Jumat, 4 Juli 2025

PANTESAN NIH…! PDSI Sebut Pasien Lari Keluar Negeri: Devisa Ratusan Triliunan Rupiah Hilang

JAKARTA- Kehadiran Perkumpulan Dokter Seluruh Indonesia (PDSI) adalah menjadi pelopor reformasi kedokteran Indonesia yang mengutamakan kesejawatan. Visinya itu Indonesia untuk dunia. Hal ini disampaikan Sekretaris Jenderal Perkumpulan Dokter Seluruh Indonesia (PDSI), dr. Erfen Gustiawan Suwangto, Sp.KKLP, SH, MH (Kes.) dalam wawancara Bergeloralah Channel beberapa waktu lalu dan dikutip Bergelora.com di Jakarta, Senin (16/5).

Sekretaris Jenderal Perkumpulan Dokter Seluruh Indonesia (PDSI), dr. Erfen Gustiawan Suwangto, Sp.KKLP, SH, MH (Kes.)

 

“Kita ingin dokter dokter Indonesia juga bisa mengglobal,” jelasnya soal nasib dokter-dokter Indonesia yang tidak bisa.berpraktek di Indonesia karena dipersulit oleh IDI.

“Kita dukung temen-temen diaspora yang mau balik ke Indonesia. Gak perlu dokter asing dulu deh. Yang penting dokter Indonesia yang belajar di luar negeri bisa pulang dan melayani rakyat Indonesia. Rakyat kita butuh mereka. Juga supaya devisa kita tidak keluar. Karena ratusan triliun per tahun keluar hanya gara-gara pasien kita berobat keluar negeri,” ujarnya.

Hal ini menurutnya karena bukan hanya masyarakat tapi karena pejabat-pejabat negara kalau berobat ke luar negeri juga.

“Devisa kita lari ke luar negeri. Memang selama ini pun kita tidak bisa menyalahkan IDI juga. Karena itu diatur oleh peraturan pemerintah yang masukannya dari IDI juga,” ujarnya.

Oleh karennay PDSI memberikan usulan agar prosesnya kembalinya dokter diaspora Indonesia disederhanakan tanpa mengurangi kualitas.

“Karena kami tidak menutup mata belum tentu lulusan luar negeri lebih bagus. Misalnya dalam penanganan demam berdarah, itu Indonesia ahlinya loh. Dokter Singapura konsultasinya ke kita. Mungkin kita agak sedikit kurang di cancer. Itupun karena kurang alatnya,” jelasnya.

Dokter Erfen mengatakan bahwa para dokter diaspora di luar negeri juga menginginkan agar pasien Indonesia tidak berobat di luar negeri, cukup di dalam negeri.

“Kita harus tahu nih, temen-temen dokter di luar negeri seperti di singapura dan malaysia sering sampaikan bapak ibu balik aja ke dokter di indonesia, kalau penyakit beginian mah, dokter di Indonesia juga bisa. DBD mah lebih ahli dokter Indonesia,” katanya.

Jadi menurutnya sebaiknya ada kolaborasi antar dokter Indonesia dan luar negeri yang menguntungkan Indonesia.

“Kolaborasi aja mungkin Singapura lebih ahli di cancer karena alat lebih canggih, kita belajar dari mereka. Kita lebih banyak penyakit DBD mereka belajar ke kita. Itu aja. Kita PDSI berpikir bisa gak kita ujian bareng. Jadi di Asean misalnya, dokter Singapura bisa praktek disini, kami juga bisa praktek disana.

Jadi kolaborasi global menurutnya perlu dengan mensederhanakan administrasi dan adaptasinya dokter untuk bisa berpraktek di Indonesia.

“Memang proses adaptasi itu penting karena mereka juga gak tahu disini ada BPJS. Atau budaya masyarakat disini yang mungkin agamis. Mereka harus mengerti. Maka tetap harus ada proses adaptasi itu. Kunci utamanya adalah menyederhanakan semua itu,” katanya.

Dokter Erfen juga mengusulkan pertama agar ada penyetaraan ijasah dokter dari luar negeri yang masuk Indonesia.

“Jangan sampai dia lulusan dokter umum ngakunya spesialis dari luar negeri. Ini gak boleh juga. Kementerian pendidikan yang liat dulu,” katanya.

Namun ia mengingatkan bahwa tidak juga selalu harus ijasah yang disetarakan bagi dokter lulusan luar negeri masuk Indonesia.

“Mereka itu jadi spesialis diluar negeri sebetulnya lewat pelatihan, bukan di universitas, tapi hospital base, di rumah sakit. Mereka dilatih di rumah sakit jadi spesialis. Beda di Indonesia, harus masuk kampus. Penyetaraannya kita serahkan ke kementerian pendidikan. Yang penting fleksibel aja,” jelasnya.

Setelah jelas kesetaraannya, yang kedua menurutnya, baru proses adaptasi, yaitu proses penyesuaian mereka di Indonesia.

“Prosesnya diawasi kolegium spesialis itu bersama KKI sebagai negara yang mengatur. Kemudian penempatannya oleh Kementerian Kesehatan. Ditempatkan di rumah sakit mana. Proses nya mungkin 2 tahun, atau kalau bisa setahun. Bagi kami mereka sebetulnya gak perlu ujian lagi. Apalagi kalau lulusan kedokteran Harvard, apa yang mau diuji? Paling karena di Indonesia banyak demam berdarah tidak seperti diluar negeri, mungkin itu yang kita paparkan ke mereka. Tetapi secara ilmu mereka sudah ngerti penyakit infeksi. Mereka ngerti dong virus demma berdarah, walaupun mungkin baru teori,” ujarnya. (Web Warouw)

Artikel Terkait

Stay Connected

342FansSuka
1,543PengikutMengikuti
1,120PelangganBerlangganan

Terbaru