Oleh: Linda Christanty
Beberapa teman telah menulis kenangan mereka tentang Asep Salmin, kawan kami di masa mahasiswa yang telah menjadi pejuang dalam gerakan mahasiswa dan buruh melawan rezim militer Orde Baru. Dia wafat dua hari lalu. Kenangan saya bersama Asep akan melengkapi kenangan-kenangan yang ditulis teman-teman lain.

Pada awal 1990-an, Asep dan kawan-kawan di Universitas Indonesia (UI) membentuk kelompok studi mahasiswa bernama Forum Belajar Bebas atau FBB. Di masa itu Orde Baru telah mengapolitisasi kampus untuk mencegah bergabungnya kekuatan kaum intelektual dan rakyat tertindas melawan rezim. Protes rakyat di masa tersebut biasa dihadapi dengan kekerasan oleh aparat bersenjata. Tentara menjadi pejabat dalam pemerintahan sipil, dari tingkat pusat maupun daerah. Meskipun ada tiga partai politik di Indonesia, Partai Persatuan Pembangunan, Partai Demokrasi Indonesia, dan Golongan Karya, dalam praktiknya partai-partai ini merupakan partai-partai di bawah kendali rezim. Golongan Karya (Golkar) dikenal sebagai partai pemerintah. Pegawai pemerintah dan pegawai perusahaan negara harus mencoblos Golkar saat Pilpres. Media disensor. Menggugat praktik pemerintah akan dituduh subversif. Secara politik, rakyat tidak bebas menyuarakan aspirasinya. Kebebasan berorganisasi dikebiri. Kebebasan berekspresi dibungkam. Secara ekonomi, sebagian besar rakyat hidup dalam kesusahan. Sentralisme pusat terhadap daerah menjadi ciri pemerintahan Soeharto. Hasil-hasil tambang dan kekayaan daerah memperkaya rezim dan kroninya.

Kelompok-kelompok studi mahasiswa lahir di berbagai kampus dan kota pada era 1990-an, termasuk FBB. Meskipun bernama “kelompok studi”, kelompok-kelompok ini bukan merupakan kelompok belajar bersama yang bertujuan membuat anggotanya lulus ujian mata kuliah tertentu atau semester. Kelompok-kelompok diskusi ini menjadi cikal-bakal atau embrio gerakan perlawanan mahasiswa yang terorganisir.
Kebanyakan anggota FBB di UI adalah mahasiswa Jurusan Sejarah dan Sastra. FBB awalnya mengkonsolidasikan mahasiswa melalui berbagai diskusi, termasuk diskusi film dan karya sastra. Diskusi juga menyentuh politik dan praktik kekuasaan, mengkritik kapitalisme. Suatu hari para anggotanya merasa diskusi tidak cukup untuk membuat perubahan. FBB kemudian mulai berhubungan dengan buruh. Awalnya para mahasiswa pergi ke permukiman buruh untuk berdiskusi tentang kondisi pabrik. Mereka juga melakukan pendampingan terhadap buruh-buruh pabrik yang tidak dipenuhi hak-haknya. Lama-kelamaan para mahasiswa ini merancang pemogokan bersama buruh. Setelah itu FBB membuat program live in di permukiman buruh di wilayah-wilayah industri di Jabotabek (dulu belum Jabodetabek). FBB kemudian tidak hanya beranggotakan mahasiswa UI, tetapi juga mahasiswa ISTN (Institut Sains dan Teknologi Nasional). Pemogokan buruh pertama yang melibatkan FBB adalah pemogokan pabrik panci di Tangerang. Jumlah buruh pabrik itu ratusan orang. Pemogokan ini berlangsung pada 1993. Tidak ada spanduk aliansi buruh dan mahasiswa, karena mahasiswa dalam pemogokan ini bekerja sama secara diam-diam dengan buruh untuk menghindari pengendusan aparat berseragam maupun intel. Tidak hanya membela buruh, beberapa dari anggota FBB ini juga terlibat dalam aksi membela petani Belangguan, di Situbondo, Jawa Timur, yaitu salah satu aksi yang mengenalkan mereka kepada praktik kekerasan oleh aparat negara. Mereka ditangkap dan mengalami penyiksaan berat.
