Minggu, 18 Mei 2025

Sihar (3): Sastra Salah Kaprah

JAKARTA- Publik bertanya-tanya, bagaimana mungkin seorang sastrawan bisa diancam pidana hanya karena menulis pendapatnya dimedia sosial. Sastrawan Sihar Ramses Simatupang setahun sudah menjelaskan latar belakang dari polemik antara para sastrawan soal keterlibatan konsultan politik dalam dunia sastra Indonesia modern saat ini.

Dibawah ini lima seri tulisan Sihar Ramses Simatupang yang menceritakan latar belakang pidana pada sastrawan Saut Situmorang. Tulisan ini sudah pernah dimuat di akun facebooknya setahun lalu dan diterima Bergelora.com di Jakarta, Rabu (1/4).

”Betapa mereka – bahkan kita saat ini – terus bergumul, memeluk, mencabik, mengelus kata, tema, teknik pengucapan, pemilihan kata baru, dalam puisi, bahkan cerpen dan novel kita. Membaca banyak penyair lain sejak kita muda untuk kemudian menegakkan gaya kita di atas sikap tematik, estetik dan visi sendiri.

Demikianlah saya merancang puisi saya “Semadi Akar Angin” yang membuat pendekatan alam pepohonan sebagai diksi di dalam puisi-puisi saya belakangan ini. Dunia tanaman, pohon, yang belakangan saya geluti, adalah bagian dari peradaban kebudayaan di setiap lokal wilayah di dunia, seperti pohon bodi (ficus religiosa) dikenal sebagai tempat Sang Buddha Gautama beroleh pencerahan, beringin (ficus benyamina) dikenal dalam agama-agama lokal Indonesia seperti Kejawen dan Parmalim, waru sebagai pohon yang magis, hingga pohon baobab yang dekat dengan kebudayaan masyarakat Afrika. Bila saya mengambil diksi itu, maka saya beresiko akan berhadapan dengan sastrawan seperti F. Rahardi yang pernah memimpin majalah Trubus, penyair dan pencinta lingkungan Eka Budianta dan mantan pebonsai Kurniawan Junaedhi. Tapi itu kan hanya dunia pohonnya, kalau diksinya saya kan beda dengan mereka. Saya menjadikan pohon sebagai simbol kehidupan manusia, masyarakat dan simbol hidup saya sendiri sebagai penyair. Saya tak mencantumkan huruf besar di dalam puisi-puisi saya, kecuali untuk Tuhan atau Nya (kata ganti ketiga untuk Tuhan). Saya juga menggunakan metafora berlapis – itu saya ungkapkan pada penyair Sutan Iwan Soekri Munaf pada tahun 2003 – sebelas tahun yang silam. Itu tetap beda dengan mereka yang juga kuhormati tadi.

Pergulatan teknik puisi, diksi, metafora, visi, tema dan lain sebagainya itulah yang begitu berat dalam perjuangan panjang seorang penyair. Seorang Soetardji Calzoun Bachri bertahun silam bahkan pernah mengatakan kepada saya pribadi bahwa dia membela puisinya dengan kredo, dengan pemikiran, bahkan dengan esai yang terus dia perjuangkan.

Mengingat semua perbendaharaan dan pandanganku tadi, malam itu keluarlah emosi – lebih tepatnya sedih dan luka – kendati saya sadari emosi saya kemarin itu subyektif, kawan. Tapi aku tak akan menjilat ludahku di publik kendati aku katakan sejujurnya ini adalah HONOR, benar, tepat, layak. Kalau aku tak membuat pernyataan kepada publik, yang kemudian dikutip beberapa media tu, sudah kuikuti pendapat Chavchay! Sebab, dengan kepala dingin dan nalar pun kita akan tetap tahu bahwa pemasukan nama Denny JA di buku “33 TSPB” lah yang sungguh perbuatan salah kaprah dan tak mengerti sejarah sastra Indonesia. Bukan buku puisi, prosa liris dan puisi naratif berisi footnote itu!

Buku salah kaprah “33 TSPB” itulah yang harus dijatuhkan kedudukannya dalam dunia perbukuan sastra Indonesia. Karya para penyair – di buku 23 penyair – juga puluhan penyair lain bahkan di penyair muda dalam acara lomba puisi esai – tak bisa jadi alat untuk melegitimasi pengaruh sastra oleh tim 8 (minus Maman S Mahayana). Hore, hore, kata penyair dan jurnalis Mustafa Ismail, memang begitulah kenyataannya. Semua kegiatan yang dibiayai Denny JA – bila dia ikhlas awalnya – sontak seketika menjadi sia-sia dan menjadi “hore, hore” begitu dia lewat tim 8 (minus Maman S. Mahayana) tersertakan namanya disana dengan semua masalah teknis dan genre perpuisian seperti yang saya jabarkan di atas,” (Web Warouw)

Artikel Terkait

Stay Connected

342FansSuka
1,543PengikutMengikuti
1,120PelangganBerlangganan

Terbaru