Oleh: Muhammad Zulfan *
KATA de·lu·si /délusi/ n Psi adalah pikiran atau pandangan yang tidak berdasar (tidak rasional), biasanya berwujud sifat kemegahan diri atau perasaan dikejar-kejar; pendapat yang tidak berdasarkan kenyataan; khayal
Tanggal 26 Maret, di depan prajurit Amerika Serikat (AS) yang ditempatkan di Polandia, Presiden Joe Biden, menyatatakan “For God’s sake, this man cannot remain in power” ,–mengacu kepada Presiden Rusia, Vladimir Putin.
Pejabat gedung putih segera meralat kata-kata ini, menyatakan bahwa Biden tidak bermaksud seperti itu, bahwa ini off script, dan berbagai peniadaan, denial, yang lain.
Kata pakar psikologi, manusia bisa bertindak sadar atau bertindak dari impuls alam bawah sadar dalam tekanan emosi tertentu, sepeeti sedih, marah dan takut. Bisa jadi pernyataan Biden tersebut adalah manifestasi alam bawah sadarnya.
Politik luar negeri AS adalah intimidasi, penyuapan, sanksi, embargo dan penggulingan penguasa negara lain yang tidak mau tunduk pada kepentingan AS. Sejarah invasi Amerika Serikat yang selalu mempromosikan demokrasi dan penghargaan pada HAM berulang terjadi di berbagai negara Asia, Afrika dan Amerika Latin dan Eropa pada siapa saja yang tidak sejalan dengan kepentingan Amerika Serikat.
Tanpa sadar Joe Biden mengungkapkan kenginan Amerika Serikat dan kebiasaan ini menjadi “keniscayaan” di benak bangasawan politik yang mengatur politik luar negeri mereka, diamini oleh media mainstream yang selalu sejalan dengan pemerintah AS dalam urusan penggulingan atau invasi ke negara lain. Media massa berperan untuk mengatur cara berperilaku warga negara mereka dan dunia, untuk menunjukan bahwa serangan ke bangsa dan negara lain adalah wajar karena AS bertugas untuk itu.
Manipulasi pola pikir dan perilaku Amerika Serikat di atas bisa menjadi delusi.
Delusi ini menjadi senjata makan tuan ketika rencana penggulingan dilakukan kepada lawan politik yang seimbang seperti Russia atau RRC.
Sejak penggulingan Mosadegh, PM Iran, 1953, semua rencana Amerika hampir semuanya berhasil, kecual Vietnam, ketika China dan Soviet membantu Vietnam.
Sebelum pemerintah Ukraina digulingkan Amerika dan Uni Eropa pada tahun 2014, seluruh dunia terhenyak (dan kemudian dilupakan) dengan tragedi Libya, negara termakmur di Afrika, digoyang oleh saudagar Arab di teluk, dan Muaamar Qadafi di bunuh secara biadab oleh teroris binaan Amerika. Hillary Clinton, idola neolib neocon tertawa puas dalam kata “we saw, we came, he died”.
Kini Libya hancur dalam genggaman beberapa faksi teroris, terpecah, bahkan ada pasar budak. Inilah demokrasi dan HAM yang AS tawarkan pada dunia!
Setelah invasi NATO di Libya, Prancis dan berbagai negara lain di Eropa dan teluk mendapatkan konsesi lahan
minyak. Ini bukan pertama kali NATO menginvasi negara lain. Mereka mulai di Yugoslavia, menghancurkan Serbia, ikut invasi ke Iraq di mana Ukraina terlibat, invasi ke Afganistan, dan serangan serangan udara ke Syria, jelas menempatkan NATO sebagai aliansi agresi. Agresor bukan aliansi defensif seperti yang mereka propagandakan.
Syria hampir bernasib serupa, tapi Rusia (juga Iran dan Hizbullah) melihat ini berbahaya. Iran datang tahun 2013, Hizbullah juga, kemudian Rusia hadir 2015, membalikkan keadaan, mengeleminir anasir teroris binaan AS, Al Qaida cabang Syria, apapun namanya, Daesh alias ISIS, ikhwanul Muslimin, HTI dan lain-lain.
Kemenangan Syria belum mutlak, karena USA masih menduduki secara ilegal, invasi, 1/3 wilayah utara Syria yang kaya minyak dan lumbung gandum Syria, sementara Syria masih dalam embargo ekonomi yang merusak seluruh sendi kehidupan negara tersebut.
Rusia hadir di Syria setelah melihat apa yang terjadi di ukraina, pemerintah Ukraina yang terpilih secara demokratis digulingkan di Februari 2014, presiden Yanakovich harus melarikan diri dari ancaman pembunuhan yang dilakukan oleh sektor ultra kanan, yang kemudian jadi Azov Batalion.
Mereka sudah dilatih lama oleh Nato, biarpun terang terangan bahwa sektor kanan ukraina ini adalah kelanjutan dari NAZI yang dulu diusir oleh Uni Soviet. Mereka membesar dari kehancuran ekonomi Ukraina pasca Uni Soviet.
