Selasa, 24 Juni 2025

Sihar (4) : Pembohongan Memuji Diri

JAKARTA- Publik bertanya-tanya, bagaimana mungkin seorang sastrawan bisa diancam pidana hanya karena menulis pendapatnya dimedia sosial. Sastrawan Sihar Ramses Simatupang setahun sudah menjelaskan latar belakang dari polemik antara para sastrawan soal keterlibatan konsultan politik dalam dunia sastra Indonesia modern saat ini.

 

Dibawah ini lima seri tulisan Sihar Ramses Simatupang yang menceritakan latar belakang pidana pada sastrawan Saut Situmorang. Tulisan ini sudah pernah dimuat di akun facebooknya setahun lalu dan diterima Bergelora.com di Jakarta, Rabu (1/4).

“Orang kaya dapat berpuisi dengan cara yang lebih ideal. Sebagaimana saya mengenal penyair Slamet Widodo yang pengusaha itu, namun sejak bertahun silam dia bekerja dengan jerih-payah berkarya terus tanpa kenal lelah, seharusnya Denny JA konsultasi pada penyair, Bapak Slamet – demikian saya menyapa – yang saya anggap sahabat atau mas atau bapak karena beliau lebih tua dari saya. Banyak kawan mendukung dia, tetap tak merasa dipecundangi dan berteman dengan bahagia sampai sekarang. Karya dia, mulanya, bagi saya berada di bawah bayang gaya puisi mendiang penyair Rendra, terkadang seperti gaya puisi penyair yang puisinya kocak, Joko Pinurbo. Tapi saya yakin, dan akan terlihat gejalanya, dia akan memiliki cita rasa estetik sendiri atas puisinya. Pengacara Todung Mulya Lubis saja pernah mengirim karyanya di media massa cetak dan dimuat, bahkan penyair yang terhormat ini pernah melakukan orasi budaya di Graha Bakti Budaya, Taman Ismail Marzuki, Jakarta.

Ya, semua penyair pada hakekatnya berusaha untuk mencari bentuk pada puisinya. Betapa semua akan berbeda bila itu juga dilakukan oleh Denny JA, menitinya dengan semangat berkarya yang tulis dan ikhlas. Bersabar, terus berkarya, berkeringat, hadir dalam diskusi sastra, banyak membaca sastra, mengolah diksi, mencari kata baru, tentu suatu saat kelak, akan ada hasilnya. Ajak sastrawan dan mahasiswa mengkritik puisi Anda, misalnya apa pilihan kataku sangat biasa, tidak memiliki simbol, metafora, gaya bahasa yang kuat, apa membosankan karena dalam pengisahan di balik puisinya tak banyak tokoh dihadirkan. Tapi mencari pembohong yang memuji puisi kita itu lebih mudah lho daripada mencari orang jujur yang mengkritik karya puisi kita.

Tapi, kalau pun karya kita, anak imajinasi kita ternyata tak lekat di sejarah sastra Indonesia, ya kita gagal, itu takdir namanya. Tak mengapa, tujuan bersastra bukan untuk mencari nama dan menempatkan kita dan karya kita di dalam sejarah sastra! Tapi berbagi dunia kata, menawarkan kata baru di jagat publik yang suntuk dengan bahasa konvensional dan bahasa jargon selama ini. Lagi pula, cukup dengan berpuisi kita sudah membela rakyat, membela negara kita, membela kaum miskin, membela orang tertindas, kaum papa, itu saja sudah hebat kok. Yang penting kuncinya, cobalah bersabar, dan percayailah takdir. Para tokoh pendahulu kita pasti tak memikirkan nama dan karyanya dalam sejarah sastra Indonesia. (Web Warouw)

Artikel Terkait

Stay Connected

342FansSuka
1,543PengikutMengikuti
1,120PelangganBerlangganan

Terbaru