Oleh: Agung Putri Astrid **
PERINGATAN Hari Pancasila 1 Juni tahun ini sesungguhnya cukup istimewa. Pada tanggal 12 Maret DPR RI telah merampungkan dan mengesahkan sebuah rancangan undang-undang tentang tindak pidana kekerasan seksual menjadi Undang-undang. Kemudian di tanggal 9 Mei 2022, Pemerintah mengundangkannya menjadi UU No 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual. Untuk pertama kalinya suatu relasi seksual, yang selama ini dipercaya sebagai masalah privat, berhasil dirumuskan menjadi sebuah norma hukum yang berlaku nasional di atas berbagai paham dan keyakinan.
Mengubah pandangan seperti ini kita berhadapan dengan sensitivitas publik yang begitu besar. Tidak mengherankan bila untuk merampungkan undang-undang ini diperlukan waktu sekurangnya delapan tahun sejak tahun 2016 ketika pertama kali DPR RI mengusulkan adanya UU khusus tentang penghapusan kekerasan seksual. Bahkan usulan ini sempat terhenti dibahas hingga akhir periode DPR RI 2014-2019. Kemudian DPR RI periode berikutnya 2019-2024 mendorong kembali usulan ini untuk masuk Prolegnas, namun baru dua tahun kemudian, yakni pada tahun 2022 dapat dirampungkan.
Pro kontra terhadap usulan ini tak terhindarkan dan sangat tajam. Ini membawa kegamangan hingga di ruang ruang anggota DPR RI khususnya panitia kerja yang bertugas menyusun UU ini. Sensitivitas masyarakat tentang relasi seksual laki-laki dan perempuan membuat apa yang menjadi pokok soal perlunya pembuatan norma hukum menjadi sangat kabur. Warga Indonesia dihujani dengan sebuah kegamangan tentang seberapa jauh negara bisa mengatur relasi seksual tersebut.
Kegundahan ini tidak berjawab dan yang terjadi bertumbuhnya prasangka. Dengan sudut pandangnya sendiri, masing-masing mengklaim pendapatnya berlandaskan Pancasila dan pada saat yang sama menuduh pendapat yang lain sedang menyelewengkan Pancasila. Sensitivitas publik menyentuh hingga pilar dan landasan bernegara kita. Pancasila tiba-tiba diturunkan dan dihadirkan sebagai alat untuk membenarkan pendapatnya dan menyerang pendapat lainnya.
Sungguh beruntung pada akhirnya silang pendapat tersebut dapat diredakan. Apakah yang bisa meredakannya? Satu titiknya adalah dengan kembali mendengarkan kehendak dan hati sanubari rakyat Indonesia. Kasus demi kasus kekerasan seksual, yang tampil di media massa telah memperlihatkan bahwa kekerasan seksual bukan masalah privat, karena ada korban yang menderita, biarpun itu terjadi di lingkup keluarga.
Urgensi pengaturan dan perlindungan hukum bagi korban kekerasan seksual menjadi makin kuat. Perdebatan mereda, segala argumen penolakan menjadi tidak relevan dan tidak penting, ketika berpulang kembali pada masyarakat Indonesia yang menjadi korban kekerasan, kepada para pendamping korban yang menemani siang malam dan kepada aparat penegak hukum dan semua perangkat terkait mulai dari tingkat desa, kabupaten/ kota hingga propinsi menggeluti kasus demi kasus.
Dengan kekuatan ini pula maka kemudian justru pengalaman mereka menjadi korban setahap demi setahap mulai dari peristiwa mengalami kekerasan kemudian penanganan dan hingga pulih, didengar, dicamkan dan coba dinormakan. Tidak ketinggalan pengalaman penyelidikan, penuntutan dan pemeriksaan pengadilan oleh apparat penegakan hukum dirumuskan kembali sehingga penormaan undang-undang ini menjadi semakin kaya dan kuat. Kombinasi antara pengalaman korban dan penanganan kasus kekerasan seksual telah membantu memperjelas semuanya, tentang apa yang ingin diatur di dalam undang-undang ini. Tentunya ini juga memberikan kita pelajaran bahwa segala kerumitan dalam pembahasan bahkan penafsiran paling dasar terhadap Pancasila sesungguhnya ada pada rakyat yang merasakan dan menjalani.
Lahirnya Budaya Baru di Hari Pancasila
Salah satu tugas berat menghadang di depan mata, setelah diundangkannya UU TPKS ini sesungguhnya adalah soal budaya. Banyak sekali kekerasan seksual terjadi dengan latar budaya yang kuat. Sementara itu kita selalu mendengungkan bagaimana soko guru kita adalah ragam-ragam budaya Indonesia. Ini seolah dua tarikan antara keutuhan, eksistensi, dan otonomi budaya versus keamanan, kenyamanan dan intergritas individu warga negara.