Pada awal 1990-an ini pula saya bertemu Asep dan kawan-kawan di FBB. Secara konsisten, FBB juga menjalin hubungan dengan kelompok-kelompok studi mahasiswa di Jawa (lalu berkembang hingga luar Jawa) sampai akhirnya bersama-sama membentuk Solidaritas Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi (SMID). Tidak mudah menyatukan kelompok-kelompok mahasiswa di tiap kota untuk membangun kekuatan nasional, karena setiap basis kota amat khas dari segi karakteristik gerakannya; Jakarta beda dengan Solo, Yogyakarta beda dengan Semarang, Aceh beda dengan Palu, dan seterusnya. Dalam membangun organisasi tersebut, segala sesuatu didiskusikan dan diputuskan bersama. Perbedaan pendapat tidak terhindari. Ada yang bertahan, ada yang pergi.
Berbagai pengalaman mengesankan dengan Asep masih saya ingat. Salah satunya, ketika kami terlibat mengorganisir pemogokan pabrik PT Great River Industry (GRI). Jumlah buruh diperkirakan antara 6 ribu sampai 8 ribu. Ada juga yang mengatakan 10 ribu. Mayoritas buruh di pabrik ini adalah perempuan. PT GRI memproduksi kemeja pria dan pakaian dalam wanita, yang berkategori barang mewah bagi masyarakat berpenghasilan rendah. Buruh-buruh perempuan pabrik PT GRI tidak akan pernah mampu membeli pakaian dalam yang mereka buat, karena upah mereka yang sangat minim. Pakaian dalam itu terdiri dari celana dan bra merek Triump. Kelak saya mengetahui bahwa PT GRI merupakan milik Sukanta Tanudjaja. Dia mertua Robert Tantular, pendiri dan pemilik saham Bank Century yang menghebohkan itu. Namun, buruh-buruh mengatakan pemilik saham PT GRI ada beberapa.
Saya masuk untuk pertama kali ke permukiman buruh PT GRI di Nanggewer, Cibinong, dekat lokasi pabrik, pada 1994. Kontak pertama saya peroleh dari kawan kami Nacung, yaitu tiga buruh perempuan PT GRI. Namun, pengorganisasian mengalami jatuh bangun. Nacung kemudian tidak ikut mengorganisir lagi. Dalam diskusi dengan Asep di Jakarta, Panjang diputuskan untuk menggantikan Nacung. Pengorganisasian kemudian mengalami perkembangan, dari sebatas kontak menjadi lingkaran buruh di sekitar Nanggewer dan luar Nanggewer. Kontak-kontak baru pun berkembang menjadi simpul-simpul massa. Diskusi-diskusi kelompok diselenggarakan dengan menyamarkannya sebagai kegiatan arisan ataupun piknik. Kadang-kadang ada dua atau tiga diskusi dalam sehari, sehingga tidak bisa ditangani sendirian. Diskusi ini membahas sejarah Indonesia, sejarah gerakan buruh, dan masalah perburuhan. Sampai akhirnya diskusi kelompok berhenti dan secara bertahap diganti dengan penyebaran selebaran melalui struktur organisasi pabrik yang telah terbentuk dan terus diuji melalui penyebaran berbagai selebaran tahap demi tahap. Lama-kelamaan isi selebaran berubah menjadi lebih teknis, yaitu berupa petunjuk atau langkah-langkah, dengan asumsi selebaran-selebaran dan diskusi-diskusi terdahulu telah menciptakan kesadaran bersama dan suasana batin perlawanan. Lama-kelamaan posisi organiser buruh diganti oleh pemimpin buruh di masing-masing kelompoknya. Hanya buruh pada lapis teratas struktur pengorganisasian dan kurir yang dapat berhubungan langsung dengan kami demi keamanan pergerakan. Asep terlibat membuat selebaran-selebaran, mencari solusi untuk menyelesaikan masalah-masalah di wilayah pengorganisasian, dan juga menghadiri diskusi buruh jika dibutuhkan. Dia juga berkoordinasi dengan pengurus Pusat Perjuangan Buruh Indonesia (PPBI), SMID, dan Persatuan Rakyat Demokratik yang telah dipimpin Budiman Sudjatmiko. Di sela-sela aktivitasnya, Asep selalu menyemprotkan inhaler. Dia pengidap ashma berat.
