JAKARTA- Tentara Nasional Indonesia (TNI) memiliki porsi kewajiban sekaligus kewenangan dalam menangani terorisme. Karena yang boleh menembak seseorang atas dasar perintah hanyalah militer. Sedangkan aparat kepolisian menembak harus didasari hukum. Hal ini disampaikan oleh Mayjen (Purn) Saurip Kadi pada Bergelora.com, Senin (25/7)
“Tinggal bikin norma yang terukur kapan teroris ditangani Polisi dan kapan oleh militer. Disitu perlu ada lembaga yang tangani daerah abu-abu, agar yang dikerjakan TNI dan Polri Bukan pelanggaran HAM (Hak Azasi Manusia. Hal yang demikian sudah berlaku di banyak negara yang menjunjung tinggi kemanusiaan dan (HAM) ),” ujarnya.
Asisten Teritorial Kepala Staf TNI-AD (2000) ini memberikan perumpamaan, ibarat tubuh manusia, TNI itu sama dengan darah putih. Tampil ketika sistem sipil sebagai darah merah gagal atau dipastikan akan gagal dan apalagi kalau akan jatuh korban seorang sekalipun, saat itu TNI harus dilibatkan.
“Rumus itu tidak terbatas pada urusan kekerasan semata. Biar soal banjir, jembatan putus, gunung meletus, bencana lumpur, pintu tol macet, badai dan lain sebagainya,– kalau sistem sipil tidak lagi berfungsi ya itu porsi militer,” ujarnya.
Dengan demikian menurutnya, niscaya tidak ada orang yang menentang apalagi menyalahkan TNI karena pasang jembatan Bally saat ada jembatan mendadak putus, dan pemerintah setempat tidak punya kemampuan untuk mengatasinya.
Ia memberikan contoh pertanyaan juga kalau ada pintu tol sudah 6 jam macet dan pasti dalam jam berikutnya akan bertambah panjang. Kalau ada pimpinan TNI setempat yang tampil untuk bebaskan pintu tol tanpa bayar, apakah ada yang menyalahkan?
“Resiko kematian 1 orang karena stres di pintu tol, tidak bisa dibayar berapapun oleh negara apalagi sampai 18 orang. Jangan kalau sudah terjadi baru saling menyalahkan,” ujarnya.
Tak Berwenang
Sebelumnya, Kapolri Jenderal Tito Karnavian mengatakan, akan sulit jika TNI dilibatkan dalam penindakan kejahatan terorisme seperti yang ada dalam draf revisi Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang tindak pidana terorisme Pasal 43 B.
Pasalnya, TNI tidak memiliki kewenangan dalam mengusut unsur pidana umum di mana terorisme tergabung di dalamnya.
“Semua langkah dan tata caranya sudah dilindungi oleh operasi penegakan hukum kepolisian. Termasuk dalam penyelidikan, olah TKP, dan penelitian barang bukti,” kata Tito di Kompleks Mabes Polri, Jumat (22/7).
Dalam mengusut kejahatan, lanjut Tito, polisi menganut sistem chain of evidence yang artinya ketika barang bukti disita harus diberikan ke laboratorium lalu dikembalikan lagi ke penyidik. Semua proses itu terangnya ada tata cara pembungkusan, pelabelan dan sebagainya.
Sebelumnya, dalam Pasal 43 B Ayat (1) RUU Pemberantasan Tindak Pidana Teroisme menyatakan, kebijakan dan strategi nasional penanggulangan terorisme, TNI diberi kewenangan untuk menyelenggarakan penanggulangan terorisme. Sementara, dalam Ayat 2 disebut bahwa TNI hanya memberikan bantuan kepada Polri. (Web Warouw)