Ukraina mungkin negara paling korup di dunia, Presiden Yanakovich sendiri tidak lepas dari masalah ini. Oligarki jahat berkuasa penuh, sebut saja nama Rinat Akhmetov penguasa Azovstall, Igor Kolomoisky seorang zionis kaya raya yang membiayai presiden sekarang (V)lodomyr (Z)alensky.
Yanakovich digulingkan oleh Amerika dan Uni Eropa setelelah dia menolak paket kerjasama ekonomi Uni Eropa dan menerima tawaran Rusia yang lebih manusiawi. Paket Uni Eropa adalah paket privatisasi semua layanan sosial peninggalan Uni Soviet, sedangkan paket Rusia lebih baik.
Kudeta si Ukraina saat itu tidak akan berhasil tanpa pengerahan kekauatan NAZI dari barat Ukraina dan dukungan penuh pelaku kebijakan luar negeri AS,– yang telah menjadi sebuah departemen khusus penggulingan pemerintahan yang sah di luar AS.
Beberapa bangsawan politik AS seperti John McCain, Linsay Graham, hadir di Ukraina untuk memberi dukungan dana, senjata dan pelatihan terhadap pengikut NAZI, seperti mereka juga hadir di Syria untuk membantu Al Qaida dan sejenisnya. Mereka dan yang lain juga hadir untuk mendukung perusuh di Hong Kong. Inilah wajah negara penjunjung demokrasi dan HAM.
Victoria Nuland, sebagai ketua pengatur kebijakan politik luar negri (baca penggulingan, color revolution) untuk Eurasia hadir di kerumunan demonstran di lapangan Maidan, Kyev, untuk menyemangati penggulingan Presiden Ukraina 2014 lalu. Kemudian dia memilih siapa antek mereka.di Ukraina untuk jadi pemerintah boneka Ukraina. Ada rekaman telepon antara Nuland dan Dubes AS di Ukraina,– terdengar dia menyebutkan nama pengganti presiden yang digulingkan dan kata kasar ‘F*uck Eropean Union‘,– jangankan untuk musuh,– untuk sekutunya sendiri AS bisa melecehkan seperti itu. Atau mungkin semua pemerintah di Uni Eropa juga sudah jadi boneka Amerika. Bisa iya mereka boneka, terlihat dari tekanan politik untuk sekutu Eropanya sekarang.
Rusia terlihat bagai sambungan dari Uni Soviet, biarpun bukan negara komunis lagi. Rusia memiliki arsenal nuklir terbesar di dunia, dengan persenjataan konvensional mumpuni.
Rusia punya sumber daya alam luar biasa, dalam tanah ataupun di atas tanah, jumlah penduduk besar dan terpelajar, dengan kekuatan produksi besar, dan yang paling bahaya bagi delusi hegemoni AS adalah, aliansi Rusia dan RRC, saingan ekonomi AS.
Selama Rusia lemah, AS tidak ambil pusing, tapi begitu Rusia melawan di Krimea dan Syria, presiden Putin bukan anak baik lagi. Rusia tidak bisa diatur oleh AS. Rusia terlalu besar dan tetap menjadi kekuatan di dunia. Ukraina sepertinya dibuat jadi perangkap untuk Rusia.
Orang Rusia melihat Ukraina adalah saudara mereka, seperti melihat Belarusia. Tiga bangsa Slavia timur ini dari dulu merasa bersama. Perang ini sangat sulit bagi kesatuan mereka, tragedi hancurnya uni soviet yang memisahkan mereka. Hal ini membuat Rusia melakukan ‘invasi’ ke Ukraina.
Bagi Rusia, pemerintahan boneka barat di Kyev terus menerus mengkampanyekan permusuhan dengan Rusia, memasukkan komponen NAZI bersenjata dalam angkatan perang Ukraina, dan ingin mengintegrasikan Ukraina dalam NATO, yang artinya arsenal nuklir AS bisa berada di depan pintu Rusia.
AS tahu ini, tahu kalau Rusia tidak akan menerima hal ini, Putin sudah bicara di Munich dalam konfrensi keamanan munich tahun 2008,–bahwa Rusia tidak akan menerima ini,–hal ini menjadi ancaman keamanan esensial terhadap Rusia.
Namun AS tidak mau mendengar keluhan Rusia, bahkan terus memprovokasi, menyerang wilayah yang memberontak di Donbas, membunuh rakyat sipil berbahasa Rusia, menekan Ukaraina untuk tidak patuh pada perjanjian damai. Semua itu untuk menyeret Rusia agar menyerang dan menempatkan Rusia sebagai “agresor”‘–supaya lebih mudah memanipulasi kesadaran warga dunia, mengsilolasi Rusia, demonisasi Rusia, kemudian membuat Rusia terlalu berkomitmen pada perang dan melemahkan ekonomi Rusia. Intinya menimbulkan keresahan publik di Rusia sehingga bisa memberontak dan menggulingkan pemerintah Rusia sekarang, menggatikan dengan rezim boneka, kalau perlu memecah Rusia jadi beberapa bagian, dan menghacurkan senjata nuklir, mengisolasi Rusia sehingga meninggalkan RRC sendiri menghadapi barat.
