JAKARTA- Publik bertanya-tanya, bagaimana mungkin seorang sastrawan bisa diancam pidana hanya karena menulis pendapatnya dimedia sosial. Sastrawan Sihar Ramses Simatupang setahun sudah menjelaskan latar belakang dari polemik antara para sastrawan soal keterlibatan konsultan politik dalam dunia sastra Indonesia modern saat ini.
Dibawah ini lima seri tulisan Sihar Ramses Simatupang yang menceritakan latar belakang pidana pada sastrawan Saut Situmorang. Tulisan ini sudah pernah dimuat di akun facebooknya setahun lalu dan diterima Bergelora.com di Jakarta, Rabu (1/4).
“Tapi, lihatlah hasilnya kalau Anda tak sabar. Akibat buku “33 TSPB” maka, para penyair yang saya sebutkan di atas bisa tertutupi jasa-jasanya di dunia sastra atau pun perpuisian di Indonesia, setidaknya ketika dia membaca buku “33 TSPB” itu. Bukan cuma pelajar SD, SMP, SMA, bahkan mahasiswa pun dapat tersesat oleh isi buku itu. Apalagi bila buku itu masuk dalam kurikulum!
Saran saya, tariklah buku “33 TSPB” itu. Kalau sudah terlanjur beredar, buatlah pernyataan bersama tim 7 lainnya di hadapan publik untuk menganggap beberapa halaman disana tak pernah ada. Untuk buku yang masih di toko buku, tariklah buku itu lebih dulu lalu direvisi. Atau ada saran lain dari saya, hadirkan “tiga puluh tiga sastrawan berpengaruh” lainnya, selama lima puluh edisi – mirip buku Tonggak: Antologi Puisi Indonesia Modern (empat volume) karya Linus Suryadi yang sahih itu. Jadi ada seribu enam ratus lima puluh penyair setidaknya sampai generasi penyair yang lamanya berpuisi sama dengan Anda. Antara sastrawan pendahulu dengan sastrawan seumur Anda berkarya – dan para sastrawan pemula, di pinggiran daerah dan di luar negeri pun dihadirkan – semua dibuat bervariasi pada tiap buku. Jadi edisi kedua “33 TSPB II” sampai edisi ke lima puluh edisi, tim kuratornya harus berganti dan setiap tim isinya 8 kurator. Total, ada 64 kurator selama 50 edisi buku itu diterbitkan. Kalau dikurangi, 40 atau 30 edisi buku pun bolehlah…
Jadi, generasi muda memiliki banyak nama bandingan untuk sastra yang memiliki beragam kekuatan diksi, tipologi, madzab, kredo, visi dan lain-lain. Kita pun tak perlu merasa janggal lagi, karena pola seleksinya bervariasi – bukannya acak dan arbitrer seperti di buku “33 TSPB” ini. Dipilah, ditimbang, jangan ada satu pun karya para penyair itu lolos dalam sejarah sastra di 50 buku itu.
Menjadi penyair hak setiap orang. Para penyair pun berbeda profesinya, ada yang dosen, pengacara, pengusaha, kerja survei, karyawan, supir, tukang tanaman, wartawan. Tapi, janganlah mengubah sejarah dan tak menghargai perjuangan para penyair di sepanjang masa kesusasteraan Indonesia. Itulah masalah paling besar, Singkatnya, saran saya, usahakanlah penarikan untuk TSPB itu. Saya tak pernah bertemu bahkan tak pernah berdialog lewat telepon, email dan media sosial sekali pun kecuali lewat Fatin Hamama. Tapi, betapa indahnya dunia kesenian, kesusasteraan, bila perkawanan dibalas dengan perkawanan, terbuka, sehingga sang kawan yang baru Anda kenal (dan Anda yang baru dikenal oleh kawan baru Anda) tak sedih perasaannya, lunglai, kecewa, marah, merasa dibohongi dan hatinya pun tersayat. Begitu saja Bang Denny JA, Anda lebih tua dari saya, kalau saja Anda melakukan cara sebagai penyair atau penulis puisi lainnya, tentu tak begini bentuk komunikasi kita.
Yang terpenting, aku berharap buku itu segera dicabut agar persoalan ini cepat selesai karena begitu banyak masalah dalam kehidupan masyarakat kita, dari bencana alam hingga kekerasan yang terjadi beberapa waktu yang lalu karena miskinnya pemikiran dan wacana – semua dapat kita bantu dan sikapi masing-masing dengan pikiran, tindakan dan tulisan kita. Salam, Dinihari, 8 Februari 2014 Sihar Ramses Simatupang. (Web Warouw)