Sebelum pemogokan berlangsung, kawan-kawan mahasiswa SMID dari berbagai kota mulai berdatangan ke Jakarta untuk bersiap melaksanakan aksi aliansi mahasiswa dan buruh PT GRI, dan sosialisasi Persatuan Rakyat Demokratik. Tuntutan bersama aliansi adalah “Naikkan upah, turunkan harga”, “Cabut Dwifungsi ABRI”, “Cabut Lima Paket UU Politik”, dan “Turunkan Soeharto.” Tuntutan kepada pihak pabrik yang masih saya ingat selain kenaikan upah adalah turunkan jembatan GRI. Banyak buruh mengeluhkan jembatan penyeberangan mereka terlalu tinggi. Pemogokan PT GRI berlangsung pada 18 Juni 1995 di muka pabrik, dilanjutkan rally (pawai) ke kantor Depnaker dan DPRD. Saking tertibnya rally ribuan buruh dan mahaslswa tersebut, kurir dari buruh menyampaikan bahwa bunga di pinggir jalan tidak ada yang terinjak. Budiman Sudjatmiko dari Persatuan Rakyat Demokratik dan Dita Sari dari PPBI berorasi di tengah massa. Dalam aksi ini beberapa kawan buruh dan mahasiswa ditangkap polisi. Dita Sari juga ditangkap. Namun, aparat kelihatannya tidak siap. Personel mereka terbilang sedikit.
Pasca aksi pemogokan hari pertama, saya membahas situasi aksi dengan Asep dan Panjang. Asep mengatakan, karena ada mahasiswa dan buruh yang ditangkap, penting untuk saling menguatkan dan memobilisasi aksi solidaritas. Terlebih Dita sebagai pemimpin organisasi buruh telah ditangkap. Tujuan aksi solidaritas tidak lain dari gedung DPR RI di Jakarta.
Memobilisasi massa melalui simpul-simpul massa atau pemimpin-pemimpin massa buruh sungguh berisiko, karena kelompok-kelompok buruh akan cenderung terbentuk di depan pabrik atau sekitar pabrik. Di hari pertama, aparat tidak terlalu siap, tetapi berhasil menangkap beberapa orang. Di hari kedua, mungkin mereka sudah lebih siap. Nanggewer dekat dengan basis-basis militer. Bagaimana caranya? Asep menjawab, “Lewat selebaran.” Apa isi selebarannya? “Isinya hanya rute-rute bus atau kendaraan ke DPR RI dari Nanggewer. Tidak ada apa-apa, selain rute,” kata Asep. Selebaran rute berukuran kecil digandakan sebanyak mungkin untuk dibagikan di depan pabrik ketika massa berkumpul melanjutkan mogok hari kedua. Ketika selebaran disebar oleh pemimpin-pemimpin massa buruh dan para mahasiswa, petunjuknya sangat jelas: ke gedung DPR RI: rute 1 …, rute 2…, rute 3…. Buruh-buruh mencegat bus atau angkutan umum yang lewat di muka pabrik seakan hendak pulang ke rumah. Mereka menggunakan ongkos sendiri, tanpa aba-aba, hanya mengikuti selebaran buatan Asep. Tindakan mereka itu di luar bayangan aparat. Asep sungguh jenius.
Pada 19 Juni 1995, sekitar 3.000 buruh PT GRI tiba di gedung DPR RI dan memenuhi aula gedung itu. Meneriakkan tuntutan, “Bebaskan Dita Sari! Bebaskan kawan kami! Bebaskan ….” Aksi tersebut menjadi aksi pertama massa buruh terbesar di gedung DPR RI pada masa Orde Baru, dan juga aksi pertama aliansi mahasiswa – rakyat terbesar dan terorganisir pada masa Orde Baru.
Asep alias Saep alias Jagoan alias Wahyu, terima kasih kita pernah berjuang bersama, kawan. Hidup ini singkat. Kenanganlah yang tetap tinggal dan tercatat, menjadi sejarah kita. Selamat jalan dan beristirahatlah dalam keabadian.
*Penulis, Linda Christanty seorang penulis dan aktivis gerakan buruh
*Foto berasal dari kliping koran yang ditemukan Lucas “Dwi” Hartanto di Perpustakaan Nasional, Jakarta, beberapa hari sebelum Asep wafat.