Minggu, 19 Oktober 2025

MANTAAAP…! BPJS Semakin Liberal dan Komersil, LMND Tawarkan Solusi

Sekretaris Jenderal Eksekutif Nasional Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi (EN LMND), Muhammad Asrul. (Ist)

JAKARTA- Beberapa hari belakangan ini, rakyat Indonesia dikagetkan dengan rencana kebijakan menteri Keuangan Sri Mulyani untuk menaikan iuran BPJS kesehatan. Iuran BPJS ini rencana akan dinaikan dua kali lipat yang artinya peserta JKN kelas I yang hanya membayar Rp.80.000 per bulan harus membayar sebesar Rp.160.000, untuk Peserta JKN Kelas II yang tadinya Rp.51.000 membayar menjadi Rp. 110.000, sementara untuk peserta JKN mandiri kelas III yang tadinya membayar sebesar Rp.25.000 harus menaikkan iuran sebesar Rp. 42.000 per bulan.

Kenaikan biaya kesehatan di tengah-tengah ekonomi rakyat belum stabil semakin menegaskan pemerintahan Jokowi-JK dalam sektor kesehatan belum sama sekali menunjukkan keberpihakannya kepada rakyat dan menjalankan amanah konstitusi dan nawacita, malah membuat sektor kesehatan semakin liberal dan komersil.

Demikian diungkapkan Sekretaris Jenderal Eksekutif Nasional Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi (EN LMND), Muhammad Asrul Kepada Bergelora.com di Jakarta, Senin (9/9).

Menurut Asrul, hal ini bisa dilihat dari beberapa faktor antara lain, pertama, negara mengurangi peran dan tanggung jawabnya terhadap sektor kesehatan dan menyerahkan sepenuhnya dalam mekanisme pasar untuk mencari profit. Dengan defisit BPJS seharusnya pemerintah mencari jalan keluar lain dan memperbaiki tata kelola BPJS yang tiap tahun defisitnya selalu meningkat. Bukan dengan cara menaikan iuran BPJS.

Kedua, sudah diketahui bersama bahwa UUD 1945 sudah menggariskan besaran dana kesehatan sebesar 5 % dari APBN. Di tahun 2019 anggaran kesehatan sebesar 121,9 Triliun dan untuk kepesertaan BPJS sebesar 20,1 Triliun.

Dari 20,1 Triliun ini ada sekitar 190 juta jiwa rakyat Indonesia sebagai peserta layanan kesehatan. Seharusnya anggaran besar ini bisa mengatasi problem defisit BPJS sebesar 16,5 Triliun di tahun 2019 dan diperkirakan akan terus meningkat ditahun-tahun selanjutnya.

Artinya besaran anggaran yang dikeluarkan di sektor kesehatan belum menunjang perbaikan kualitas kesehatan rakyat. Faktor penunjangnya bisa dilihat dari pembangunan infrastruktur, tenaga medis, alat dan obat-obatan serta penegakan hukum.

Ketiga, proses liberalisasi sektor kesehatan ini bisa kita lihat dari pertumbuhan rumah sakit swasta pada tahun 2012 – 2016 mencapai 34 %, sementara rumah sakit publik hanya 3 %. Kisarannya rumah sakit swasta sebesar 1.804 dan rumah sakit pemerintah jumlah 1.016.

“Sebagai organisasi yang senantiasa mengedepankan kepentingan rakyat kecil, terkait kisruh BPJS ini LMND tidak hanya memaparkan faktor yang kelemahan pemerintah dalam pengelolaan BPJS ini, tetapi kami juga menawarkan beberapa solusi,” jelas Asrul.

Menurutnya solusi yang harus dilakukan pemerintahan seharusnya mengarah pada pertama, mengevaluasi kinerja BPJS dan segera mengaudit secara menyeluruh penggunaan data BPJS serta pembenahan data peserta BPJS.

Kedua, mengembalikan sektor kesehatan sebagai sektor publik di mana negara memiliki peran sentral dan berkewajiban menjamin kualitas kesehatan rakyat serta menghentikan komersialisasi sektor kesehatan yang menjadikan sektor kesehatan sebagai ladang profit yang menguntungkan sebagian orang.

Ketiga, membangun dan memperbanyak Puskesmas dan rumah sakit pemerintah serta mengontrol dan menghentikan pembangunan rumah sakit dan klinik swasta.

Keempat, mencabut UU No. 40 tahun 2004 tentang SJSN dan UU BPJS No.24 tahun 2011 sebagai regulasi neoliberal.

Kelima, mengurangi biaya pendidikan di jurusan kesehatan seperti kedokteran, farmasi, keperawatan, kebidanan yang tiap tahun selalu meningkat tanpa ada kontrol dari pemerintah.

Naik 100%

Sebelumnya Kementerian Keuangan (Kemenkeu) menegaskan, tidak semua iuran Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan Naik 100%. Hanya kelas 1 dan kelas 2 yang naik 100%, sementara kelas 3 naik 65%.

