Oleh: Petrus Harjanto*
Jarum jam sudah menunjuk Pukul 16.00, berarti sudah empat jam aku berbaring di tempat tidur. Setiap pergantian menit rasanya lama sekali. Setiap perpindahan jarum jam mataku selalu mengikutinya. Harapanku, lima jam cepat berlalu. Yang terjadi justru waktu lambat sekali beranjak.
Selain jenuh, badan rasanya juga tidak nyaman. Tak ada pergerakan berarti dari tubuhku selama empat jam ini. Posisi tidur dengan bagian kepala lebih tinggi. Hanya kaki dan tanganku yang dapat digerakan, itupun terbatas sekali. Sementara tubuh lain tetap terdiam. Tangan sesekali mengambil minum yang terletak di sebelah tempat tidurku. Seteguk saja sekali minum. Tidak boleh terlalu banyak minum. Cukup bila sudah membasahi tenggorokan dan menyamankan bibir yang kering.
Tiba-tiba kurasakan ada perubahan dalam tubuhku. Awalnya terasa seperti mau terkena flu. Pegal dan nyeri di otot dan persendian. Berlanjut , serasa udara semakin dingin menerpaku.
“Suster minta tambahan selimut. Saya kedinginan,” pintaku kepada suster yang kebetulan masuk ke ruangan tempat dimana aku sedang menjalani proses cuci darah.
Suster itu memberi aku selimut tebal berwarna coklat. Ini adalah selimut yang kedua menutupi tubuhku. Kuharap ini akan menghangatkan tubuhku.
Tetapi tidak, pelan tapi pasti tubuhku semakin kedinginan. Aku tidak pernah merasakan kedinginan seperti ini. Tubuhku berusaha sekuat tenaga menahan dingin yang menusuk seluruh tubuh. Itu hanya membuat gigiku beradu dan mengeluarkan bunyi tek tek tek. Bukan hanya tubuh yang bergetar tapi tempat tidurku mulai ikut bergetar pula.
Panik mulai melandaku. Aku tengok kiri kanan, rupanya para pasien yang lain sedang tertidur. Aku belum kenal, membuat semakin segan meminta bantuan mereka.
Karena tak kuat menahan menggigil aku berteriak.
“Suster aku kedinginan,” teriakku dengan keras sambil menahan kesakitan.
Tak berapa lama Suster yang belum kuketahui namanya itu memberikan aku suntikan.
“Pak Hariyanto dexamethason dan deladryl nya sudah masuk ya. Sebentar lagi menggigilnya berlalu,” ujar suster berkulit putih itu.
Siksaan itu belum beranjak pergi. Tenagaku pun habis. Dingin itu sudah tak mampu kutahan. Dingin menguasai sepenuhnya tubuhku. Rasanya aku tidur dibalok es. Hampir setengah jam tubuhku dibuat seperti ini.
Obat mulai bekerja, Dingin yang menyiksa berangsur hilang pelan-pelan. Lambat laut justru suhu badanku meningkat. Setelah mencapai puncaknya, suhu tubuhku turun pelan-pelan. Malahan, keringat mulai mengucur deras dari tubuhku. Senyumku mulai muncul.
“Aku sudah terbebas,” teriak ku dengan pelan takut mengganggu pasien di sebelahku.
Kutanya ke suster kenapa aku mengalami kedinginan yang maha dasyat.
“Double lumen bapak mengalami persoalan. Mungkin ada yang terinfeksi. Tapi tidak masalah, banyak pasien cuci darah yang mengalaminya,” ujar suster itu agar aku lebih tenang.
Yang dimaksud suster adalah kateter double lumen, semacam alat yang terbuat dari bahan plastic PVC, mempunyai 2 cabang, selang merah (arteri) untuk keluarnya darah dari tubuh ke mesin dan selang biru (vena) untuk masuknya darah dari mesin ke tubuh. Alat itu terpasang di leher kananku. Sekitar 20 cm selang keteter itu masuk ke pembuluh darahku. Fungsinya, agar mudah darahku keluar dan masuk saat cuci darah.
Keceriaan Yang Menginspirasi
Cuci darah telah selesai. Rasanya malas beranjak dari tempat tidur. Lemas, tak bertenaga. Kepalapun pusing. Rasanya seperti habis donor darah. Ada sesuatu yang hilang dalam tubuhku.
