JAKARTA- Satgas (Satuan Tugas) Anti Korusi yang digagas oleh KPK, Polri dan Kejaksaan belakangan ini berpotensi menjadi alat kompromis dan memperparah kekacauan tatanegara. Hal ini disampaikan oleh praktisi hukum, Ahmad Suryono, SH, MH. kepada Bergelora.com di Jakarta, Selasa (5/5).
“Ide dasar Satgas Anti Korupsi adalah untuk melakukan koordinasi, kerjasama dan saling melengkapi dalam pemberantasan korupsi antara KPK, Polri dan Kejaksaan. Namun sesungguhnya yang lebih nampak malah kebingungan ketatanegaraan yang berpotensi menjadi kekacauan ketatanegaraan,” ujarnya.
Ia menjelaskan bahwa dalam, Pasal 6 Undang-undang Nomor 30/2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi menyebutkan dengan gamblang bahwa 2 dari 5 tugas KPK adalah melakukan koordinasi dan supervisi.
“Tugas koordinasi. Dan supervisi membuat KPK sudah memiliki kewenangan kuratif ketika pemberantasan korupsi di Polri dan Kejaksaan mengalami masalah,” ujarnya.
Ia mengingatkan harus mencermati alas hukum dibentuknya Satgas Anti Korupsi. Pengalaman Satgas Mafia Hukum yang dibentuk oleh Keppres, rawan menimbulkan konflik horizontal dan vertikal dalam hierarkhi perundang-undangan.
“Besar kemungkinan Satgas Anti Korupsi akan deadlock dan rawan gugatan hukum dalam bentuk uji materi maupun gugatan PTUN,” ujarnya.
Secara filosofis juga “anggota” Satgas Anti Korupsi juga akan sangat berbeda. Polri dan Kejaksaan memiliki visi kelembagaan yang berpusat pada Presiden, sedangkan KPK terlahir independen.
“Bahkan misi utama KPK adalah memberantas korupsi yang melibatkan aparat penegak hukum. Dengan kata lain, KPK adalah malaikat pencabut nyawa bagi oknum penegak hukum yang menyelewengkan hukuman. Jangan menurunkan kapasitas KPK sebatas lembaga koordinasi,” ujarnya.
Menurutnya yang akan terjadi adalah Satgas Anti Korupsi bukan akan menjadi pemberantas korupsi, tetapi justru menjadi lembaga “kompromi dan mengamankan” potensi korupsi di masing-masing institusi.
“Ingat, KPK oleh undang-undang justru memiliki kewenangan Supervisi yang dapat “mengkoreksi” pekerjaan Polri dan Kejaksaan, kapanpun KPK mau,” tegasnya.
Ia mengingatkan bahwa ada yang tidak beres dalam sistem ketatanegaraan Indonesia saat ini. Koordinasi penegakan hukum sama sekali tidak berjalan dan berjalan tanpa kontrol yang jelas.
Sebelumnya, Pelaksana Tugas (Plt) Pimpinan KPK Johan Budi menjelaskan bawah Satgas Anti Korupsi bersifat situasional. Satgas dibentuk untuk satu perkara tertentu. Ketika perkara selesai, satu tim satgas akan dibubarkan.
“Tergantung nanti perkaranya ditangani siapa. Jadi misalkan salah satu penegak hukum mendapatkan laporan dari masyarakat mengenai kasus korupsi, jika lembaga penegak hukum itu menemui kendala, maka satgas gabungan bisa menjadi jalan keluar,” jelasnya.
Ia menjelaskan bahwa Surat Perintah Dimulainya Penyidikan (Sprindik) tetap dikeluarkan oleh lembaga terkait. Namun penanganan perkara selanjutnya, akan mendapatkan bantuan dari dua lembaga penegak hukum lain dalam forum satgas bersama tersebut.
Sebelumnya, Jaksa Agung Prasetyo menjelaskan bahwa satgas bersama ini dibentuk agar tiga lembaga penegak hukum bisa saling mengisi.
“Seringkali dalam satu kasus itu, KPK punya keleluasaan untuk bertindak karena kewenangannya lebih dari jaksa dan polisi,” ujar Jaksa Agung Prasetyo kepada pers, Senin (4/5). (Dian Dharma Tungga)