Pasca putusan Mahkamah Konstitusi yang bersifat final dan mengikat telah memastikan kemenangan Jokowi-Ma’aruf. Apakah setelah itu 60 jutaan pendukung Prabowo bisa menerimanya? Rupanya masih banyak kekecewaan yang tersisa dari Pilpres 2019 lalu. Wacana rekonsiliasi masih jauh dari harapan. Seperti yang disoroti oleh Himawan ‘Japrak’ Sutanto, budayawan dan aktivis 1980-an dari Yogyakarta kepada pembaca Bergelora.com. (Redaksi)
Oleh : Himawan Sutanto
PUTUSAN Mahkamah Konstitusi yang menolak semua gugatan Prabowo Subianto dan Sandiaga Uno ternyata masih menyisakan banyak masalah politik yang sulit disatukan. Walaupun dalam pidatonya Jokowi mengatakan bahwa dia akan menjadi Presiden seluruh rakyat Indonesia, tetapi pendukung fanatik Prabowo masih belum bisa menerima kekalahannya. Sebab menurut mereka MK dianggap sudah menjadi bagian dari kubu Jokowi. Hal itu juga dipicu secara tidak langsung terhadap pidato Prabowo yang tidak mengucapkan selamat kepada Jokowi atas kemenangannya.
Politik kita memang unik, hal itu bisa dilihat kebelakang atas naiknya Jokowi sebagai Presiden. Prabowo berperan besar membawa Jokowi masuk Jakarta sebagai Gubernur. Lalu ketika Jokowi maju jadi Presiden pendukungnya kemudian melakukan serangan tajam kepada Prabowo. Hal itulah awal dari masalah, yang kemudian dibalas keras oleh pendukung Prabowo. Saling ledek, saling sindir bahkan saling caci maki terjadi di dunia medsos sejak Jokowi menjadi Presiden periode pertama. Pertanyaannya, apakah hal diatas bisa diakhiri? Apakan rekonsiliasi akan terjadi? Sepertinya masih belum ada tanda-tanda kearah sana.
Melihat persoalan di atas bukan karena menang kalah dalam konstetasi, tapi perilaku politik yang mengandalkan perasaan sangatlah sulit diakhiri. Sebab dari 60 juta lebih pemilih Prabowo masih belum bisa menerima kekalahan. Karena menurut mereka kecurangan secara terstuktur, sistematis dan masif dilakukan oleh petahana. Hal inilah yang memicu semuanya menjadi tanda tanya besar.
Dalam kaidah ilmu politik memang kekuasaan adalah tujuan manusia berpolitik praktis, terutama lewat politik prosedural seperti di Indonesia. Tapi realitas yang ada justru menjauhkan dari rasionalitas, sebab politik di Indonesia semakin menjadi “irasional” ketika perasaan sudah ikut terlibat secara langsung. Hal ini dikarenakan wacana yang ada sebatas hanya di sosial media (sosmed) belaka. Di Sosmed literasi tidak diperlukan lagi, karena “jempol rakyat” lebih dominan daripada cara berpikir secara mapan dengan literasi yang ada. Sepertinya menuju politik yang indah masih jauh dengan realitasnya.
Kasus pilpres di Indonesia adalah cobaan yang berat bagi bangsa, sebab keputusan MK yang mengikatpun belum menjamin terciptanya suasana yang kondusif yang seharusnya diterima secara legowo. Tetapi masih menyisakan riak-riak politik yang belum mampu lagi disatukan. Sementara nilai persatuan Indonesia adalah wujud dari sila ke tiga dari Pancasila masih perlu di perjuangkan lagi, berat memang.
Rekonsiliasi yang menjadi target dari semangat persatuan Indonesia masih belum nampak atau masih tanda tanya besar. Sebab masing-masing kubu masih bertahan dengan argumentasinya. Sulit memang, berat juga bagi para negarawan untuk merumuskan. Sebab sudah semakin sedikit tokoh yang netral sekarang ini, karena semua hampir sudah terbelah menjadi bagian dari hal diatas.
Disisi lain, bangsa ini menghadapi tantangan besar dari segi ekonomi, tapi sepertinya elit kekuasaan belum juga menunjukkan kepastian politik ke depannya. Sehingga dampak perekonomian kita semakin terpuruk dengan pertumbuhan ekonomi yang stagnan di angka 5 koma. Sementara menyalahkan kondisi ekonomi dunia juga, bukan satu jawaban yang bijak juga. Sebab pengangguran, harga-harga naik dan daya beli menurun menjadi nyata dan seakan sulit dihindari.
Kita hanya berharap kepada para pihak untuk menciptakan suasana politik menjadi baik dan perekonomian menjadi utama melawan krisis berkepanjangan ini. Penyelesaian krisis politik yang cepat akan mempermudah terjadinya stabilitas dan menjadi pemenang juga tidak perlu merasa jumawa. Sebab kita harus terus menyakini terhadap sebuah kata bijak bahwa setiap ujian adalah berkah, setiap berkah adalah sebuah ujian.