Oleh: Ubaidillah Achmad
Dalam QS. Al Kafirun/109: 1-6, yang terdiri enam ayat, jika dibaca di tengah konflik keberagamaan, maka akan menjadi deret penjelasan yang panjang. Arti penting pembacaan wahyu ini, bertujuan untuk mengembalikan dan menguatkan relasi yang sama-sama suci, antara ketuhanan dan kemanusiaan dalam konteks kehidupan keberagamaan dan kehidupan umat manusia. Ketuhanan dan kemanusiaan dapat menjadi bangunan keragaman dan kerukunan umat manusia.
Tidak hanya teks surah Al Kafirun,– banyak bukti kerasulan Nabi Muhammad yang menegaskan ajaran tersebut. Misalnya, Piagam Madinah, ayat ayat Al Quran dan Hadis yang menunjukan sikap menolak radikalisme, intoleran, teror, dan ancaman. Karenanya, jangan sampai ada alasan atas nama keyakinan, justru merusak hak hak kemanusiaan pihak yang berbeda keyakinan.
Sehubungan dengan bukti ini, sikap intoleran merupakan bentuk sikap yang justru dibenci Nabi Muhammad. Karena adanya kelompok intoleran ini, Allah menurunkan wahyu dan Nabi Muhammad membuat resolusi konflik bersama-sama dengan masyarakat Yasrib (Madinah). Perlu dipahami, bahwa asal mula Keberagamaan masyarakat Yasrib tidak berbeda dengan masyarakat suku qurays. Namun masyarakat Yasrib lebih terbuka dan terdiri dari banyak keyakinan, misalnya banyak di antara penduduk Yasrib yang memeluk Nasrani yang memegang kesucian Injil. Kawasan Yasrib ini juga menjadi kawasan suaka untuk mereka yang terancam radikalisme yahudi.
Selain Yasrib tercatat menjadi kawasan suaka Nabi Muhammad, pendeta Bukhaira dan Waraqh bin Naufal, juga turut mengisi sejarah kenabian Nabi Muhammad. Pendeta Bukhaira, Rahib Kristen Nestorian, yang melihat tanda kerasulan Nabi Muhammad, berhasil meyakinkannya, agar mengurungkan niat ke Syam, karena orang kafir Yahudi sudah mengetahui kabar kerasulan Nabi Muhammad. Kabar ini mendorong keinginan orang kafir Yahudi untuk membunuhnya. Alasan upaya pembunuhan ini, karena orang kafir Yahudi ketakutan sewaktu-waktu posisi Nabi akan menggeser kedudukannya. Ini artinya, Nabi telah menghadapi dua kelompok intoleran: kafir yahudi dan kafir qurays.
Sedangkan, Waraqah bin Naufal bin Assad bin Abd. Uzza bin Qusayy Al Qurayshi, pembaca Kitab Injil berbahasa Arab, yang sebelum kerasulan Nabi Muhammad, juga taat beragama Nasrani, telah berhasil menenangkan Nabi setelah mendapatkan Wahyu pertama, yang ditandai dengan Surah Al Alaq.
Fenomena tersebut, menunjukkan gerakan kerasulan Nabi Muhammad telah mengalami rentetan kisah yang bersentuhan dengan keyakinan dan budaya yang lain. Meskipun demikian, Nabi tetap bersikap ramah terhadap lingkungan dan sepenuhnya kembali pada prinsip keyakinan, semangat hidup, kreatifitas, menjaga komitmen, bersikap teguh memegang kebenaran, dan berkorban untuk pihak lain. Kepribadian Nabi tidak ingin berkuasa dan menguasai pihak lain, namun hanya ingin menjaga jalinan persaudaraan antar sesama umat manusia.
Jadi, setiap manusia memiliki hak kesadaran yang satu sama yang lainnya wajib saling menjaga. Jangan mengedepankan hak pribadi, namun mendzalimi hak yang lain. Simpulan ini, telah melahirkan dua istilah hukum kehidupan manusia: hak dan kewajiban. Karenanya, berbicara hak asasi tidak akan menghilangkan kewajiban asasi atau sebaliknya. Kedua istilah ini seperti dua sisi mata uang yang tidak bisa saling dipisahkan. Jika kisah ini yang kita baca, maka dapat disimpulkan, bahwa kita akan mendapatkan pembelajaran tentang visi kenabian mengutuk intoleransi.
Sebaliknya, jika yang kita baca sikap para penentang Nabi Muhammad, maka yang akan tumbuh di hati pembaca berupa radikalisme dan upaya menghidupkan konflik serta menentang kepada siapa saja yang berbeda dan tidak sama dengan keinginan yang dipelajari dari Abu Lahab, Abu Jahal, dan mereka yang bersikap anarkis. Dengan demikian, mengaku beragama Islam, namun menjadikan tauladan justru pada mereka yang memusuhi Nabi Muhammad.
*Penulis adalah penulis Buku Islam Geger Kendeng, mengajar di Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, Universitas Islam Negeri Walisongo, Semarang

