Selasa, 1 Juli 2025

Petani Indonesia Melawan Neoliberalisme

Oleh: Muhamad Ikbal A Ibrahim*

Mencari jalan keluar bagi kaum tani adalah agenda penting. Bukan tanpa alasan tentunya, petani merupakan kelas atau sektor sosial yang mayoritas dalam masyarakat kita. Sehingga bagi penulis persoalan kaum tani adalah persoalan tentang kelas mayoritas di Indonesia.

Kadangkala dalam membahas petani dan problematikanya, sebagian besar hanya membahas tentang problem kepemilikan tanah, padahal secara objektif masalah-masalah dalam pertanian sangatlah kompleks, semisal ada petani yang memiliki tanah bahkan sampai 4-5 hektar di Pedesaan namun kepemilikan tersebut tidak menjamin produktiftas bagi kesejahteraanya.

 

Secara umum petani kita dibelit oleh problematika yang sangat kompleks. Problem tersebut seputar kepemilikan tanah yang kecil, minimnya modal dan tekhnologi, kepastian pasar produk hasil pertanian, dan secara tidak langsung mendorong Nilai Tukar Petani (NTP).

Persoalan tanah memang merupakan problem klasik petani Indonesia. ciri utama petani Indonesia adalah kepemilikan kecil atas tanah dan hanya untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarganya (Subsisten). Tentunya hal ini tidak lepas dari proses historis tata kelola tanah dari zaman kolonial dan pengaruh sistem ekonomi yang dianut saat ini yakni Neo-kolonialisme dan Neo-liberalisme. Dua sebab ini berimplikasi terhadap luas kepemilikan petani subsisten atas tanah di Indonesia.

Menurut Data Indeks Gini kepemilikan tanah di Indonesia sudah mencapai 0,72% (Khudori 2013). Selain itu Badan Pertanahan Nasional (BPN) mengungkapkan hanya 0,2% penduduk negeri ini menguasai 56 persen aset nasional yang sebagian besar dalam bentuk tanah. Sementara 85% rumah tangga petani di Indonesia adalah petani gurem dan petani tak bertanah.

Artinya problem kepemilikan lahan yang kecil disebabkan oleh kebijakan pemerintah dalam tata kelola pertanian sehingga berdampak terhadap peningkatan kesejahteraan petani itu sendiri. Kebijakan pemerintah yang gemar meliberalisasi investasi sektor perkebunan merupakan sebab utama segregasi petani atas tanah di Pedesaan.

Aspek selanjutnya yang sangat sulit diakses oleh petani adalah Modal dan Tekhnologi. Modal untuk mendukung produktifitas tenaga produktif (force of production) pertanian tradisional di Pedesaan. Tekhnologi berkaitan dengan kemajuan pengetahuan dan inovasi dalam mendorong maju sektor pertanian. Dalam kedua aspek yakni modal dan tekhnologi pemerintah adalah pihak yang bertanggung jawab atas penyediaan modal dan tekhnologi. Aspek ini berdampak terhadap minimnya produktifitas Petani di Indonesia.

Sebab utama dari terbelakangnya tekhnologi berkaitan dengan modernisasi alat pertanian dan pengetahuan tenaga kerjanya. Mayoritas tenaga kerja disektor pertanian berpendidikan minim: 32,7% tidak tamat SD, 42,3% tamat SD, dan 14,6% tamat SLTP. Hal ini berdampak dari lambatnya inovasi dan perkembangan tekhnologi dalam sektor pertanian.

Salah satu faktor produksi penting dalam pertanian adalah kepastian harga komoditi pertanian dan pasar produk hasil pertanian. Selama ini produk petani selalu dibelit oleh keterbatasan akses terhadap pasar sehingga berdampak terhadap harga pertanian yang murah. Namun, kehancuran paling parah dalam aspek pasar dan harga ini adalah pemerintah politik pemerintah yang meliberalkan impor hasil pangan. Sehingga produk pertanian petani harus bersaing dengan produk pangan asing yang lebih murah dan berkualitas tinggi.

Menurut data sebagian besar konsumsi pangan kita bersumber dari pangan Impor. Yakni Impor beras sebesar 50 % kebutuhan nasional, Gula 40 % kebutuhan, 25 persen impor daging sapi, 1 Juta ton Garam di Impor atau 50% kebutuhan garam nasional, 70% kebutuhan susu juga dipenuhi dengan Impor.

Nilai Tukar Petani (NTP) juga terus mengalami penurunan akibat mahalnya biaya produksi yang tinggi, harga pasar komoditi pertanian yang dituntut untuk rendah akibat persaingan dengan pangan impor, dan mahalnya pupuk dan penggunaan mesin dan tekhnologi pertanian.

Akar Imperialisme
Berdasarkan kondisi yang dipaparkan diatas maka tentu kita dapat memberi anasir yang berbeda. Menurut penulis problem petani kita tak hanya berkisar pada problem tanah, memang hal ini merupakan salah satu problem, namun bukan satu-satunya. Sehingga melihat pemiskinan petani harus dianalisis dalam sudut pandang yang lebih kompleks.

Secara umum problem-problem diatas dewasa ini disebabkan oleh sistem Neoliberalisme. Perjuangan kaum tani adalah perjuangan melawan Imperialisme sebagai akar Neo-liberalisme yang berdampak luas bagi kehidupan miskin kaum tani Indonesia.

