Rabu, 2 Juli 2025

Sihar (2): Penghancuran Sejarah Sastra Indonesia!

JAKARTA- Publik bertanya-tanya, bagaimana mungkin seorang sastrawan bisa diancam pidana hanya karena menulis pendapatnya dimedia sosial. Sastrawan Sihar Ramses Simatupang setahun sudah menjelaskan latar belakang dari polemik antara para sastrawan soal keterlibatan konsultan politik dalam dunia sastra Indonesia modern saat ini.

Dibawah ini lima seri tulisan Sihar Ramses Simatupang yang menceritakan latar belakang pidana pada sastrawan Saut Situmorang. Tulisan ini sudah pernah dimuat di akun facebooknya setahun lalu dan diterima Bergelora.com di Jakarta, Rabu (1/4).

“Kepada Agus Sunyoto, yang kukenal lewat bukunya, dan aku surprise bertemu orangnya di Borobudur Writers & Cultural Festival 2012 (bah, aku masih mahasiswa di Surabaya ketika aku membaca karyanya!), bahkan kukatakan bahwa aku salut dia mampu mengeluarkan prosa liris yang unik dan cantik. Puisi “Kisah Pohon Asam di Tanah Jakarta” hanyalah satu puisi dari sepuluh puisiku, yang aku kirimkan kepada Fatin Hamama lewat email dia – tanpa footnote sehingga Fatin pun menelepon aku lagi. Padahal, ini aku lakukan untuk bermain teknik prosa lirisku dan benar, Fatin menerima tubuh puisi itu! Aku hanya diminta untuk menambahkan saja footnote sekedar bedak di bawah puisi itu. Genaplah sudah, puisi esai benar-benar sama dengan prosa liris dan puisi naratif – minus footnote.

Padahal, sungguh, tubuh puisi yang diagungkan tim 8 (yang sekarang menjadi tim 7 minus pengunduran diri Maman S Mahayana) itu adalah prosa liris, prosa (bangunan imaji yang menghadirkan karakter, penokohan, protagonis dan antagonis) yang dihadirkan dengan teknik puitik – menjadi liris. Itulah persoalannya, puisi-puisi Denny JA, kalau saja dihapus footnotenya tetap adalah prosa liris. Aku bahkan tak pernah menyimak puisi (yang dikatakan puisi esai itu) pada halaman ke tiga dan ke empat karena isinya seperti prosa liris atau pun puisi naratif (puisi yang berkisah, disinilah dua genre prosa liris dan puisi naratif dapat berbenturan) lainnya.

Kawan-kawan, tak ada maksud saya ingin berbicara tentang ini, tapi biarlah persoalan sok serius ini saya utarakan agar pembaca awam atau pun pemula sastra mengetahuinya. Karena itulah yang kita perjuangkan, melahirkan tradisi baru di dalam penciptaan karya sastra. Ini harus kita sibak, karena teknik yang dibuat oleh Denny JA sungguh adalah pola atau teknik gaya lama.

Seolah ini perkara sederhana dan sepele. Tapi tahukah bahwa kita telah menghancurkan sejarah Rendra, Linus, Agus Sunyoto, Sindhunata dalam puisinya? Sejarah inilah yang ditiadakan oleh buku “33 TSPB”, jadi kalau kita bicara pengaruh, ya tentunya pengaruh genre seperti inilah yang kita bincangkan (juga pengaruh perjuangan, visi penyair atau pun pendobrakan bentuk teknik sastra tertentu seperti Amir Hamzah yang lebih membebaskan tradisi ketatnya pantun, Chairil Anwar yang memulai tradisi bentuk puisi modern, Sutardji Calzoum Bachri yang membentuk puisi mantera dan membebaskan kata dari makna). Ada juga puisi mbeling Remy Silado, lengkap dengan penataan tipografi atau puisi rupa karya Gendut Riyanto.

Jadi, definisi pengaruh itu bukan pengaruh karena bikin ramai dengan membiayai diam-diam perbukuan, event lomba di dunia sastra dan membuat buku “33 TSPB” yang bermasalah di arus sejarah sastra Indonesia juga buku-buku puisi yang mengagetkan para penyair karena tujuannya membuat publik sastra terhenyak!” (Web Warouw)

Artikel Terkait

Stay Connected

342FansSuka
1,543PengikutMengikuti
1,120PelangganBerlangganan

Terbaru