JAKARTA- Hingga saat ini negara sama sekali belum menunjukkan kesungguhannya berpihak kepada rakyat kecil. Setelah menutup usaha rakyat itu, ribuan orang kehilangan pekerjaan. Mestinya, negara lewat pemerintah Daerah Provinsi Sulawesi Tengah tidak asal bersikap menutup tambang rakyat di Dongi-dongi, Poso, Sulawesi Tengah. Demikian Adriansa Manu dari Yayasan Tanah Merdeka (YTM) Palu kepada Bergelora.com Sabtu (2/4) di Palu, Sulawesi Tengah.
“Seharusnya negara menata pengelolaan tambang yang baik atau memberikan alternatif pertanian yang modern. Misalnya, memajukan pengetahuan petani untuk mengelola tanah, menata pertanian kolektif petani dan memberikan modal serta teknologi modern,” ujarnya.
Menurut YTM tindakan negara lewat aparat Kepolisian merepresi para penambang Dongi-dongi sama sekali tidak bisa dibenarkan, sebab negara sendiri telah salah karena sejak awal telah membiarkan pertambangan tersebut. Pilihan melakukan tindakan tegas untuk mengusir para penambang merupakan cara klasik yang cenderung memusuhi rakyak kecil dan miskin.
“Negara selama ini tidak pernah melindungi masyarakat miskin dalam memenuhi kebutuhan hidupnya, namun hanya mengatur mana yang boleh dilakukan dan mana yang tidak boleh dilakukan. setiap orang memikirkan dirinya sendiri-sendiri untuk bisa makan, ketika melanggar hukum masyarakat miskin ditangkap, direpresif dan ditembaki, hal tersebut sangat kontras dengan cita-cita Negara dalam mewujudkan kesejahtraan rakyat seperti tertuang dalam Undang-undang Dasar Republik Indonesia,” paparnya.
Insiden yang terjadi pada Selasa, 29 maret 2016, di Pos Polisi Kehutanan (Polhut) Ranoromba, Desa Bora Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah. Dimana sekitar 10.000 masa petani dari Dongi-dongi direpresif secara brutal oleh aparat Kepolisian saat akan melakukan aksi demonstrasi ke Kota Palu, menyebabkan 14 orang mengalami luka tembak di bagian kepala, telinga, punggung, pinggang, pantat dan kaki dan 64 ditahan oleh kepolisian di Ranoromba Desa Bora, Kabupaten Sigi. Hingga saat ini, para petani mengalami trauma atas insiden tersebut.
Yayasan Tanah Merdeka (YTM) melihat persoalan yang terjadi di Dusun Dongi-dongi, Desa Sedoa, Kabupaten Poso adalah wujud dari ketimpangan agraria di Indonesia. Selama ini tanah terkonsentrasi pada segelintir orang pemodal dan negara abai memberikan pengetahuan seperti keahlian/teknologi untuk bertani.
Masalah lainnya, kendati petani memiliki tanah, tetapi tidak memiliki modal, sehingga tanah tidak terola dengan baik. Hal tersebut kemudian membuat para petani rentan beralih menjadi buruh tani, demi mendapatkan uang tunai atau memilih alternatef lain seperti menambang, karena tidak memiliki penghasilan yang memadai untuk kebutuhan rumah tangganya. Kendati, rakyat seringkali berbenturan dengan hukum, seperti yang terjadi di Dongi-dongi, dimana lokasi penambangan emas, masuk dalam kawasan Taman Nasional Lore Lindu (TNLL).
“Negara selalu menganggap aktivitas mereka sebagai penambang ilegal dan liar yang harus dihentikan dan diusir,” ujarnya. (Lia Somba)