“Itu (kenaikan 100%) hanya berlaku untuk Kelas 1 dan Kelas 2. Untuk kelas 3, tidak sebesar itu. Untuk Kelas 3, usulan kenaikannya adalah dari Rp25,5 ribu menjadi Rp42 ribu, atau naik 65%,” kata Kepala Biro Komunikasi dan Layanan Informasi (Kepala Biro KLI) Kemenkeu Nufransa Wira Sakti dalam siaran persnya di Jakarta, Senin (9/9) siang.

Menurut Nufransa, kenaikan peserta mandiri kelas 3 sebesar Rp42 ribu itu sama dengan iuran bagi orang miskin dan tidak mampu yang iurannya dibayar oleh Pemerintah. Bahkan bagi peserta mandiri Kelas 3 yang benar-benar tidak mampu dapat dimasukkan ke dalam Basis Data Terpadu Kementerian Sosial (Kemensos) sehingga berhak untuk masuk Penerima Bantuan Iuran (PBI) yang iurannya dibayarkan oleh pemerintah.

Adapun besaran iuran BPJS Kelas 1 dan 2 yang diusulkan pemerintah akan berlaku mulai Januari 2020 adalah: a. Kelas 1 jadi Rp160.000 per bulan (sebelumnya Rp80 ribu), dan kelas 2 menjadi Rp110 ribu per bulan (sebelumnya Rp51.000).

Kepala Biro Komunikasi dan Layanan Informasi Kemenkeu Nufransa Wira Sakti menegaskan, dalam menaikkan iuran ini, pemerintah mempertimbangkan 3 hal utama yaitu kemampuan peserta dalam membayar iuran (ability to pay), upaya memperbaiki keseluruhan sistem JKN sehingga terjadi efisiensi, serta gotong royong dengan peserta pada segmen lain.

“Pemerintah sangat memperhitungkan agar kenaikan iuran tidak sampai memberatkan masyarakat dengan berlebihan,” jelas Nufransa.

Untuk itu, lanjut Nufransa, jika ada peserta yang merasa benar-benar berat membayar, bisa saja peserta yang bersangkutan melakukan penurunan kelas, misalnya dari semula Kelas 1 menjadi Kelas 2 atau Kelas 3; atau dari Kelas 2 turun ke Kelas 3.

Namun Nufransa memastikan, kenaikan iuran BPJS ini akan diiringi dengan perbaikan sistem JKN (Jaminan Kesehatan Nasional) secara keseluruhan sebagaimana rekomendasi Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), baik terkait kepesertaan dan manajemen iuran, sistem layanan dan manajemen klaim, serta strategic purchasing.

Nufransa juga menyampaikan, bahwa rencana kenaikan iuran ini juga adalah hasil pembahasan bersama oleh unit-unit terkait, seperti Kementerian Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Kemenko PMK), Kementerian Keuangan (Kemenkeu), (Kemenkes), dan Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) yang nantinya akan ditetapkan dengan Peraturan Presiden (Perpres).

Tidak Bayar Iuran

Kepada Bergelora.com dilaporkan, dalam kesempatan itu Kepala Biro Komunikasi dan Layanan Informasi (Kepala Biro KLI) Kemenkeu Nufransa Wira Sakti juga mengklarifikasi alasan pemerintah menaikkan iuran BPJS. Ia menyebutkan,   diantara penyebab utama defisit program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang sudah terjadi sejak awal pelaksanaannya adalah besaran iuran yang underpriced dan adverse selection pada peserta mandiri.

Menurut Nufransa, banyak peserta mandiri yang hanya mendaftar pada saat sakit dan memerlukan layanan kesehatan yang berbiaya mahal, dan setelah sembuh, peserta berhenti membayar iuran atau tidak disiplin membayar iuran.

Pada akhir tahun anggaran 2018, tingkat keaktifan peserta mandiri hanya 53,7 persen. Artinya, 46,3 persen dari peserta mandiri tidak disiplin membayar iuran alias menunggak. Sejak 2016 – 2018, besar tunggakan peserta mandiri ini mencapai sekitar Rp15 triliun.

“Pemerintah menaikkan iuran program Jaminan Kesehatan Nasional dan usulan untuk mendisiplinkan peserta yang menunggak iurannya, khususnya peserta mandiri,” jelas Nufransa.

Sepanjang 2018, total iuran dari peserta mandiri adalah Rp8,9 triliun, namun total klaimnya mencapai Rp27,9 triliun. Dengan kata lain, claim rasio dari peserta mandiri ini mencapai 313 persen. Dengan demikian, seharusnya kenaikan iuran peserta mandiri lebih dari 300%. (Aan Rus)

Artikel Terkait

Stay Connected

342FansSuka
1,543PengikutMengikuti
1,120PelangganBerlangganan

Terbaru