Tidak banyak aktivis perempuan yang menyoroti nasib perempuan dan anak di Afganistan pasca kemenangan Taliban terakhir. Maria Pakpahan seorang aktifis perempuan Indonesia menyorotinya dari Skotlandia untuk pembaca Bergelora.com. Ini tulisan bagian pertamanya dan bagian keduanya (Redaksi)
Oleh: Maria Pakpahan
JOHN PILGER wartawan kawakan dan pembuat film politis international menyebutkan dalam wawancaranya oleh Afshin Rattansi di RT TV (Going Underground) yang ditayangkan 8 September 2021 lalu mengingatkan bagaimana negara barat yang direfernya sebagai Imperial power seperti Amerika sesungguhnya sejak jaman pemerintahan Clinton sudah melirik strategisnya Afganistan untuk proyek pembangunan pipa untuk menghindari Iran dan Rusia dan saat itu Taliban dianggap rekan.

Hanya saja pemerintahan Bush kemudian mempertanyakan posisi ini, soal apakah Taliban reliable dan sesungguhnya bisa mendatangkan hasil dan pencapaian tujuan tersebut.
Bush sendiri kemudian sibuk dengan invasi ke Iraq dan dicatat sejarah bagaimana weapon of mass distraction tidak ditemukan, bualan semata.
Pilger juga kemudian mengingatkan bahwa masyarakat Afganistan sebagai masyarakat yang awalnya berbasiskan feudalisme dan sesungguhnya yang kerap dilupakan oleh sejarah adalah soal sistem kelas di Afganistan berdasarkan feudalisme ini.
Pilger mengingatkan bahwa pemerintahan PDPA tahun 1978 yang tidak disukai oleh AS dan dihancurkan lewat kaum Mujahidin sesungguhnya pemerintahan yang mencoba membongkar sustem kelas feudalisme ini. Mencoba membongkar kaum warlord yang anehnya kemudian diperlakukan sebagai allies oleh Amerika.

Istilah, term yang dipakai oleh Pilger adalah mercantile class (istilah yang sesungguhnya sopan sekali). Mereka inilah yang tahu soal pergerakan uang di Afganistan sementara kebanyakan rakyat Afganistan masih hidup dalam tradisi tribal dan jaman pertengahan.
Pilger bahkan melihat Afganistan diperlakukan seperti kambing hitam. Walaupun sesungguhnya aksi teroris 11 September 2001 yang menghancurkan gedung kembar WTC dengan menabrakkan dua pesawat yang mencengangkan dunia dan memakan korban sekitar 3.000 jiwa manusia, bukan dilakukan atau dipersiapkan orang Afganistan.
Aksi terorisme ini dilakukan orang Saudi Arabia namun kemudian Afganistan yang di serang. Afganistan menjadi sasaran agresi kemarahan Amerika. Pilger juga menunjukkan arogansi Tony Blair, Perdana Menteri UK yang bergaya dan angkuh hendak menata tataran dunia, persis perilaku abad 19 penguasa Imperialisme. Pilger menjelaskan bagaimana Imperialisme menjadi kata yang kotor saat ini karena asosiasi dengan Hitler yang juga berlaku Imperialistik.
Noam Chomsky dan Afganistan
Noam Chomsky dalam wawancaranya dengan Gulf TV mengingatkan bagaimanapun populasi Afganistanlah yang menderita oleh tindakan kekuatan Imperial yang datang dan pergi sesukanya di Afganistan. Chomsky juga mengingatkan agar Amerika dan Eropa tidak menutup pintunya terhadap rakyat Afganistan yang mau keluar dan mencari suaka atau mengungsi ke kawasan ini.
Kita juga jangan melupakan banyaknya kasus kekerasan bahkan pembunuhan yang dihadapi perempuan Afganistan. Contohnya tahun 2013 dunia dikejutkan dengan kasus Najiba, seorang perempuan yang dibunuh, dieksekusi oleh suaminya sendiri yang didukung oleh seorang pemuka agama (Mullah) di desanya yang menurut penduduk yang lain menggunakan text agama yang salah.
Najima dieksekusi di depan publik dan divideokan dan tersebar di dunia. Bayangkan ini saat tentara koalisi pimpinan Amerika masih bermarkas di Afganistan. Hal barbaric, mysoginik terhadap perempuan bisa terjadi dan tidak ada intervensi pengelola keamanan saat itu. Bayangkan jika sekarang Taliban yang de facto menguasai Afganistan setelah ditinggalkan tentara koalisi pimpinan Amerika !
Juga cerita anak perempuan berusia 14 tahun yang dijual oleh saudara laki-lakinya dan disiksa oleh keluarga iparnya, di kurung di kolong basement, ditinggalkan dan ditemukan oleh kelompok aktivis perempuan yang membangun rumah aman, shelter untuk para korban kekerasan. Ini hanya bisa terjadi saat perempuan Afganistan diluar masa pemerintahan Taliban. Dalam masa penguasaan Amerika dan aliansinya. Bahkan di dalam penjara, para perempuan merasa lebih beruntung karena paling tidak jika mereka mempunyai dan membawa anak-anaknya ke dalam penjara, justru di dalam penjara ada ruang untuk belajar bagi anak-anak para perempuan penghuni penjara. Juga mereka merasa lebih aman.
Ironis sesungguhnya saat kaum perempuan merasa lebih baik, aman di penjara daripada di rumah. Bahkan untuk anak-anak merekapun, penjara lebih aman !
Dalam arsip juga ada bagian dimana diwawancara seorang perempuan muda berusia 18 tahun yang wajahnya hancur karena disiram air keras oleh laki-laki yang ia tolak menjadi suaminya.
Perempuan yang sekarang tinggal di rumah aman ini dalam wawancara tersebut berharap dirinya bisa sekolah dan suatu saat menjadi pengacara untuk mencari keadilan terhadap kekerasan yang dialaminya. Mimpi ini hancur karena saat ini entah apa rencana pemerintahan Taliban dalam mendukung perempuan melanjutkan pendidikan dan bukan sekedar pendidikan dasar atau agama. Tetapi mengikuti kata hati dan rencana anak-anak perempuan Afganistan.