektor Pekerja Penerima Upah (PPU),” Andreas Nuryono, Pjs Ketua DKR Kabupaten Semarang kepada Bergelora.com di Semarang, Jumat (21/6).
Menurut data Dinas sosial dalam pendataan gakin, jumlah Gakin pada tahun 2018 di Kabupaten Semarang berjumlah 309.302 jiwa atau sekitar 28%. Secara matematika, dengan jumlah Penduduk Kabupaten semarang di kisaran angka 1.100.000 jiwa, angka Kuota BPJS PBI baik APBN maupun APBD II di angka 45%, logikanya seluruh Gakin dengan data 28% mestinya sudah sudah tercover BPJS PBI atau yang ditanggung biayanya oleh Pemerintah.
“Namun demikian, dalam praktek dilapangan selama melakukan advokasi dan pendampingan warga miskin di Rumah Sakit, DKR masih menemukan banyak sekali warga miskin yang tidak memiliki Kartu Jaminan Kesehatan. Akibatnya mereka menjadi kesulitan ketika berobat ke Rumah Sakit. Solusi jangka pendek tentu ada, dengan SKTM,” katanya.
Namun demikian, masalahnya menurutnya adalah kemana larinya angka kuota untuk Gakin yang mestinya berjumlah 45% dari Jumlah Penduduk Kabupaten Semarang? Kenapa masih banyak warga miskin yang belum mendapatkan kartu Jaminan?
“Ini adalah masalah serius yang harus diungkap karena menyangkut nasib rakyat miskin yang kehilangan haknya terhadap jaminan kesehatan jika data tersebut diatas yang terekam media massa adalah benar,” katanya.
DKR juga menemukan pekerja Penerima Upah yang mestinya Pembiayaan Jaminan Kesehatan di biayai oleh Perusahaan tempat dimana bekerja, namun dalam kenyataan justru masuk dalam kuota gakin. Untuk Pekerja Penerima Upah dengan gaji di bawah UMR mungkin masih di maklumi, akan tetapi banyak juga temuan lapangan Pekerja Penerima Upah dengan gaji di atas UMR namun tidak mendapat Jaminan Pembiayaan Perusahaan karena kebetulan di desanya terdata sebagai warga miskin.
“Padahal mestinya gaji diatas UMR menjadi kewajiban Perusahaan untuk ikut menanggung Pembiayaan Kepesertaan BPJS. Namun terus terang kontrol terhadap Perusahaan Pemberi Kerja juga masih sangat normatif sehingga belum menyentuh akar masalah yang terjadi,” ujarnya.
Masih carut marutnya pendataan kepesertaan inilah yang mendorong DKR melakukan roadshow audiensi terhadap stakeholder terkait. Baik dengan unsur Eksekutif dalam hal ini Bupati dan Dinas Kesehatan, unsur Legislatif dalam hal ini DPRD Tingkat II Kabupaten Semarang, juga dengan Pihak Rumah Sakit baik pemerintah maupun swasta yang ada di Kabupaten semarang.
“Kami juga berharap bisa bertemu dengan BPJS Kabupaten Semarang. Harapan kami dengan roadshow audiensi ini, akan sedikit bisa mengungkap masalah-masalah yang ada di lapangan,” katanya.
Yang terpenting menurutnya adalah menemukan jawaban dari tidak sinkronnya pendataan penerima BPJS PBI APBN dan APBD sehingga masih banyak warga miskin yang kehilangan hak nya untuk mendapatkan BPJS – PBI. Kalau hal ini bisa diungkap tentu akan mendorong percepatan Universal Health Coverage atau terjaminnya seluruh warga kabupaten Semarang dengan dibuktikan kepemilikan Kartu BPJS.
Selain itu, seiring dengan semangat reformasi dan otonomi Desa, DKR juga mengusulkan agar dalam melakukan pendataan Gakin menggunakan model partisipatif, dengan melibatkan warga desa. Model Klasifikasi Kesejahteraan yang partisipatif bisa menjadi Program Desa dengan di biayai oleh Dana Desa.
“Hal ini tentu akan berdampak positif bagi warga dan Desa dalam menentukan strategi Pembangunan Desa tanpa harus tertekan karena rumah warganya dilabeli Miskin dengan sticker. Secara psikologis tentu akan berdampak buruk bagi keluarga yang rumahnya dilabeli Miskin,” jelasnya.
Pendataan partisipatif akan mendorong Desa memiliki data valid tanpa harus menanggung warganya terkotak -kotak dalam kaya, sedang dan miskin dengan label yang diberikan orang lain (luar desa). Dengan demikian desa berpikir untuk menemukan solusinya lewat program – program yang di biayai Dana Desa maupun dana – dana yang lain.
“Termasuk dalam mendata dan menemukan strategi bagaimana seluruh warga desanya memperoleh Kartu BPJS, baik sebagai peserta PBI yang di biayai oleh APBN atau APBD, maupun Mandiri dan sebagai Pekerja Penerima Upah. Bukan tidak mungkin pula, desa dengan PAD yang besar, ikut membuat Program BPJS PBI yang dibiayai dengan APBDes dari pos anggran PAD,” ujarnya.
DKR berharap agar masalah Kesehatan menjadi masalah bersama, diselesaikan bersama, jangan menjadi masalah individu-individu yang berjuang sendiri.
“Ada yang melawan Rumah Sakit karena belum punya BPJS, ada yang melawan BPJS karena beberapa penyakit yang tidak ditanggung oleh BPJS dan banyak lagi. DKR mendorong semua stakeholder terkait termasuk rakyat terlibat dalam persoalan Kesehatan Rakyat,” ujarnya. (Prijo Wasono)

