JAKARTA- Insiden penembakan KRI Imam Bonjol terhadap kapal Ikan China “Han Tan Cou” dengan nomor lambung 19038 pada tanggal 17 Juni 2016 di wilayah ZEE (Zona Ekslusif Ekonomi) di perairan Natuna, telah menimbulkan polemik di dalam negeri. Mantan Kepala Badan Intelejen Strategis (BAIS) tahun 2011-2013, Laksda TNI AL (Purn) Soleman B. Ponto, ST, MH mengingatkan bahwa peran penting Indonesia dalam melahirkan UNCLOS (United Nations Convention on the Law of the Sea). Dibawah ini wawancara Bergelora.com dengan Laksda TNI AL (Purn) Soleman B. Ponto, ST, MH menjawab mantan Kadiskumal TNI AL Laksma TNI AL (Purn) Bambang Susanto, SH., MH yang membenarkan penembakan kapal China di atas.
Apakah KRI Di ZEE boleh menembak kapal yang dikejarnya ?
Tidak ada satupun ayat dalam pasal 73 dan pasal 111 UNCLOS yang menyebutkan bahwa dalam melakukan pengejaran apakah itu pengejaran seketika (hot pursuit) atau bukan diperbolehkan untuk menembak. Bahkan pada pasal 73 ayat 1 sudah menegaskan bahwa lingkup proses penegakan hukum yang boleh dilakukan adalah menaiki kapal, memeriksa, menangkap dan melakukan proses peradilan. Tidak disebutkan bahwa bila melarikan diri, kapal yang dikejar boleh ditembak.
Apakah penembakan itu upaya pentaatan atau pemaksaan negara yang memiliki Power of Authority?
Penggunaan Power of Authority bukan dengan melakukan penembakan. Pentaatan terhadap pelanggaran hukum di ZEE oleh Negara Pantai dalam hal ini Indonesia sudah diatur pada pasal 73 UNCLOS yang secara khusus mengatur tentang Penegakan Peraturan Perundang-undangan negara pantai.
(Ayat 1) Negara pantai dapat, dalam melaksanakan hak berdaulatanya untuk melakukan, eksploitasi, konservasi dan pengelolaan sumber kekayaan hayati di zona ekonomi eksklusif mengambil tindakan demikian, termasuk menaiki kapal, memeriksa, menangkap dan melakukan proses peradilan, sebagaimana diperlukan untuk menjamin ditaatinya peraturan perundang-undangan yang ditetapkannya sesuai dengan ketentuan Konvensi ini.
(Ayat 2) Kapal-kapal yang ditangkap dan awak kapalnya harus diberikan suatu uang jaminan yang layak atau bentuk jaminan lainnya.
(Ayat 3) Hukuman Negara pantai yang dijatuhkan terhadap pelanggaran peraturan perundang-undangan perikanan di zona ekonomi eksklusif tidak boleh mencakup pengurungan, jika tidak ada perjanjian sebaliknya antara Negara-negara yang bersangkutan, atau setiap bentuk hukuman badan lainnya.
Pada pasal 73 ayat 1 sangat jelas diatur bahwa upaya pentaatan adalah menangkap dan melakukan proses peradilan. Tidak ada sama sekali yang mengatur bahwa Power of Authority dapat diwujudkan dengan penembakan.
Bagaimana kalau yang ditangkap itu lari ?
Bagi yang melarikan diri dapat dikejar sampai dengan laut teritorial negara lain. Hak untuk mengejar ini diatur pada Pasal 111 UNCLOS, yaitu Hak pengejaran seketika (Hot Pursuit). Pasal ini mengatur, mulai dari mana dan sampai dimana pengejaran dapat dilakukan. Artinya Pengejaran itu dapat dilakukan secara terus menerus walaupun melewati batas negara. Akan tetapi pengejaran itu harus dihentikan ketika memasuki teritorial negara lain. Artinya, semangat dari pasal ini adalah “kejar-kejaran antar kapal”, bukan kejar kejaran antara “kapal dengan peluru”. Jadi, tersirat dihindarinya penggunaan senjata.
Jadi, KRI Imam Bonjol seharusnya hanya boleh “mengejar” saja, tidak sampai menembak, karena penembakan juga tidak diatur disitu. Karena penembakan tidak diatur dalam UNCLOS artinya Penembakan oleh KRI Imam Bonjol dapat dikatakan tidak sesuai UNCLOS.
