Senin, 15 September 2025

Mungkinkah Rekonsiliasi?

Presiden RI Joko Widodo. (Ist)

Rekonsiliasi kembali dikumandangkan Pasca Pilpres 2019. Walau demikian masih saja sekelompok orang tak henti menghembuskan SARA. Mungkinkan Rekonsiliasi diciptakan? Tulisan Parduru,  seorang pengamat budaya dan politik menyorotinya buat pembaca Bergelora.com. (Redaksi)

 

Oleh: Parduru

DIKSI rekonsiliasi ini mengangkasa dilangit persada Indonesia, terlebih pada minggu ini. Terjadi setelah sidang para hakim Mahkamah Konstitusi mengetok palu memutus perkara pilpres yang diajukan tim hukum BPN Prabowo Subianto – Sandiago Uno dengan menetapkan semua dalil gugatannya terhadap KPU tidak terbukti. Dengan demikian pasangan capres petahana Joko Widodo dengan cawapres Amin Mak’ruf meraih kemenangan dalam pilpres 2019.

Ingatan masih segar melekat dalam relung syaraf kita, hiruk pikuk puluhan ribu hoaks yang terdeteksi. Yang tentu saja anti hoaks  muncul menangkis. Selanjutnya sebagian isu, berkembang saling berbalas bolakbalik. Saling lempar adonan yang kata para pihak 02 dan 01 sekadar bara siasat mengeloni massa koalisinya agar tetap kompak bersatu, untuk mengantisipasi kemungkinan berubah angka-angka KPU, dirasakan masyarakat umum senyatanya kondisi teramat panas seakan  ruangan terbakar penuh karbondioksida.

Ternyata memang ada persangkaan dan oknum makar tertangkap. Diantara berpangkat jendral purnawirawan. Sementara itu majalah Tempo mengekspose keterlibatan Tim Mawar yang berprestasi melenyapkan anak-anak bangsa di tahun 1996 – 1997. Semuanya terkait dengan huru hara tanggal 21 – 22 Mei 2019 lalu, kerumunan itu mendobrak Bawaslu  yang mengusung maunya memaksakan delegitimasi pilpres yang berakibat beberapa orang  tewas.

Peristiwa itu ditengarai upaya makar, sehingga dengan sendirinya di masyarakat menghujam tajam pertanyaan pelik menggelisahkan, siapa dalang utamanya upaya makar itu?

Berikutnya ditengah arus gundah tak terucap  masyarakat ini, berkelebatan diksi rekonsiliasi, artinya melakukan agenda pemulihan hubungan baik dari yang semula saling baku-hantam, dalam ajang demokratik pilpres rangkaian penataan Trias-politika Montesqueie itu.

Kondisi politik yang stabil rukun sungguh teramat sangat dirindukan segenap masyarakat. Warga tahu benar bahwa hanya masyarakat yang hidup stabil dalam kerukunan politik akan dapat merealisasi derap langkah program pembangunan berkelanjutan maju negara dan bangsanya. Bahkan dimungkinkan tingkat pertumbuhan ekonomi fantastik sampai angka 10 %, yang nyata di RRT. Itulah kondisi dirindukan masyarakat, apalagi pada kalangan arus bawah. Kondisi itu, bukan sistim negara RRT.

Warga juga tahu, politik stabilisasi di era berkuasa rezim orba militeris Suharto, hanya demi mengamankan mafia konspirasinya melanggeng korupsi hiper super ekstrim. Ingormasi diungkap Yusuf Kalla, di saat kini berkapasitas memangku jabatan RI-2 belum lewat satu semester lalu di depan umum.

Pun KPK masih memproses kasus BLBI.

Bergandengan dengan kasus Bank Century,  yang membuat sosok menteri Keuangan Susilo Bambang Yudoyono (SBY) yaitu Sri Mulyani mengurai air mata di saat menyampaikan keterangannya di konferensi pers. Begitu pula hutang luar negeri dimainkan rezim Susilo Bambang Yudoyono dengan membangun program mangkrak dan dana mengalir ke rekening pribadi dan kroninya, antara lain beberapa tokohnya sudah dipidana majelis hakim pengadilan korupsi dan mantan menterinya yang sudah selesai terhukum pidana. Keadaan politik stabil di era SBY tersebut demikian adanya, yang juga turut dibeberkan  Yusuf Kalla.