Memang relasi seksual adalah sesuatu yang tumbuh, dipelihara dan dilestarikan dalam praktik budaya dan agama di tengah masyarakat. Masyarakat Indonesia juga tengah berjuang menjaga ikatan budaya di tengah gempuran krisis ekonomi, kesehatan dan melemahnya ikatan sosial. Namun tak bisa dielakkan betapa banyak kasus kekerasan seksual yang harus ditangani ternyata harus berhadapan dengan praktik adat budaya agama dan tokoh tokohnya. Misalnya, berulang kali kekerasan seksual justru berakhir damai melalui ritual adat.
Upaya menjaga integritas budaya justru menimbulkan keluhan betapa metode damai ini hanyala bentuk pemaksaan penyelesaian dan menambah beban bagi korban. Juga ada kasus dimana bahkan korban tidak merasa dirinya mengalami kekerasan seksual karena itu dilakukan oleh tokoh agama yang dihormatinya. Padahal ia sampai harus melahirkan anak dalam usia yang sangat belia.
Kita tidak sedang berhadapan dengan paham budaya yang baik-baik saja. Maka, negara harus hadir dan merespons. Untuk itu UU TPKS menegaskan bahwa kasus kekerasan seksual yang telah memasuki ranah hukum tidak dapat diselesaikan di luar pengadilan. Negara juga memberikan hukuman berat bagi para pelaku yang memanipulasi ketaatan murid kepada guru untuk melancarkan eksploitasi seksual di dalam pasal 12 UU TPKS. Negara juga menegaskan bahwa tindakan pemaksaan seksual berupa perkawinan paksa yang mengatasnamakan adat, merupakan tindak pidana di pasal 10 ayat 2 -nya.
Adanya norma hukum yang bersinggungan dengan adat dan budaya, di dalam UU TPKS ini, sesungguhnya memberi pesan penting bagi bangsa Indonesia. Pesan itu adalah bahwa kita harus segara membenahi, meninjau dan menafsir kembali kehidupan masyarakat untuk menciptakan budaya baru yang melindungi warga dari kekerasan seksual. Ini harus diintegrasikan dalam paham dan praktik kebudayaan yang sudah ada. Untuk itu kita harus mulai berdialog dengan budaya kita sendiri; meninjau kembali praktik yang ada, dengan mendudukkan perempuan dan laki-laki dalam relasi yang sederajat dan menghormati integritas individu. Budaya baru itu harus tidak memberi peluang dan tidak berpotensi terjadinya tindakan kekerasan seksual. Untuk itu kearifan lokal budaya tidak perlu dipertentangkan dengan norma hukum nasional. Justru yang diatur dalam norma hukum nasional merupakan ladang subur tak terhingga untuk memperkuat dan memajukan kebudayaan.
Dengan mencermati UU TPKS dalam-dalam, mulai dari awal hingga akhir, maka kita akan menemukan betapa sekalipun yang diatur adalah suatu tindak pidana, sesungguhnya UU TPKS ini adalah konstruksi hukum yang mencegah kekerasan seksual dalam relasi antar individu. Sekalipun berupa norma hukum, undang-undang ini turut serta mengawal tumbuhnya relasi yang sehat dalam suatu masyarakat. Maka sesungguhnya, dimensi kebudayaan dari undang-undang ini sangatlah kental. Bila undang-undang ini diterapkan dengan konsisten maka akan tumbuh praktik-praktik kebudayaan baru yang mengandung nilai-nilai penghormatan integritas fisik dan emosional setiap warga komunitas. Pada gilirannya praktik kebudayaan yang sudah ada akan terperbaharui dan menjadi relevan dengan zamannya.
Saya yakin orang Indonesia itu sesungguhnya Pancasilais. Karena Pancasila pada dasarnya digali dari sanubari rasa dan karsa orang Indonesia. Namun Pancasila seperti kehilangan marwahnya ketika begitu banyak korban berjatuhan akibat serangan seksual, eksploitasi seksual, perbudakan seksual dan bentuk kekerasan seksual lainnya. Di titik inilah UU TPKS hadir.
UU TPKS menjawab perlunya menjaga nilai kemanusiaan yang adil dan beradab, menjawab keperluan menjaga ragam budaya Indonesia di dalam satu kesatuan negara dengan mendorong agar nilai-nilai dan praktik berkebudayaan kita di masa sekarang dan masa datang adalah kebudayaan yang menghargai integritas individu dan mencegah kekerasan seksual dalam segala bentuknya. Bila diterapkan sungguh-sungguh UU TPKS akan membangun budaya baru bagi warga bangsa Indonesia dengan kehidupan adat istiadat, nilai ketuhanan dan kemanusiaan. Di titik ini Pancasila kembali memainkan perannya dalam konteks yang paling relevan.
* Artikel ini diambil dari detik.com
** Penulis, Agung Putri Astrid, Sosiolog, pekerja hak asasi manusia, anggota DPR RI 2014-19 Dapil Bali.