Benarkah penembakan itu telah sesuai dengan Protap Perkasal/32/V/2009 tanggal 4 Mei 2009?
Apabila Perkasal ini ditujukan untuk di ZEE, maka Perkasal ini tentunya harus tunduk pada peraturan UNCLOS, sebagaimana yang diatur pada pasal 58 ayat 1 dan ayat 3 UNCLOS.
(Ayat 1) Di zona ekonomi eksklusif, semua Negara, baik Negara berpantai atau tak berpantai, menikmati, dengan tunduk pada ketentuan yang relevan Konvensi ini.
Artinya Indonesia sebagai negara pantai juga harus tunduk pada ketentuan yang diatur oleh UNCLOS.
Pada Pasal 3 diatur kewajiban negara pengguna ZEE untuk tunduk pada peraturan perundangan yang dibuat oleh negara pantai dan peraturan hukum internasional lainnya sepanjang aturan perundangan tersebut tidak bertentangan dengan UNCLOS. Artinya negara pengguna ZEE Indonesia harus tunduk pada peraturan yang dibuat oleh Indonesia. Peraturan perundangan yang dibuat Indonesiapun harus tunduk pada UNCLOS. Oleh karena itu, apabila Perkasal itu akan diterapkan di ZEE Indonesia, maka harus sesuai dan tidak bertentangan dengan UNCLOS.
Mengingat dalam UNCLOS tidak ada satupun pasal yang mengatur tentang boleh atau tidak boleh dilakukan penembakan, maka dapat dikatakan bahwa Perkasal yang membolehkan penembakan itu tidak sesuai bahkan bertentangan dengan UNCLOS.
Jadi, sangat jelas bahwa penembakan oleh KRI Imam Bonjol di ZEE Indonesia yang dilakukan berdasarkan Perkasal/32/V/2009 tanggal 4 Mei 2009 itu tidak sesuai dengan UNCLOS.
Kalau penembakan itu dilakukan diwilayah laut Indonesia, yah sah-sah saja. Tapi perlu diingat pula bahwa penembakan kapal ikan oleh KRI di perairan Indonesia pernah menuai tuduhan sebagai Pelanggran HAM. Tentunya kita semua tidak ingin TNI AL tercinta akan mendapat julukan koboi di ZEE INDONESIA.
Apa maksudnya peran penting Indonesia dalam melahirkan UNCLOS?
UNCLOS (United Nations Convention on the Law of the Sea) sebenarnya digagas oleh Perdana Menteri RI, Djuanda Kartawidjaja (1957-1959) berdasarkan wawasan nusantara. Peran Indonesia di dunia internasional ini tercapai pada tahun 1982 dibawah Menteri Luar Negeri Mochtar Kusuma Atmadja PBB menerbitkan UNCLOS dengan pengakuan negara kepulauan seperti Indonesia dengan batas teritorial 12 mil laut. Jangan sampai,– sekarang Indonesia,– selain sebagai pelopor UNCLOS, yang kita ratifikasi,– tapi kemudian kita sendiri yang menginjak-injak dan melanggar gagasan kita yang telah menjadi konvensi internasional. Hanya karena kita tidak mau tahu sejarah.
Makanya untuk bisa membedah kasus ini tidak boleh malas baca agar mengerti dasar-dasar hukum yang berlaku di dalam negeri dan Internasional. Masakan kita mau bikin “parade koboi” di laut internasional?
Sebelumnya, Laksda TNI AL (Purn) Soleman B. Ponto, ST, MH menyatakan bahwa penembakan kapal China tersebut melanggar UNCLOS (United Nations Convention on the Law of the Sea). Hal ini disampaian dalam opini pada Bergelora.com 27 Juni 2016 dengan judul “Berlebihan! Pengerahan Warship Ke Laut Natuna”
Sementara itu, Laksma TNI AL (Purn) Bambang Susanto, SH., MH. membantahnya dengan menegaskan tindakan penembakan tersebut pada opini dalam link http://www.swarasenayan.com/tni-al-tidak-melanggar-ketentuan-unclos-1982-maupun-melakukan-tindakan-berlebihan-pada-peristiwa-penembakan-kapal-ikan-china-perairan-natuna/ dengan judul “TNI AL Tidak Melanggar Ketentuan UNCLOS 1982 Maupun Melakukan Tindakan Berlebihan pada Peristiwa Penembakan Kapal Ikan China Perairan Natuna” (Web Warouw)