Oleh: Lilik Dian Ekasari*
Hari Bidan Sedunia yang diperingati setiap 5 Mei oleh Bidan di seluruh dunia telah memberikan semangat kehadiran profesi pekerjaan mulia di tengah-tengah warga masyarakat dunia. Begitu juga di Indonesia. Wajah buram nasib bidan desa PTT (Pusat), ternyata mengandung problem sistematis.
Forum Bidan Pegawai Tidak Tetap (PTT) Indonesia saat ini tengah berjuang untuk penghapusan diskriminasi dan intimidasi, terutama pada tuntutan kepastian kerja sebagai pegawai tetap negara atau Pegawai Negeri Sipil (PNS). Permasalahan ini dipicu sejak dikeluarkannya aturan Permenkes No. 7 Tahun 2013, tentang Pedoman Pengangkatan dan Penempatan Dokter dan Bidan Pegawai Tidak Tetap.
Pembatasan masa kerja hingga sembilan tahun, yang tidak mendapatkan kepastian kerja untuk selanjutnya memperoleh hak status sebagai Pegawai Negeri. Atau saat ini juga diperkenalkan dengan istilah Aparatur Sipil Negara (ASN).
Forum Bidan PTT Indonesia yang memiliki jaringan nasional yang saat ini berjuang untuk lebih dari 42 ribu orang Bidan desa PTT (Pusat) di seluruh pelosok tanah air, dan saat ini telah berhasil mengumpulkan data rill sebanyak 13 ribu orang bidan desa PTT (Pusat).
Tanpa Kepastian Kerja
Tiga hal persoalan yang dihadapi bidan desa PTT (Pusat) antara lain pertama, sebagai pelaksana kesehatan yang menjalankan program pemerintah, semakin terasa ironi, kalau tidak mendapatkan jaminan kepastian kerja dari negara. Status Pegawai Tidak Tetap (PTT) merupakan problem yang terus menimbulkan kekhawatiran terhadap Bidan Desa yang selama ini menjalankan Tupoksi yang yang berkaitan dengan masalah kesehatan, dan sudah memiliki masa pengabdian kerja selama sembilan tahun.
Perbedaan status kepegawaian tersebut sungguh memprihatinkan karena tak ada jenjang karir, peningkatan gaji/upah, THR, apalagi Hak Pensiun. Banyak Bidan Desa PTT yang menjadi anggota Forum Bidan PTT Indonesia yang pendidikannya masih berjenjang Diploma I. Kenyataan belakangan ini, kesempatan untuk meningkatkan jenjang pendidikan tersebut tidak banyak mendapatkan dukungan. Malah sebaliknya, Dinas Kesehatan di daerah tempat Bidan Desa aktif bertugas memutuskan hubungan kerja, atas kondisi tersebut.
Kedua, kesehatan dan hak dasar perempuan yang seharusnya dilindungi berupa kesehatan reproduksi, layanan ibu dan anak serta kesejahteraan yang memadai untuk Bidan Desanya selama ini. Program penurunan tingkat Angka Kematian Ibu (AKI) dan Angka Kematian Bayi (AKB) misalnya, merupakan kendala yang tidak mudah. Bidan Desa mesti bermukim di tengah-tengah Desa, yang saat ini dibagi menjadi tiga kriteria : Desa Biasa, Desa Terpenci, dan Desa Sangat Terpencil. Medan kerja yang sangat berat, bukan saja harus menyelamatkan setiap pasien yang ditangani. Baru saja, serorang anggota yang sedang hamil di pedalaman Kalimantan mengalami kecelakaan. Di perjalanan, ambulans yang digunakan sempat terperosok akibat jalur sulit yang dilalui. Singkat cerita, anggota kami, harus mengalami keguguran tersebab insiden yang menimpa pada saat bertugas/menjalankan dinasnya. Itu baru resiko pekerjaan, tragis di masa kehamilan.
Hak Cuti
Dalam aturan PERMENKES No. 7/2013, disebutkan pada pasal 14 ayat 1 e, bidan desa hanya memperoleh hak cuti bersalin selama 40 (empat puluh) hari kalender kerja. Hal ini tidak sesuai dengan hak cuti bersalin pada aturan ketenagakerjaan yang berlaku umum di Indonesia (UUK No. 13/2003). Bahkan pada kenyataannya, baru dua minggu cuti, sudah harus kembali bertugas melaksanakan tupoksi sehari-hari. Karena dituntut oleh keadaan.
Ketiga, sebagai bagian integral pelaksana setiap program kesehatan Pemerintah, bidan desa bertugas menjaga AKI dan AKB yang dijadikan indikator signifikan derajat kesehatan nasional, di mata dunia. Entah bagaiaman AKI dan AKB dapat dijaga, tanpa keberadaan bidan-bidan desa dimasa depan. Negara jelas telah melakukan pengabaian yang perlu dikoreksi.
Rakyat di desa-desa hampir bisa dipastikan akan kehilangan bidan desa, jika upaya menyelamatkan ibu melahirkan, tak berbarengan dengan upaya penyelamatan terhadap bidan desa PTT. Program layanan pemerintah yang dikerjakan selama ini, dan belumlah mencapai harapan optimal secara keseluruhan di bidang kesehatan berpotensi terjun bebas, akibat permasalahan strategis ini tidak sesegera direspon dalam waktu dekat.
Di tahun 2015 ini, bidan desa PTT telah memasuki masa kerja sembilan tahun, dan sampai saat ini belumlah jelas nasibnya. Oleh karena itu, pada momentum Hari Bidan Sedunia pada tanggal 5 Mei 2015 hari ini, permasalahan yang kami hadapi telah sampai dan diterima di dua lembaga kepresidenan yaitu Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres), dan Kantor Staf Presiden (KSP), yang berjanji akan memberikan solusi atas permasalahan yang kami hadapi, dengan mengoordinasikan Kementerian Kesehatan, Kementrian PAN & RB, Kementrian Keuangan, dan Badan Kepegawaian Negara (BKN). Upaya ini diharapkan mampu secara kongkrit mengubah nasib bidan desa PTT (Pusat) memperoleh kepastian kerja sebagai Pegawai Tetap Negara.
*Penulis adalah Ketua Umum Forum Bidan Desa PTT (Pusat) Indonesia