BLITAR- Modal hanya lapak ala kadarnya saja. Di atasnya beragam sayur mayur segar digelar di pinggir jalan pasar. Kanan dan kiri demikian juga, aneka barang dagangan ditata rapi, beraneka kebutuhan dapur.
Gelak tawa berderai di tengah rintik hujan yang turun sejak semalaman. Untung saja belum, hujan sudah mengguyur lapak pedagang pasar. Tawa berlanjut, para pedagang tak mengeluh rejeki dan untung yang hilang pagi itu.
Kehidupan dan denyut perekonomian selalu hidup di pasar tradisional di nusantara. Pedagang kecil tetap optimis ada rejeki dari pasar. Berapapun nilainya. Mereka adalah penggerak perekonomian di masa sulit akibat adanya dampak bencana dari masa ke masa.
Kisah pedagang yang paling terkenang adalah semangat seorang lansia, yang hanya bermodal ala kadarnya menunggu dagangan di pasar.
Lansia ini mengambil dagangan sayuran dari pedagang yang datang, barang dagangan digelar di lapak miliknya. Itu dilakukan tiap hari, sejak dinihari ketika sayur mayur dari petani masuk pasar.
Begitu matahari mulai menghangat sinarnya, ya sekira pukul 07.30 baru dibayar seluruh dagangan sayur yang laku. Sisanya ada yang dibawa ke rumah atau dikembalikan ke pedagang. Ringan saja, tak ada timbunan sayuran yang tersisa banyak kala lansia ini pulang. Nama lansia ini sebut saja Mbah Waras.
“Alhamdulillah, selalu ada rejeki di pasar. Asal sabar menanti dan gelem obah, rejeki teko, ” begitu kisah Mbah Waras.
Lain lagi kisah Maesaroh, lansia yang hanya bisa berdagang pakaian bekas di pasar tradisional. Ia sering harus berhadapan dengan petugas ketertiban pasar. Namun tak membuatnya surut dan patah semangat.
“Simbah kih ning omah ae. Ben putu ne kae sing golek duit. Ning kene ya ra pas dodolan e,” tegur petugas ketertiban.
Mbah Maesaroh jelas menolak untuk berpangku tangan hanya duduk santai di rumah.
Berjualan adalah jalan hidupnya untuk bisa memperoleh rejeki halal, berapapun nilainya. Petugas ketertiban tak kuasa juga meminta lansia untuk segera beranjak pergi dari lapak.
Tak mungkin memindahkan lapak lansia dengan tegas. Meski simbah lansia melanggar aturan ketertiban pasar. Di akhir obrolan teguran biasanya pecah tawa berderai. Ada saja pemicunya.
Hidup bahagia karena bekerja adalah prinsip dasar Mbah Maesaroh. Ia hidup seorang diri di rumah. Tak ada anak keturunan yang menemani di rumah mungilnya di pinggiran kota. Meski hidup sendirian, kebahagiaan didapatkan kala bisa berjualan di pasar, berjualan pakaian bekas.
“Ya ra usah ganggu simbah kerja le. Memang isoh saben dino tuku sarapan yen ora dodolan ngene iki?” kata Mbah Maesaroh.
Petugas ketertiban seperti mendapat teguran lebih keras. Setiap orang berhak bekerja untuk menghidupi dirinya. Itulah kebahagiaan milik orang-orang pasar. Tetap sesrawungan dan saling sapa meski rejeki sedang seret dan situasi sulit begini.
Rejeki diyakini datang, saat lapak daganan tergelar. Semua yang datang ke pasar disapa, agar melirik dagangan, syukur kalau ada yang membelinya. Meski itu hanyalah pakaian bekas. Itu tetap rejeki, setidaknya bagi orang-orang pasar seperti Mbah Maesaroh. Tak ada kata pensiun, untuk lansia aktif. (Much. Fatchurochman)
#ceritapinggirjalan
#ceritapasar