Patut ditegas ulang, bahwa informasi itu bukan diungkap oleh seseorang warga kelas bawah tak terpelajar yang berlepotan omprengan seperti kecebong di air payau. Melainkan oleh Yusuf Kalla, RI-2.

Menteri Pertahanan Ryamizard beberapa minggu lalu mewartakan sinyalir 3% ASN terpapar radikalisme terkait ide khilafah. Di lingkungan pelajar, mahasiswa dan dosen demikian pula. Warta itu bisa ditafsir bias sebagai propaganda agar melemahkan semangat revolusi mental yang memang jalannya tersandung, disamping bisa untuk sinyal mendorong pemerintah agar segera bertindak cepat tanggap melakukan operasi membasmi vektor kuman khalifah dimaksud.

Selayaknya begitulah memahami makna pemulihan merajut kembali hubungan baik kontestan pilpres setelah baku-hantam sepanjang proses pilpres yang sudah usai atau disebut rekonsiliasi, sehubungan untuk postur legislatif dan eksekutif periode kedua Joko Widodo menjabat RI-2, demi terciptakan kehidupan stabilitas politik nasional RI periode kedua Jokowi menjabat RI-1 dengan  kandungan utama pembangunan pemerataan keadilan hak-hak azasi manusia. Tidak berbasis pengertian stabilisasi politik di masa lalu.

Rekonsiliasi bukan sekadar menggabung entitas berbeda. Teh manis dapatkah kohesif berbaur molekulnya dengan solar sekalipun warna mirip seperti terjadinya persatuan dan kesatuan molekul kopi dengan cream yang warna keduanya berbeda? Apalagi makna rekonsiliasi itu juga berkonsekuensi mengeleminasi vektor-vektor penyakit ataupun racun dari lingkungan.

Rekonsiliasi sejati bukan hanya satu ikatan fisik  formal struktural  belaka. Justru syarat utamanya adalah sehati sependirian tunggal mengejar cetak biru gambaran jauh di depan yang sudah terumuskan.

Syarat utama itu tidak dapat direduksi. Salah satunya, yang tadi disebut: pemerataan keadilan hak-hak azasi manusia, antara lain kasus kejahatan atau pelanggaran berat di masa lalu atas hak-hak azasi manusia warga NKRI.

Bersekutu dengan unsur berlainan gestur asalkan dalam satu rancang bangun yang sama, untuk direalisasi tahap demi tahap berkelanjutan, merupakan syarat prima rekonsiliasi.

Sudah pernah kita saksikan pengalaman getir Gus Dur ketika diajak rekonsiliasi oleh Amin Rais yang menjabat ketua MPR saat itu. Justru Amin Rais pula secara gagah kuasa mendongkelnya. Harus terhindar dari siasat julik semacam itu.

Rekonsiliasi juga bermakna menghidupkan   koalisi yang berbeda corak pikirnya dengan saling menghargai satu dengan lainnya. Segala yang wajar organik menyelenggarakan Konstitusi RI biarlah apa adanya, tidak perlu bergabung. Koalisi oposan asal organik mengusung Konstitusi RI, sangat diperlukan. Betapa aneh seorang politikud tokoh PDIP mengatakan dalam Konstitusi RI tidak dikenal adanya oposisi. Dampaknya mengajak gabung semua dalam postur kabinet. Bukankah juga oposisi tidak ada larangan dalam Konstitusi RI itu?

Seyogyanya dua pertiga anggota legislatif tergalang koalisi pemerintah. Selainnya oke saja jadi oposan kritis asal mengusung Konstitusi RI.

Biarkan burung garuda terbang dilingkungan garuda entah besar ataupun kecil dan burung merpati terbang sesamanya.

Hanya burung jahat harus dikerangkeng setidaknya dihalau.

Artikel Terkait

Stay Connected

342FansSuka
1,543PengikutMengikuti
1,120PelangganBerlangganan

Terbaru