Tapi lagi-lagi semua itu hanyalah delusi. Rusia tidak sendirian, aset intelejen AS yang cukup banyak di Rusia tidak bisa berbuat banyak. Bahkan tingkat penerimaan pemerintah Rusia malah membaik. Negara-negara selatan, sebagian besar netral (banyak mendukung Rusia) dalam perang melawan AS- NATO di Ukraina hari ini.
Rakyat di negara-negara selatan dan negara berkembang mendukung Rusia. Bagi warga negara yang selama ini dibully AS, Rusia menyuarakan, bergerak berperang mewakili perang yang selama menyerang mereka.
Bahkan sebagian besar masyarakat AS menentang campur tangan AS dan NATO di Ukraina dan mendukung Putin. Mantan Presiden AS Donald Trump pun secara terang-terangan mendukung Putin dan mencela kebijakan pemerintahan Joe Biden di Ukraina. Keberpihakan Trump.pada Putin menjadi sangat viral di berbagai media sosial Amerika,-— “I’ll stand on the side of Russia right now”
Donald Trump sendiri yakin Rusia bisa menyelesaikan persoalan di Ukraina, tanpa harus ada campur tangan AS dan NATO yang justru membahayakan rakyat Ukraina.
Jelas perang ekonomi barat sangat berat bagi Rusia. Akan ada kesulitan ekonomi, barang barang produksi barat akan sulit di dapat. Di sisi lain, barat, Eropa terutama akan kesulitan juga ketika beberapa komoditi strategis yang selama ini didapat dengan murah dari Rusia hilang di pasar mereka, energi dan bahan pangan misalnya.
Perang ini jelas membuat warga dunia terutama warga Eropa menderita, bukan hanya warga Ukraina dan Rusia saja. Perang ini diinginkan oleh elit bangsawan politik dan ekonomi AS, untuk menjaga dan memastikan dominasi mereka dan memberi makan mental kejam meraka yang delusional, delusi.
Posisi Indonesia yang netral sudah sangat tepat. Kita perlu menjaga kepentingan nasional kita. Tekanan dari AS pasti sangat brutal. Namanya juga bully, dan ancaman penggulingan pemerintah juga bisa terjadi. Bahkan Dubes Ukraina hadir dalam demo mahasiswa di Jakarta. Mudah–mudahan tidak bergulir seperti kudeta parlemen pakistan terhadap Imran Khan.
Tekanan ini terasa ketika Indonesia menjadi tuan rumah KTT G20 nanti,– AS sudah terus mendesak Indonesia untuk melakukan diskualifikasi Rusia. Alhamdulillah, posisi Indonesia tetap kokoh, tetap netral dan mengundang Rusia untuk hadir dalam KTT G20 nanti. Indonesia telah menunjukkan sikap menolak tunduk pada tekanan komunitas fantasi barat.
Posisi pemerintah seperti presiden Soekarno dulu yang tidak mau tunduk dengan tekanan asing, berdiri kuat mempertahankan kedaulatan negara ini telah menjadi referensi politik pemerimtah bahkan rakyat Indonesia.
Barat harus sadar, ini dunia nyata yang realistis, bukan dunia fantasi delusi mereka, bukan seenak perasaan mereka,–kita bisa bertindak rasional sebagai komunitas bangsa-bangsa yang sehat bukan domba yang prilakunya diatur oleh kepentingan mereka. Barat harus sadar bahwa mereka bukan pengatur bangsa lain, bukan mesiah untuk kulit berwarna. Nilai-nilai barat tidak selamanya benar.
Sekarang terlihat jelas barat bersama monopoli big tech mereka mengusir semua warga dunia yang berbeda dengan mereka, memuji dan mengagungkan NAZI dan supremasi kulit putih, memanipulasi informasi untuk warganya sendiri, dan mengajak semua orang untuk delusi seperti mereka.
Delusi terjadi karena kondisi mental akut yang mempengaruhi tindakan rasional, dan mengatur prilaku berdasarkan impulsivitas emosi.
Tulisan ini akan dibilang teori konspirasi oleh domba delusi barat, konspirasi politik luar negeri AS jelas ada. Semua paparan di atas ada buktinya, ada faktanya ada investigasi mendalam. Bahwa semua narasi yang berbeda dari narasi mainstream barat itu disebut konspirasi atau propaganda Rusia atau China. Kita bukan bangsa delusi, dunia sudah berubah coy!
* Penulis Muhammad Zulfan, Sekrataris Komite Persahabatan Rakyat Indonesia – Rusia