Kemiskinan kaum tani Indonesia semakin dalam pada zaman Orde Baru sampai masa reformasi yang semakin meliberalisasi investasi sektor perkebunan dan pertambangan. Masifnya investasi pertambangan dan perkebunan di daerah pedesaan ini menyebabkan transformasi kepemilikan tanah di desa dari milik petani menjadi milik investasi perkebunan. Dalam banyak kasus makin menurunya kepastian hidup dari bertani akibat minimnya produktiftas memaksa banyak petani memilih menjadi buruh tani atau buruh diperkebunan.

Berdasarkan data yang ada lebih dari 35% daratan Indonesia dikuasai oleh 1.194 pemegang kuasa pertambangan, 341 kontrak karya pertambangan, dan 257 kontrak pertambangan batubara. Kondisi di sektor kehutanan juga tak berbeda jauh. Saat ini, pemerintah telah menyerahkan 25 juta hektar hutan kepada korporasi pemegang izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu (IUPHHK)-hutan alam dan 9,3 juta hektar untuk perusahaan Hutan Tanaman Industri (HTI). Serta 15 juta hektar untuk hak guna usaha (HGU) bidang perkebunan. Hingga tahun 2011, perkebunan sawit sudah menguasai 8 juta hektar tanah.

Perubah pola kepemilikan dan pemanfaatan tanah di pedesaan akibat masifnya investasi juga mengakibat rentanya konflik agraria antara petani melawan korporasi. Memang, sejak era reformasi dan diterapkannya berbagai kebijakan Neo-liberalisme dalam bentuk Washington Consesus, liberalisasi tanah semakin mengganas.

Berdasarkan catatan Konsorsium Pembaharuan Agraria (KPA) pada tahun 2011 menyebutkan bahwa terdapat 163 konflik agraria di seluruh Indonesia, yang melibatkan 69.975 keluarga. Sedikitnya 22 nyawa petani melayan akibat konflik tersebut.

Pencabutan Subsidi
Problem modal dan tekhnologi juga tak lepas dari kebijakan Neo-liberalisme ini. salah satu pilar utama dari kebijakan Neoliberalisme adalah pencabutan subsidi. Baik subsidi dalam bentuk pupuk maupun bantuan lainya dalam bentuk modal dan tekhnologi. Prinsipnya, rakyat dibiarkan berusaha sendiri dalam bertani. Porsi paling besar yang disalurkan dari dana APBN adalah pembayaran hutang luar negeri yang mana dalam sistem Neo-liberalisme adalah jerat yang mengikat agar setiap negara tetap menerapkan sistem Neo-liberalisme.

Fakta yang berbeda dengan pemerintahan Amerika Serikat yang masih terus memberikan subsidi 82 Milyar US$ dalam sepuluh tahun. Ini adalah ironi, Pemerintah Amerika Serikat sendiri masih terus mensubsidi sektor pertaniannya yang notabene sudah memiliki kapasitas tehknologi modern. Disisi lain, Amerika Serikat bersama sekutunya negara-negara maju lewat forum WTO dan structural adjusment oleh IMF untuk memaksakan liberalisasi sektor pertanian dan pencabutan subsidi pertanian bagi negara miskin (Rudi Hartono).

Mengenai problem pasar hasil pertanian, menunjukkan hasil pertanian sangat erat kaitanya dengan kebijakan liberalisasi impor yang tidak asing dari kebijakan Neo-liberalisme. Kiblat ekonomi Neo-liberalisme ini pada liberalisasi investasi dan liberalisasi barang dan jasa. Indonesia di tahun 2016 ini memasuki era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) yang semakin menegaskan pendekatan ekonomi pemerintah pada model integrasi kawasan sehingga liberalisasi barang pangan impor adalah keniscayaan. Pemerintah juga melikuidasi peran BULOG yang berfungsi menjaga stablitas stok pangan dan perlindungan petani agar dapat memuluskan kebijakan Impor.

Problem lainnya dalam sektor pertanian berkaitan dengan Neo-liberalisme adalah peran World Trade Organization (WTO) dalam mengatur sistem pertanian negara yang menjadi anggotanya termasuk Indonesia. setidaknya, ada dua kebijakan yang dilakukan oleh WTO yakni Persetujuan Pertanian (Agreement on Agriculture-AOA), Hak Kekayaan Intelektual yang terkait dengan Perdagangan (Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights-TRIPs).

Dalam aplikasi dilapangan dua kebijakan ini dilakukan dalam bentuk AOA adalah kebijakan yang bertujuan menghilangkan semua hambatan bagi produk negara maju dalam perdagangan bebas dengan biaya tarif rendah. TRIPs atau Hak Kekayaan Intelektual (HAKI) dalam bentuk monopoli benih. Dimana yang mendaftarkan pertama kali memiliki hak paten di tingkatan Internasional. Sehingga benih-benih tanaman pertanian cenderung dimonopoli oleh korporasi.

Dari keseluruhan paparan di atas memberikan pengetahuan bagi kita bahwa problem pertanian di Indonesia adalah kompleks. Problem tanah hanyalah salah satu problem yang integral dengan problem utamanya yaitu Sistem Neo-liberalisme. Sehingga perjuangan kaum tani Indonesia harus diletakan pada perjuangan anti Neo-liberalisme. Pada titik ini maka problem pertanian adalah salah satu bagian dari perjuangan seluruh rakyat Indonesia. Sehingga syarat terpenting dalam perjuangan petani adalah membangun Persatuan Nasional bersama Buruh, Kaum Miskin Kota, Mahasiswa dan seluruh rakyat melawan Neo-liberalisme.

*Penulis adalah Wakil Ketua Partai Rakyat Demokratik (PRD) Sulawesi Tengah

 

Artikel Terkait

Stay Connected

342FansSuka
1,543PengikutMengikuti
1,120PelangganBerlangganan

Terbaru