Aku belum berani pulang sendirian. Setelah membayar ke bagian administrasi, kusandarkan tubuhku ke kursi di ruang tunggu. Ternyata banyak pasien duduk di tempat itu.
“Pak jangan langsung pulang. Kalau masih pusing dan lemes duduk dulu. Tunggu kalau sudah membaik,” sapa seorang Ibu kepadaku.
Rupanya ibu ini melihat kondisiku yang mengalami kepayahan. Si Ibu itu sangat ramah. Aku baru berjumpanya sekarang. Hari ini memang pertama kali aku cuci darah di sini.
Sebagai pasien baru aku mengangguk tanda mengiyakan nasehatnya.
Kuperhatikan Ibu ini sangat kurus sekali. Tak ada tumpukan daging di tubuhnya. Bahkan lebih mirip tubuh yang terbungkus kulit. Wajahnya. cekung, terlihat lebih tua dari usia sebenarnya.
Tapi kalau berbicara sangat bersemangat. Tidak hanya aku yan disapanya. Kiri kanan diajaknya bicara.
Yang diajak bicara olehnya juga responsif. Pembicaraan mengalir lancar. Sesekali mereka tertawa keras karena topik yang mereka bicarakan lucu.
“Kenapa kelihatan loyo pak? Drop ya? Sudah lumrah pasien cuci darah drop. Yang penting jangan dipaksakan pulang. Nanti ada apa-apa di jalan,” ujar bapak yang duduk di kursi roda.
“Saya menggigil Pak saat HD (hemodialisa). Sekarang pusing dan lemas. Buat berdiri saja rasanya tak kuat,’ jawabku kepada bapak yang belum aku kenal itu.
Seorang bapak lagi yang masih terlihat gagah memberitahu bahwa pasien yang menggigil saat cuci darah berlangsung karena ada gangguan di double lumennya. Katanya, bisa juga karena mesinnya tidak bersih.
“Tak ada yang perlu dikuatirkan pak. Banyak yang ngalami. Kita ini harus siap menghadapi kejadian semacam ini. Berangkat sehat, pulang drop itu sudah biasa,” katanya seakan ingin menenangkan diriku.
Mereka yang duduk-duduk itu ternyata memang sengaja tidak pulang dulu,. Mereka menungggu kondisi tubuh membaik. Untuk mengisi waktu mereka bercanda. Tergambar di wajah mereka kegembiraan dan keceriaan. Tak tergambar wajah para pasien cuci darah yang sedang mengalami tekanan atau stres.
Ini pertama kali aku berinteraksi langsung dengan pasien cuci darah. Cuci darah pertama hanya dua jam, tak sempat berkomunikasi dengan lainnya. Bahkan saat cuci darah kedua satu ruangan hanya aku seorang, yang lainnya sudah pulang. Saat itu aku melakukan cuci darah pada malam hari. Tempat cuci darahnya tidak beroperasi di malam hari. Saat itu aku meminta cito karena harus cuci darah saat itu juga.
Atmosfir kecerian yang mereka ciptakan sungguh berpengaruh kepadaku. Seketika itu juga aku disadarkan bahwa cuci darah bukan segalanya berakhir. Orang-orang tua ini lepas tawanya. Hidup seakan tiada beban.
“Jalani saja pak. Tak perlu kita serius memikirkan penyakit kita. Entar juga terbiasa. Pasrah saja sama yang di Atas. Enak kita menjalaninya,” ujar ibu yang kurus itu seakan tahu apa yang sedang aku pikirkan.
Mereka adalah orang-orang biasa saja. Mereka bukan dokter. Mereka juga bukan pendeta atau pengkotbah. Juga bukan Ustadz yang biasanya punya cara-cara jitu untuk mempersuasi orang.
Mereka adalah orang-orang yang senasif denganku Sikap mereka yang jujur, tulus, dan hangat langsung menghinoptikus seketika itu juga. Merelah yang mampu menginspirasiku agar tegar dan optimis menjalani hidup sebagai pasien cuci darah.
Hari-hari mendatang aku akan berjumpa lagi dengan mereka ini. Sebuah kebersamaan entah sampai kapan. Yang jelas seminggu dua kali. Lima jam akan kuhabiskan waktu bersama mereka di tempat cuci darah.
Sebuah kebersamaan yang baru akan kujalani. Bersama jiwa-jiwa yang hidupnya tergantung oleh mesin cuci darah.
*Penulis adalah Sekretaris Jendaral Komunitas Pasien Cuci Darah Indonesia (KPCDI)